Saat Upacara Berlangsung (Terbaik ke-10 Lomba Agustus)

Saat Upacara Berlangsung (Terbaik ke-10 Lomba Agustus)

Saat Upacara Berlangsung

Oleh: Pipit

Terbaik ke-10 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”

Tak ada yang lebih khidmat ketika mengenang jasa para pahlawan selain perempuan itu. Dengan mata terpejam, wajah tenang, hela napas teratur, dan jari-jari tangan saling berpaut terangkat hampir menyentuh dagu, ia begitu larut dalam khusyuknya doa walau hanya beberapa detik.

Ia adalah Ibu Helen. Seorang guru sekolah dasar negeri di sebuah desa. Ia selalu begitu. Seperti punya kata dan cara tersendiri ketika mendengar perintah mengheningkan cipta saat upacara. Tidak hanya menundukkan kepala semata. Baginya, mengenang jasa para pahlawan melalui doa merupakan satu-satunya cara paling gampang untuk berterima kasih: ia dan keturunannya sudah merdeka, tidak merasakan hidup di zaman penjajah.

Seperti yang sudah-sudah tiap memperingati hari kemerdekaan, ia selalu menjadi guru utusan di sekolahnya untuk mengikuti upacara di kantor bupati. Sebuah kehormatan tersendiri baginya. Berdiri, sejajar dengan guru-guru hebat dari sekolah lain dan menyaksikan pengibaran Sang Saka Merah Putih. Pun rasa haru sekaligus bangga tiap tahun ia rasakan. Tahun ini ada empat orang mantan anak didiknya sewaktu berseragam merah putih dulu bertugas menjadi Paskibraka.

Terbayang olehnya saat upacara selesai nanti, ketika ia dengan sengaja menghampiri mereka guna mengucapkan kata selamat. Anak-anak yang pernah dididiknya itu akan mencium tangannya satu per satu dengan takzim. Lalu berfoto bersama dan tak ketinggalan ia akan mengunggahnya di laman media sosial. Tentu tidak semua guru merasakan apa yang ia rasakan. Jadi sewajarnya momen bahagia tersebut diabadikan. Bukankah suatu kebanggaan bagi seorang guru melihat anak didiknya berprestasi.

“Yang bawa bendera tadi alumni sekolah Ibu Helen juga?” Seorang guru sekolah lain merapatkan barisan di sebelah kanannya, tepat setelah selesai pembacaan butir-butir Pancasila. Posisi barisannya nomor tiga dari belakang, tidak terlihat dari depan lapangan kalau guru di sampingnya sedikit merapat. Bahkan di belakang barisannya ada yang beberapa kali berbicara dengan suara yang sangat rendah.

Akan tetapi, tidak baginya. Ia paling tidak suka diajak mengobrol saat upacara berlangsung. Apalagi di momen Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Terlalu sakral baginya. Karena yang berdiri menjadi pembina upacara bukan sembarang orang, yang diundang jadi peserta upacara hanya orang-orang pilihan. Untuk mengibarkan bendera yang berlangsung beberapa menit, anak Paskibraka butuh latihan berminggu-minggu. Hanya satu kali perayaan dalam satu tahun. Sungguh tak beradab kalau ia menanggapi antusias pertanyaan remeh semacam itu. Maka ditanggapinya hanya dengan sedikit anggukan beserta senyuman.

“Kurang meriah, ya, di sini? Enggak ada ngundang artis kan, Bu?”

Lagi-lagi ia melempar senyum, berusaha memaklumi. Guru yang mengajaknya mengobrol baru beberapa bulan pindah tugas di desanya, mungkin belum pernah mendengar tentang dirinya. Dirinya yang tidak suka membincangkan sesuatu yang bukan menjadi urusannya. Apa lagi saat prosesi formal upacara belum selesai.

Lagi pula, apakah meriah tidaknya perayaan kemerdekaan suatu daerah itu tergantung hiburan rakyat yang harus mengundang artis ibu kota. Benar-benar obrolan yang tak bermutu baginya.

“Hadiah lombanya juga kurang seru. Masa doorprize umrahnya cuma 2 orang. Minimal 5.” Guru di sampingnya memperlihatkan semua jari kanan.

Mungkin seperti seorang guru yang sibuk menerangkan pelajaran di depan kelas, sementara murid asyik mengobrol di belakang bila ia menanggapi ucapan guru di sampingnya. Pembina upacara di depan asyik berpidato menebarkan semangat kemerdekaan. Rasanya tak patut sebagai peserta ia bercakap-cakap hal lain.

Kali ini ia tidak tersenyum. Wajahnya datar dengan sorot mata lurus ke depan, tanpa ekspresi. Hanya sesekali ia mengangguk membenarkan isi pidato pembina upacara.

“’Meski saat ini negara kita sedang terpuruk dengan hutang yang tinggi dan nilai tukar rupiah yang makin rendah, juga penguasaan investor asing di berbagai sektor perekonomian, kita tidak perlu khawatir. Semuanya akan baik-baik saja selama kita bisa bersatu dan bekerja sama’.(1) Pesan ini saya dapatkan langsung dari pegawai presiden. Jadi, tidak ada yang perlu kita takutkan.” Ia yakin. Jika ditampakkannya keseriusan mendengar pidato dari pembina upacara, guru di sebelahnya berhenti mengajak mengobrol. Setidaknya sampai acara selesai.

Namun apa yang ia harapkan tidak terjadi. Guru di sampingnya kembali merapatkan barisan.

“Bu, cerita kepala sekolah yang kemarin, gimana?” Perempuan yang berusia hampir sama dengannya kian merapat, seperti berbisik. “Dengar-dengar, sih, ….”

“Sssttt.” Ia memejamkan mata dan mengacungkan telunjuk kanannya yang hampir menyentuh hidung. Mungkin tampak berlebihan, sementara ada beberapa guru di sekitarnya yang santai mengobrol. “Nanti ada waktunya, Bu, buat ngobrol.”

Ia membuka mata. Tatapannya kembali lurus ke depan. Ada sorot amarah yang berusaha ia redam. Mau tidak mau, suka tidak suka, hal-hal kecil seperti ini sering kali terjadi. Beberapa orang guru, yang katanya berpendidikan, tidak bisa menahan diri untuk tidak mengobrol selama upacara berlangsung. Apa susahnya untuk diam sebentar. Tidak lama. Tidak sulit. Lebih sulit lagi para pahlawan yang merebut kemerdekaan. Nyawa saja mereka taruhkan apalagi hanya tegak berdiri dan menahan ego diri selama beberapa jam. Tidak malukah dengan siswa-siswi yang tampak lebih tertib?

Sungguh ia geram. Berada di barisan belakang bukan berarti bebas mengobrol. Meskipun dengan suara paling rendah sekali pun, tetap saja tidak pantas. Bukankah adab seorang guru menjadi panutan bagi murid.

“Marilah kita lanjutkan perjuangan para pahlawan kita, dengan cara damai dan penuh bijaksana.”(2) Ia menunduk sejenak, merasa tak perlu menanggapi guru di sebelahnya. Kata-kata penutup dari pembina upacara lebih baik untuk didengar dan diresapi.

Tidak lama suara lantang pemimpin upacara kembali menggelegar. Sudah sampai di ujung acara, tapi ia tak merasa kelelahan selama berdiri, tak juga dilanda kejenuhan. Guru di sebelah kanannya tetap mengobrol dengan teman yang lain. Pembacaan doa oleh petugas untuk kesejahteraan bangsa dan negara terus berlangsung. Ia kembali khusyuk, berharap tahun depan merasakan kembali momen perayaan kemerdekaan agar letupan-letupan semangat para pejuang terus hidup dalam sanubarinya.

Jambi, 23 Agustus 2024

Catatan 1 dan 2. Kutipan dialog diambil dari cerpen berjudul Paw-siden, karya Vianda Alshafaq

Pipit, perempuan yang sedang belajar menulis.

Komentar juri, Berry:

Cerita ini menunjukkan sikap yang kontras antara tokoh utama dan orang lain di sekitarnya. Mungkin pula kontras antara orang desa dan orang kata. Ia, Ibu Helen, adalah seorang guru teladan yang menghargai nilai-nilai luhur ketimbang hal-hal artifisial dan kebendaan. Dan, karena ditulis dengan teknik yang tidak terasa tendensius, cerita ini berhasil memunculkan harapan positif terkait moral masyarakat.

Grup FB KCLK

Leave a Reply