Lelaki yang Berdiri di Atas Jip Terbuka (Terbaik ke-12)

Lelaki yang Berdiri di Atas Jip Terbuka (Terbaik ke-12)

Lelaki yang Berdiri di Atas Jip Terbuka

Oleh: Inet Wijaya

Terbaik ke-12 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”

Malam kian larut, suara jangkrik dan katak beradu bak panggung gaung gamelan yang saling bersahutan. Kesiur udara semakin membuat Tatsuo merapatkan mantelnya. Hidungnya memerah, sesekali ia menarik napas kasar. Matanya yang sudah sipit semakin sipit. Beberapa hari ini Tatsuo dapat melihat panjangnya malam. Ia ditemani oleh lampu meja yang terkadang berkedip kelelahan, bertumpuk-tumpuk surat yang menunggu giliran untuk dibaca sejak Kaisar Hirohito menyerah pada Sekutu, dan kopi hitam buatan Meutia yang mulai dingin. 

Meutia terkadang menemaninya, membantu membuka surat-surat dan membacakannya. Juga menyalin informasi-informasi penting bagi kemerdekaan Indonesia, lalu disampaikan kepada para revolusioner kemerdekaan. Tatsuo tidak keberatan, toh ia memang ditugaskan untuk mengawal kemerdekaan negeri ini. Sejak awal, kedatangan Nippon untuk menyinari Asia, tak terkecuali Indonesia. Meski pada kenyataannya berbagai kepentingan menunggangi, tetapi baginya janji tetaplah janji. Tatsuo adalah seorang samurai. Dan sikap seorang samurai harus suci dari segala hal yang kotor. 

“Tatsuo, sepertinya bayi ini akan lahir,” ujar Meutia, sesuatu yang bening telah mengalir dari selangkangannya. 

Tatsuo gegas mendekat ke ranjang besi berkelambu jaring-jaring halus, ia menyibaknya. Terlihat Meutia yang meringis sambil berusaha duduk. 

“Kita ke rumah sakit sekarang, Meutia.” 

“Tunggu dulu, Tatsuo. Saya belum merasakan sakit. Tolong ambilkan saja pakaian ganti.”

Tatsuo membantu istrinya berdiri, lantas mengambil pakaian ganti. Bulir-bulir keringat tiba-tiba memenuhi keningnya. Sambil mengganti seprei, ia memikirkan surat-surat itu dan Meutia. Prediksinya tak meleset, status quo* betul adanya. Nippon gagal memberi kemerdekaan. Ia berharap para revolusioner dapat membaca keadaan sebelum terlambat. 

“Lanjutkan saja pekerjaanmu, Tatsuo,” ucap Meutia, raut kegelisahan jelas sekali tampak pada air muka Tatsuo. 

Tatsuo menggeleng, “Saya sudah selesai, Meutia. Saya mungkin akan dihukum karena telah membocorkan isi surat-surat itu. Tapi saya lega, sebentar lagi akan lahir sesuatu yang sudah kita perjuangkan selama ini.”

“Hukuman hanya diberikan bagi orang yang jahat, dan kau bukan orang jahat, Tatsuo. Hukum tabur tuai adalah hukum alam yang mesti terjadi.”

Pagi-pagi sekali seseorang mengetuk pintu rumah Tatsuo, ketukannya seperti seseorang yang sedang dikejar musuh. Tak butuh waktu lama Tatsuo membuka pintu. Seorang lelaki berambut klimis yang tak asing bagi Tatsuo berdiri di depannya. Tidak biasanya lelaki itu muncul di rumahnya, biasanya mereka hanya bertemu sekilas di jalan-jalan, di pasar-pasar, di warung kelontong untuk bertukar surat, atau jika butuh waktu untuk bercakap, mereka akan bertemu di tempat makan, di warung kopi, atau di bar. Itu pun Tatsuo selalu ditemani Meutia. Bertemu berdua saja sungguh mencurigakan, apalagi di rumah, sungguh membahayakan bagi keduanya, karena tembok pun dapat mendengar.

“Tuan Tatsuo, sebentar lagi kami akan memproklamasikan kemerdekaan. Saya khawatir dengan keselamatan Anda. Sebaiknya Anda pergi dari rumah untuk sementara.”

Berita itu membawa angin kesejukan di hati Tatsuo, janjinya sebentar lagi akan tunai. Mengantar negeri ini ke gerbang kemerdekaan. Mungkin lambat laun gerak-geriknya selama ini akan diketahui atasannya, namun tak akan secepat itu.

“Saya memang akan pergi. Tapi ke rumah sakit karena istri saya akan melahirkan.”

“Kalau begitu biar saya antar.”

“Kau saksikan saja proklamasi kemerdekaan. Saya ada supir. Lagi pula Istri saya sedang menyiapkan segala sesuatunya.”

“Baik, Terima kasih atas segalanya, Tuan Tatsuo. Sampaikan banyak terima kasihku juga pada Ibu Meutia. Semoga persalinannya lancar.”

Lelaki itu pamit, mata Tatsuo mengikuti setiap langkah lelaki itu hingga menaiki mobil jip terbuka. Sebelum menyalakan mesin mobil, lelaki klimis yang berpakaian rapi itu mengepalkan tangan sambil berseru, “Merdeka!” 

Tatsuo membalas pekik merdeka. Bangsa ini akan terlahir menjadi bangsa yang merdeka. Terbebas dari penjajahan, tapi layaknya bayi yang baru lahir. Ia akan butuh banyak proses tumbuh dan berkembang. Tidak akan mudah, tapi dalam setiap generasi pasti akan terlahir tunas-tunas emas layaknya lelaki berambut klimis itu. 

Pukul setengah sebelas, Meutia mulai merasakan sakit kontraksi yang teratur, sesuai saran dari dokter, setelah merasakan hal itu Meutia meminta suaminya mengantar ke rumah sakit. Dihirupnya napas dalam-dalam lalu perlahan ia hembuskan melalui mulut, hal yang ia lakukan berulang kali saat perjalanan menuju rumah sakit. Di tengah-tengah perjalanan, mobil terhenti. Jalanan ibu kota padat merayap. Orang-orang terhenti mengemudikan sepeda, becak, motor, mobil, maupun bus-bus yang sedang sibuk-sibuknya. Bahkan pejalan kaki pun ikut terhenti bak waktu tengah membeku. 

“Ada apa, Kodir?” tanya Tatsuo pada sopir pribadinya. 

Peluh membasahi kening Meutia, ia kini lebih sering meringis menahan sakit. Tatsuo pun tak kalah berpeluh meski Kodir telah menyalakan pendingin mobil. 

“Sepertinya ada bentrokan, Tuan. Di depan ribut betul. Ada seseorang berdiri di atas jip terbuka, dia memegang sesuatu.”

Tatsuo turun dari mobil, rupanya sudah banyak orang yang turun dari kendaraan. Suara mereka berdengung seperti lebah-lebah yang dirusak sarangnya. Tatsuo menyapu pandangannya ke sekeliling. Tidak ada jalan. Orang-orang tumpah ruah di mulut-mulut gang, di emperan toko, juga di jalan-jalan. Sementara itu Meutia semakin terlihat kesakitan. Tatsuo memutuskan untuk membopong istrinya. Melewati lautan manusia yang berjubel. 

“Permisi! Ada yang mau melahirkan!” teriak Tatsuo dengan bahasa Indonesia yang kaku, dialeknya khas seperti orang-orang Nippon. Ia mulai berjalan melewati kerumunan manusia. Mereka penasaran dengan sayup-sayup suara yang mulai terdengar dari seseorang yang berdiri di atas jip terbuka**. 

“Permisi! Permisi!” kembali Tatsuo berteriak. 

“Merdeka! Dia bilang merdeka!” ujar seseorang yang baru saja Tatsuo lewati.

“Dia juga melambai-lambaikan bendera merah putih!” ucap pria yang baru saja memberi jalan Tatsuo.

“Bukankah itu dilarang?” seseorang yang lain menanggapi.

“Mungkinkah kita sudah merdeka? Tidak terjajah?” tanya lelaki muda. Entah pertanyaan itu diperuntukkan kepada siapa.

Sayup-sayup Tatsuo mendengar pekik merdeka, tetapi ucapan setelahnya tidak jelas. Tertutupi suara kerumunan manusia yang bak dengungan ribuan lebah. Ia pun dibuat penasaran dengan situasi yang terjadi. Beruntung, arah rumah sakit searah dengan laju jip terbuka. Jadi ia akan segera tahu ucapan lelaki yang berada di atasnya. 

Peluh telah sepenuhnya membasahi kemeja Tatsuo. Udara yang panas bertambah panas karena berjubelnya orang-orang. Semakin dekat dengan jip terbuka, semakin sesak dan sulit untuk berjalan. Napasnya tersengal, suaranya pun tak sekencang tadi. Kaki Tatsuo terhenti seperti ada seseorang yang mencengkeramnya dengan kuat. Ia tak dapat berjalan. Hanya berdiri membopong Meutia di tengah kerumunan. 

Mobil jip terbuka semakin mendekat, setidaknya kini Tatsuo dapat mendengar orasi lelaki yang berdiri di atas jip terbuka dengan jelas. Orasi yang begitu heroik. Yang membuat mata sipitnya tak terasa tiba-tiba basah. 

“Indonesia sudah merdeka, saudara-saudara! Kita sudah merdeka! Merdeka!” pekik lelaki yang berdiri di atas jip terbuka. 

Semula orang-orang hanya diam, namun setelah orasi diulangi lagi dan lagi, orang-orang mulai mengikuti pekik merdeka. Mereka mengepalkan tangan ke atas sambil berteriak, “Merdeka!”

Situasi tersebut membuat banyak orang tidak dapat membendung air mata sukacita. Tak terkecuali Tatsuo dan Meutia. Mereka memekikkan kata merdeka sambil menahan sakit. Anehnya kaki Tatsuo mendadak ringan. Kekuatan yang besar mendadak membuncah di dalam raganya. 

“Merdeka! Tolong beri jalan! Istri saya mau melahirkan!” teriak Tatsuo. 

Lelaki pengemudi jip terbuka agaknya mendengar teriakan Tatsuo. Ia memberi isyarat pada lelaki yang berdiri di belakangnya agar membantu Tatsuo. 

“Saudara-saudara! Tolong beri jalan! Ibu itu akan melahirkan anak bangsa yang lahir di hari kemerdekaan! Kita sudah merdeka! Merdeka!” seru lelaki yang berdiri di atas jip terbuka sambil melambai-lambaikan bendera. 

Semua pasang mata kini tertuju pada Tatsuo dan Meutia. Orang-orang mulai membuka jalan untuk mereka menuju ke rumah sakit. Tentu saja masih dengan diwarnai pekik merdeka dan kepalan tangan ke atas. Juga air mata sukacita yang berderai. Ada pula pria tua yang bersujud. Wanita yang tak henti-hentinya menangis. Pemuda yang mengepalkan tangannya ke atas. Anak-anak yang meneriakkan kata merdeka. Bendera merah putih pun seketika berkibar-kibar di sana sini, di emperan toko-toko, di mulut-mulut gang yang berjubel orang, di jalan-jalan yang sibuk. Entah dari mana asalnya bendera itu, tiba-tiba di mana-mana muncul. 

Kobaran api semangat yang menyala dalam diri Tatsuo membuatnya dapat berjalan kembali dengan tegak, tentu saja sambil membopong Meutia yang tersenyum dengan mata yang sembab. Tatsuo berjalan sambil berteriak, “Merdeka!”

Pekalongan, 23 Agustus 2024.

*Jepang diharuskan untuk tetap menjaga kondisi Indonesia seperti biasanya dan tidak diperbolehkan mengubah kondisi di Indonesia sampai kedatangan kembali Sekutu ke Indonesia dengan tujuan menjajah kembali Indonesia. 

**Setelah proklamasi kemerdekaan Riwu Ga dan Sarwoko diperintahkan oleh Bung Karno agar menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan secara langsung kepada rakyat Indonesia. 

Inet Wijaya, seorang istri, ibu dan guru dengan mimpi yang masih ingin digapainya.

Komentar juri, Inu Yana: 

Selain idenya yang keren, penulis juga pandai mendeskripsikan setting-nya dengan baik. Cerita ini seakan membawaku ke masa itu dan bisa ikut merasakan euforia kemerdekaan di tengah rasa mulas yang menggigit. Senang, haru, bahagia tak terkira, tapi juga mules. Haha.

Good job, Inet.

Grup FB KCLK

Leave a Reply