Hari Ini, Ia Sibuk Sekali

Hari Ini, Ia Sibuk Sekali

Hari Ini, Ia Sibuk Sekali

Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

 

Hari ini, ia sibuk sekali: ia berangkat pukul 06.30, sekaligus mengantar anaknya yang masih SMP ke sekolah; mengambil data penelitian di lab metalurgi hingga pukul 09.30; mengikut rapat koordinasi akreditasi fakultas hingga pukul 12.45; dan baru sampai di meja kerjanya setelah salat juga makan siang. Belum sampai semenit duduk dan menaruh tas di atas meja, ia lekas didatangi dua orang mahasiswanya yang ingin mengonsultasikan hasil revisi artikel ilmiah sebelum dikirimkam ulang ke jurnal publikasi sebagai syarat kelulusan dari universitas. Artikel itu sendiri disusun dari skripsi mereka dengan ia sebagai dosen pembimbing sehingga ia mendapatkan namanya sebagai co-author.

Ada beberapa pertanyaan terkait alasan pemilihan bahan dan metode serta bagian kontradiktif dari bagian pembahasan, dan mereka bermaksud mengonfirmasi ulang jawaban yang telah mereka susun. Konsultasi tersebut memakan waktu 24 menit—ia mengoreksi langsung jawaban mereka, dan begitu semua dirasa final, mereka pun pamit.

“Sudah revisi keberapa? Tiga, ya? Semoga setelah ini bisa segera accepted, ya, semangat!”

Ia lekas beralih menekuni hasil penelitian untuk disertasinya. Sesekali ia memijit pelipis, memikirkan informasi tiga hari lalu tentang pemotongan dana penelitian dari pemerintah yang disertai dengan penambahan beban penelitian dan pemberdayaan masyarakat. Di sudut mejanya, terlampir setumpuk administrasi yang mesti dipenuhi untuk mendapatkan hibah penelitian, pun kebijakan terbaru universitas tentang kewajiban publikasi dosen untuk kenaikan jabatan serta target kenaikan ranking tahun depan.

Kemungkinan tahun depan baru bisa published. Yah, lumayan buat nambah target publikasi.

Ia tafakur dengan pekerjaannya, sedangkan dunia sekitar bergerak dinamis: ada yang tengah makan siang dengan tergesa karena sebentar lagi akan kelas; mengeluhkan mahasiswa zaman sekarang yang mulai beralih ke artificial intelligence untuk menyelesaikan tugas dengan cepat; menggunjingkan mahasiswa A yang tidak lekas di-drop out padahal sudah menginjak semester ke-10—dan kelakuannya sendiri tidak terpuji—hanya karena ia merupakan anak dari dosen B. Dunia berdengung seperti lebah, dan ia baru kembali ke dunia bising tersebut begitu sejawatnya menelepon.

Jangan lupa kalau pukul 14 ada rapat koordinasi buat seminar lusa nanti.

Oh, iya! Terima kasih sudah mengingatkan.

Ia menghela napas, membuka to-do-list-nya, dan mendapati rangkaian rapat yang memenuhi jam kerjanya, mulai dari rapat kepanitiaan bakti sosial, publication center, proyek penerbitan buku, hingga ulang tahun fakultas. Kegiatan-kegiatan tersebut berimpitan dengan jadwalnya untuk mengajar di kelas, baik secara luring maupun daring.

“Kenapa ambil banyak banget side job, sih?”

“Supaya tidak besar pasak daripada tiang.”

Percakapan tersebut membuatnya tertawa kecil, merunut rangkaian kewajiban penelitian dan pengabdian yang kadang bisa menghabiskan lebih dari 10 juta, belum ditambah kebutuhan keluarganya—istri, anak, bapak-ibu, adik, sesekali saudaranya yang lain. Usia seseorang berbanding lurus dengan kewajiban tetapi berbanding terbalik dengan kebahagiaan, dan ia mengaku hal tersebut. Yah, tidak semua orang merasakan hal serupa: beberapa kali ia mendapati teman-teman sejawatnya yang tampak bahagia memenuhi semua kewajiban tersebut, dan jujur, ia iri setiap mendapati orang-orang macam ini. Mungkin ada yang berbeda—dan pasti ada yang berbeda—tapi ia telah sampai pada satu titik di mana ia lelah membandingkan diri dengan orang lain. Pun dengan dirinya sendiri di masa lalu.

Kenapa memilih menjadi dosen, bukan profesi lain?

Karena tergerak untuk mengabdikan diri pada keilmuan.

Karena terpanggil untuk menggerakkan mahasiswa.

Karena punya passion untuk mengajar.

Karena itu adalah pilihan termudah yang dapat diambil.

Karena fasilitas dan momentum.

Karena … apa?

Ah, hari ini, ia sibuk sekali.

Ia memejamkan, kemudian mendorong kursinya untuk meregangkan bahu. Ia mengetuk-ngetuk jari, memutuskan untuk sejenak membuka ponsel. Ada berbagai notifikasi masuk—kebanyakan dari kolega serta obrolan grup yang merayakan kenaikan signifikan ranking universitas mereka di tingkat internasional. Tidak penting, tidak penting. Ia lanjut menggulirkan layar dan menemukan pesan-pesan lain, kali ini dari mahasiswanya yang menginformasikan tentang perubahan jadwal kelas, pengumpulan tugas, pun menanyakan kapan dapat ditemui untuk bimbingan. Sebagian kecil ia telah terima dari kemarin.(*)

Surabaya, 24 Juli 2024

 

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis INFP hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

 

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply