Tuanku (3 Naskah Terbaik; Melanjutkan Cerita)

Tuanku (3 Naskah Terbaik; Melanjutkan Cerita)

Tuanku 

Oleh: Hassanah

3 Naskah Terbaik lomba Melanjutkan Cerita

 

“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.

Kalau kalian tanya bagaimana reaksiku, aku terkejut. Sangat. Bahkan wajah bule dokter paruh baya itu masih membekas di ingatanku sampai detik ini, setidaknya. Berulang kali dia menghela napas sebelum memberi tahu kebenaran itu kepada kami. Kerut alami di wajahnya tidak mampu menahan kekecewaan yang dia tampakkan. Nada bicaranya pun terkesan seperti orang yang berbuat dosa.

Tuanku memang tidak muda lagi dan sering batuk, tapi kupikir itu penyakit tua biasa. Tubuhnya yang mengurus juga. Kulihat orang-orang tua di sekitar sini memang menjadi kurus saat usianya sudah menginjak angka tujuh puluhan. Jadi kupikir semua baik-baik saja sampai ketika diagnosa dokter kemarin siang membuatku lebih banyak diam.

Tuanku itu aneh. Dan kupikir keanehannya akan hilang setelah mendapatkan hati pujaannya, tapi sepertinya dia tetap aneh. Saat ini, dia hanya melakukan rutinitas biasanya di pagi hari: duduk bersantai di kursi goyang tua dari anyaman rotan dengan secangkir kopi hitam panas setelah menggunting beberapa ranting dan daun pada tanaman bonsa dan beberapa mawar milik Suti.

”Ya, halo.” Tuanku mengangkat panggilan telepon dengan masih bersandar pada kursi goyangnya yang bergoyang. ”Aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir,” tambahnya setelah suara di seberang telepon terdengar panik.

Tuanku membenarkan posisi kacamata dan melihat jam tangannya. ”Sebelum jam empat sore nanti aku akan bertemu Cipto di warung kopi Koh Ateb. Taukah kau, dia sudah menikah lagi,” ucapnya diakhiri tawa.

Orang di seberang telepon membalas.

”Oh, tidak-tidak. Buang-buang uang saja. Lagi pula, ibumu bisa mengutukku dari surga.” Tuanku menyahut sebelum perkataan lawan bicaranya menyelesaikan kalimatnya.

Lagi, tawa tuanku memenuhi teras pagi itu.

”Tentu. Tentu saja aku merindukannya. Hari ini pun masih sama.”

Kali ini suara tuanku terdengar rendah. Wajahnya berubah sayu dan pandangannya terpaku pada ayunan dari rotan yang berjarak satu meter setengah darinya.

”Bagaimana dengan sekolah anakmu di Boston? Ada kendala? Jika perlu bantuan, katakan saja. Paman dan bibimu punya banyak kolega di sana.” Mendadak suaranya kembali seperti semula dan senyum yang dipaksakan itu tak mungkin bisa menipuku.

Ayolah, 33 tahun bersama-sama dengannya bukan waktu yang sebentar, bukan? Walau mulanya dia menolak kehadiranku dan menyalahkan takdir, tapi lama kelamaan kami menjadi akrab dan terikat satu sama lain.

”Apa kau lupa kalau aku tidak bisa jauh dari Suti?”

Tuan, pulanglah saja ke tanah kelahiranmu itu jika kau sangat merindukan keluargamu. Bukankah kemarin kau membuka album foto lamamu saat sebelum kau pindah ke negara ini?

”Sudahlah. Temani saja anakmu di sana. Aku baik-baik saja di sini.”

Kau tidak baik-baik saja, Tuan. Oh bukan-bukan, sangat tidak baik-baik saja maksudku.

Tuanku terdiam setelah si penelepon mengabarkan sesuatu. Matanya berkaca-kaca. Cuping hidungnya memerah. Kursi goyang yang didudukinya pun perlahan-lahan mulai tenang.

Wajah itu, persis seperti ketika Sartika menikah, sembilan tahun lalu. Saat tuanku mendapat panggilan yang dia nanti-nantikan dari bibir putri semata wayangnya itu.

”Aku tidak salah dengar?” Air mata tuanku mengalir saat mengatakannya.

Jika bisa menangis, mungkin tangisku melebihi tangis tuanku.

”Bisa ucapkan sekali lagi?” Tuanku melihat layar ponsel dan menekan layarnya.

”Anakku baru saja lahir, Dad. Aku dan suamiku sepakat bahwa nama anak ini adalah Jack Junior Anderson.” Suara si penelepon mendadak terdengar lebih keras dari sebelumnya.

Dan bibir tuanku bergetar. Dan matanya sudah berlinangan. Dan sebelah tangannya mencengkeram pegangan kursi hingga urat-urat tangannya menonjol.

”Sartika, kau terlalu berlebihan, Nak. Aku—”

”No, Dad! Aku sangat ingin memberi nama depanmu itu sejak dulu. Tapi ternyata dua anak pertamaku perempuan semua. Maaf jika aku membuatmu terkejut.”

Tuanku mengusap wajahnya satu kali, lalu dia memandangi pohon mawar putih yang sedang mekar bunganya.

Dia mengusap wajahnya sekali lagi, lalu memandangiku dan kemudian menangis lagi.

”Terima kasih, Nak. Terima kasih.”

”Terima kasih juga, Dad. Kau sudah menjadi daddy terbaik untukku, melebihi ayahku.”

Tuanku menutup panggilannya beberapa saat kemudian. Kini, pandangannya hanya tertuju pada ayunan dan mawar-mawar. Cukup lama dia memandanginya dan air matanya kembali berlinang.

Setelah beberapa menit, tuanku mengambilku yang bersandar pada meja kecil di sebelahnya dan bangkit dari duduknya sambil bertopang padaku. Dihampirinya ayunan rotan itu, diusapnya sebentar, lalu dipeganginya salah satu tiang penyangganya, dan dia berdiri cukup lama di sebelah ayunan itu.

Tuanku mengusap wajahnya. Kali ini senyumnya berbeda. Senyuman seperti ketika memandangi wajah Suti istrinya. Dan senyuman ketika bertemu Sartika kecil pertama kali.

Setelah lama berdiam diri, tuanku mengambil ponselnya. Dia mulai menyapa seseorang di seberang sana.

”Halo, Cipto. Sore ini sepertinya kita tidak bisa bertemu. Maaf.”

Tuanku berjalan perlahan ke arah tanaman mawar-mawar.

”Bukan begitu. Aku mau menemui dokter siang ini. Oh ya, apa kau mengenal dokter terbaik di kota ini?”(*)

Pekanbaru, 28 Juni 2024

Hassanah, gadis Jawa kelahiran Aceh yang besar di Riau. Pemimpi yang akan terus berusaha mewujudkan mimpi-mimpinya.

Komentar juri, Berry:

Tidak banyak penulis yang berani menggunakan teknik showing untuk paling tidak 70% dari ceritanya. Ketakutan itu kukira berasal dari dugaan bahwa mungkin pembaca tidak akan memahami cerita yang ia tulis, pembaca akan salah paham, atau takut gagal memuaskan mereka? 

Padahal menurut Andrei Tarkovsky, “Jika kau hanya ingin menyenangkan pembacamu, berarti kau tidak menghargai mereka.” Dengan kata lain, kamu tidak percaya bahwa mereka cukup cerdas untuk mencerna dan menyimpulkan sendiri hasil bacaan tersebut, sehingga kamu selalu berusaha menjelaskan semua hal kepada mereka. Ceritamu pun penuh dengan narasi-plot, yang ketika terlalu banyak akan menghilangkan kesan “berada di dalam cerita” yang seharusnya dirasakan pembaca. 

Memang, menulis dengan teknik showing pun harus dilatih dan beberapa naskah yang pernah kubaca (yang ikut dalam tiap perlombaan di LokerKata) gagal melakukannya. Ketika terlalu sedikit petunjuk, pembaca tidak akan mampu mencernanya; ketika terlalu banyak, pembaca hanya merasa disuapi sepanjang cerita. Tetapi, tidak untuk kali ini. 

Cerita ini juga merupakan contoh dari “power of simplicity”. Terkadang, hal-hal yang bernilai lebih bisa tersampaikan dalam cara yang sederhana dan lugas.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply