Itu Ayamku! (Terbaik ke-14 Lomba Agustus)

Itu Ayamku! (Terbaik ke-14 Lomba Agustus)

Itu Ayamku!

Oleh: Layls

Terbaik ke-14 Lomba “Menulis cerpen berdasarkan setting ‘Pada Hari Kemerdekaan’”

Tangisan khas anak-anak terdengar meraung-raung dari dalam sebuah rumah sederhana di dekat persawahan. Racauan dalam tangisan juga terus terdengar sementara seorang wanita yang rambutnya nyaris didominasi uban hanya bisa diam menenangkan diri di atas kursi rotan. Di tangan kirinya sudah tercekal sapu lidi untuk menakut-nakuti anak perempuan yang berada di dalam rumahnya supaya berhenti menangis.

Sarah, anak yatim piatu berusia lima tahun itu masih tak bisa menghentikan tangisnya. Dadanya sangat terasa sesak serta mulutnya masih berteriak-teriak. Masalahnya bisa dibilang sepele yaitu ayam kesayangan Sarah hilang dicuri. Begitulah Nenek menjelaskan alasan ayamnya tak tampak sejak pagi. Padahal, Nenek lah yang menjual ayam itu tanpa sepengetahuan cucunya demi mendapat uang agar Sarah bisa jajan di perayaan kemerdekaan hari esok.

“Sudah, sudah, nanti kalau Nenek temukan malingnya, Nenek pukul habis-habisan pakai ini! Sudah nangisnya, atau nanti ini juga melayang ke sana!” Sapu lidi di tangan Nenek teracung dengan gagah.

Meski masih meracau meminta supaya Nenek segera menangkap maling itu, Sarah juga sangat berusaha menghentikan tangis. Anak itu takut sapu lidi benar-benar melayang padanya.

“Sudah jangan nangis, ayo duduk di sini!” titah Nenek dipatuhi Sarah yang masih sesenggukan. Nenek segera merapikan rambut Sarah yang acak serta mengusap-usap punggungnya supaya segera tenang.

“Sudah nangisnya, besok kan kita bakal ke lapangan, lihat orang yang upacara! Kamu juga mau jajan rujak buah kan? Permen kapas, sosis bakar, kan?”

Sarah mengangguk meski masih terisak. “Malingnya bakal ada di sana nggak, Nek?”

Rupanya anak itu masih belum senang dengan bujuk rayu sang Nenek. Terpaksa, Nenek mengangguk untuk membuat anak itu betul-betul lega hatinya.

Warna biru di langit sungguh menambah cantik suasana hari kemerdekaan. Merah putih telah tampak dimana-mana sejak hari pertama memasuki bulan Agustus. Atribut berwarna merah putih yang terpasang di segala hal bahkan sepanjang jalan juga menambah kesan sakral hari tersebut. Anak sekolah hingga masyarakat antusias menuju lapangan untuk mengikuti upacara atau bahkan hanya sekadar untuk berbelanja. Sarah dan Nenek sudah berada di pinggir lapangan memandang para peserta upacara yang sudah berbaris rapi menunggu komando dimulai.

“Nek, Sarah mau jadi rombongan yang bawa bendera! Yang bajunya putih-putih itu! Keren banget ya mereka, Nek!” tunjuk anak usia lima tahun dengan rambut dikuncir satu oleh karet gelang bekas perekat nasi bungkus.

“Jangan mimpi! Emang kamu bisa? Lihat tuh, bajunya aja gede-gede, gak akan muat di badan kamu yang kecil!” Nenek menatap remeh cucunya, niat bercanda.

“Bisa kok, Nek! Sarah nanti kan bakal sekolah, jadi gede sampai bajunya muat di badan Sarah!” Anak itu antusias saja hingga kemudian matanya menangkap pemandangan yang kiranya lebih penting daripada rombongan paskibra. Bola matanya melebar seketika.

“Nenek! Sarah tahu siapa yang maling ayam Sarah!” serunya membuat beberapa orang sekitar menoleh kaget. Nenek juga sedikit panik saat itu. “Lihat itu, Nek, abang itu jual ayam goreng! Itu pasti ayam Sarah, ayamnya udah dimasak, Nek! Nenek, abang itu malingnya!” telunjuknya mengarah tepat pada abang penjual masakan. Seketika saja orang-orang menatap Nenek dengan bingung. Tak ada cara lain untuk menghentikan Sarah selain menariknya pergi dari sana.

***

Seorang gadis berbaju paskibra berlari tergopoh-gopoh menuju warung di pinggir lapangan. Orang yang dicarinya sudah ditemukan setelah ia cari ke berbagai sudut. Napasnya masih belum stabil sehingga ia menunda bicara dan segera duduk di samping gadis sebayanya.

“Sarah, dicariin temen-temen buat makan siang, kok malah sendirian di sini. Kayak orang merajuk saja kamu, kenapa sih?” Meski masih bercampur ngos-ngosan, gadis itu tetap bertanya pada sahabatnya.

“Loh, aku di sini abis makan siang juga. Baru aja selesai, untung kamu datang telat, hehe ….” Sarah iseng.

“Kenapa repot-repot makan di sini, kan kita udah disediain makanan di balai desa? Buang-buang uang aja kamu!”

“Kelamaan kalo nunggu makan di sana, keburu habis tenagaku! Mendingan di sini, ayam gorengnya juga enak!” elak Sarah.

“Iya deh iya, si paling ayam goreng! O iya, Sar, nanti pulang dari sini mau langsung ke mana? Ke rumahku aja gimana, nginep lagi di sana, Mak sama Abah pasti seneng kamu nginep!”

“Kali ini nggak dulu deh, hari ini aku mau langsung pulang terus tidur di kosan. Mumpung kerja lagi libur kan, mau me-time!”

“Beneran tidur …?” Gadis itu tak percaya ucapan Sarah.

Sarah mengangguk tegas. Bekerja paruh waktu demi menghidupi diri sendiri memang terkadang terasa sangat melelahkan. Sekian lama waktu berlalu, setiap tanggal 17 Agustus, setiap hari perayaan kemerdekaan yang amat meriah, selalu kenangan ayam goreng yang membuatnya merindukan Nenek. Meski Nenek tak lagi ada di dunia saat ia berhasil memakai seragam paskibra, tetapi Sarah selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke makam Nenek dengan memakai seragam paskibra. Beruntung, makam sang nenek dekat dengan makam kedua orang tua Sarah.

“Gak nyangka ya, Nek, seragamnya beneran udah muat di aku,” ucap Sarah saat pertama kali terpilih menjadi anggota paskibra di SMA, lalu mengunjungi makam neneknya dengan pakaian tersebut.

Sarah mengajak sahabatnya bergegas. Sebelum upacara penurunan bendera, masih ada waktu baginya untuk menjelajah berbagai jajanan. Seraya menatap langit biru yang menambah keindahan hari itu. Di saat yang sama, bendera merah putih juga telah berkibar seolah memberi pesan semangat untuk Sarah bahwa sekalipun sudah banyak yang hilang dalam hidupnya, tetapi hidup mesti tetap berjalan dengan merdeka. Ada banyak makna merdeka di muka dunia ini, mungkin Sarah ialah salah satunya.

Cianjur, 23 Agustus 2024

Komentar juri, Freky:

Terpilihnya karya ini sebagai salah satu yang terbaik dalam event kali ini sungguh membuat saya lega. Optimisme yang disampaikan oleh penulis, bagaimana kesulitan bisa dihadapi dengan menyadari bahwa ada banyak hal yang indah dan patut disyukuri dalam hidup ini, membuat saya menghabiskan cerita ini dengan perasaan bahagia. Sebuah kisah manis yang patut ada tatkala kita merayakan kemerdekaan negara ini.

Grup FB KCLK

Leave a Reply