Mari Merayakan Mati Lima Bulan Lagi
Oleh: Erien
3 Naskah Terbaik lomba Melanjutkan Cerita
“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.
Aku mengangguk. “Baiklah. Terima kasih, Dokter.”
Tanpa peduli pada pandangan dokter dan perawatnya, aku pamit setelah berjanji akan datang kembali entah kapan. Aku tahu mereka ingin menghibur, tetapi aku tidak memerlukan itu.
Ruang tunggu pasien sudah mulai sepi. Hanya tinggal tiga orang laki-laki dan dua perempuan yang duduk mengobrol. Aku mempercepat langkah menuju pintu keluar. Niat untuk makan soto di kantin rumah sakit sudah lenyap. Bukan karena aku sedih, kaget, atau cemas dengan perkataan dokter tadi. Aku hanya merasa, vonis tadi perlu dirayakan di tempat yang lebih baik.
Mari merayakan vonis mati lima bulan lagi.
Itu yang kubisikkan pada diri sendiri saat memasuki satu-satunya kedai nasi gandul khas Pati di kota ini. Aku sudah lama tidak makan di sini. Terakhir kali, aku ke sini bersama mendiang istriku, dan itu sudah sekitar lima tahun lalu.
“Silakan, Pak.”
Aku mengucapkan terima kasih pada pelayan yang mengantarkan pesananku: sepiring nasi gandul bertabur potongan aneka jeroan sapi. Segera saja aku mulai makan sambil memandangi taman di seberang jalan yang penuh anak-anak sekolah berolahraga. Tiba-tiba terngiang kembali perkataan dokter tadi.
Lima bulan lagi.
Ah, sebenarnya, bagiku itu terlalu lama meskipun lebih baik daripada lima bulan satu hari lagi. Tapi, tidak bisakah besok saja?
Sudah lama aku siap melepaskan nyawa ini. Aku bosan hidup. Sudah hampir 80 tahun aku menikmati dunia ini. Istri sudah tiada, anak tidak ada. Apa lagi yang aku tunggu?
Bahkan, surat warisan sudah kutulis dan kutitipkan pada pengacara, permakaman sudah aku pesan, batu nisan sudah diantar dua tahun lalu meski tanggal kematian belum tertulis, dan sejumlah uang sudah pula kutitipkan pada asisten rumah tangga untuk nanti merayakan kepergianku, yang mungkin saja sudah habis dipakainya untuk membayar utang. Kurang apa lagi?
Aku memeriksakan diri ke rumah sakit juga bukan ingin sembuh. Seminggu yang lalu, rasanya waktuku sudah dekat. Kepalaku sakit. Jujur saja, meski sudah bosan hidup, sakit sebelum mati atau mati dalam keadaan sakit adalah hal yang tidak aku harapkan. Karena itu berarti akan banyak orang mendekat dan aku tidak suka itu. Itulah kenapa aku ke rumah sakit.
Mungkin jika orang tahu aku sudah sangat siap, mereka mengira dukaku kehilangan istri begitu dalam sampai ingin menyusulnya.
Tidak. Aku cuma bosan saja. Perihal kehilangan, bukan cuma istri saja, teman-teman sebayaku yang masih hidup juga sudah masuk hitungan jari. Ponselku kini bertugas menunggu masuknya kabar seorang teman pergi lebih dahulu.
Makananku sudah hampir habis. Enak sekali rasanya. Segelas teh tawar juga sudah berkurang setengah. Ah, aku membayangkan pasti mendiang istriku mengomel jika melihatku makan nasi gandul penuh jeroan tadi. Bagian-bagian artikel kesehatan yang didapatnya dari grup WhatsApp akan berhamburan keluar dari mulutnya. Dia membuta tentang kematian yang datang tanpa diminta. Buktinya, istriku itu dahulu sangat menjaga kesehatan, tetapi tiada dalam duduk sorenya. Tanpa tanda, tanpa rasa. Aku yang bebas malah panjang umur.
Nah, perkara panjang umur yang dilagukan tetangga dan asistenku di tiap ulang tahun tiga tahun ke belakang membuatku kesal. Berulang kali kukatakan jangan mendoakan panjang umur. Doakan saja aku mati dalam keadaan sehat dan tidak menyusahkan mereka. Namun, tetap saja, rangkaian ucapan semoga panjang umur adalah template yang sudah melekat di otak mereka. Kekesalanku dianggap guyonan. Mereka yang muda-muda tidak tahu bahwa panjang umur dalam keadaan bosan hidup itu sangat menyiksa.
Bayangkan saja, seorang laki-laki tua bangun pagi dengan sendi-sendi yang mulai nyeri. Butuh sekitar sepuluh menit untuk melemaskan badan dan turun dari ranjang. Sarapan setelah mandi pun tidak lagi menarik. Aku memakan apa saja yang disajikan. Kemudian, aku bingung melakukan apa setelah itu. Aku tidak suka berkebun atau memelihara binatang. Jalan-jalan sambil berjemur hanya sesekali. Aku lebih suka duduk dan mengamati orang mondar-mandir. Sesekali, tetangga datang mengecek keadaanku. Setelah kematian istriku, mereka sepertinya membuat jadwal untuk menengokku karena tahu aku tidak punya sanak saudara. Padahal, sebenarnya tidak perlu. Sudah ada asisten yang menemaniku setiap waktu. Sampai aku bosan melihat senyumnya yang kadang-kadang seperti dipaksakan.
Aku meminta pelayan mengisi gelas dengan teh tawar lagi. Ternyata, ada hal yang masih belum bosan kunikmati di dunia ini; teh tawar yang jarang disajikan asistenku dan aku malas memintanya.
Sepasang suami istri masuk diikuti balita perempuan yang berlari kecil di belakang mereka. Bocah itu bermata belok dan rambut pendek. Ada lesung pipit di pipi kanannya. Lucu sekali. Dia menatapku lalu mendekat.
“Salim, Kek.” Tangannya terulur.
Aku terkekeh. Segera kuulurkan tangan dan bocah itu mengecup punggung tanganku.
Ibu bocah itu segera mendekat dan meminta maaf. Katanya, semua orang yang sudah tua memang selalu didekati dan minta cium tangan. Aku mengangguk sambil tersenyum.
“Kek, sini aku bisikin sesuatu.” Bocah itu melambai menyuruhku sedikit menunduk.
Aku tidak menyangka ketika menunduk, bocah itu memelukku erat lalu berbisik, “Kek, katanya kalau orang sudah tua itu nanti mati. Kalau Kakek mati, bilangin ke Tuhan ya, aku mau adek, gitu. Kata Mama aku harus minta adek ke Tuhan. Aku udah berdoa, tapi belum dikasih.”
Aku tidak bisa lagi menahan tawa. Hampir saja gigi palsuku lepas akibat terlalu keras tertawa. Apalagi, anak itu malah ikut tertawa. Aku sampai terbatuk-batuk.
“Baik, Cantik. Nanti lima bulan lagi, Kakek bilangin ke Tuhan.”
Aku tidak yakin kapan akan menyampaikan permintaan itu ke Tuhan. Mungkin benar lima bulan lagi, mungkin sebulan lagi, atau malah sehari lagi, atau sebentar lagi. Entah kapan.
Anak itu sangat lucu. Sepertinya, jika punya cucu selucu dia, lima bulan lebih sehari cukup layak untuk dijalani.
Kotabaru, 28 Juni 2024
Erien, itu saya.
Komentar juri, Erlyna:
Apa yang kita rasakan saat menerima sebuah kabar yang mengejutkan? Menangis? Marah? Atau mengutuk takdir yang terasa tidak adil? Dalam cerita ini, penulis justru menceritakan tokoh yang merasa bahagia atas takdir buruk yang menimpanya, takdir yang mengabarkan bahwa waktunya tidak lama lagi.
Meski ditulis dengan alur yang ringan, tidak neko-neko seperti mencoba menggunakan simbol atau metafora, tetapi cerita ini emosinya terasa sekali.
Alih-alih sedih, penulis justru membuat si tokoh yang merupakan seorang laki-laki tua kesepian dan sudah bosan dengan hidupnya, merasa gembira dengan vonis tersebut. Penulis juga memberikan alasan-alasan yang meyakinkan sehingga pembaca bisa memahami keputusan si tokoh. Good!
Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.