Langit Bercahaya dan Cerita yang Kita … (3 Naskah Terbaik)

Langit Bercahaya dan Cerita yang Kita … (3 Naskah Terbaik)

Langit Bercahaya dan Cerita yang Kita Harap Takkan Pernah Terjadi

Oleh: Devin Elysia Dhywinanda

3 Naskah Terbaik lomba Melanjutkan Cerita

 

Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu. Itu adalah 2 tahun setelah penahanan Jameed, sahabatku, di tengah kelas matematika Al Hajeriyah; 4 tahun setelah penembakan Baba atas tuduhan tidak berdasar sebagai pemberontak; 39 tahun sejak kami perlahan ditinggalkan oleh mereka yang kami pikir adalah saudara; 81 tahun setelah kami mulai diserang dan dipaksa pergi dari rumah kami sendiri. Usiaku 13 tahun waktu itu, masih begitu muda dibandingkan sejarah tanah berdarah ini, tetapi aku telah belajar merangkai harapan dari sekian kisah sarat cahaya yang saban hari Mama kisahkan.

“Dia mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya,” demikian ucap Mama lembut.

Usai kepergian Baba, Mama mesti bekerja lebih keras demi menghidupi kami berdua—selain menjadi karyawan di Toko Kue Sabella, beberapa kali ia turut membantu merawat korban invasi—sehingga ia tampak sekurus dan serapuh ranting musim gugur. Ia menjadi lebih kurus dan rapuh lagi begitu gerakan invasi digencarkan sehingga mau tidak mau ia meninggalkan pekerjaannya di Sabella. Namun entah kenapa, setiap berkisah sambil memelukku dengan tangannya yang dahulu terbiasa membuat khubz, ka’ak, maamoul, dan jenis roti lain, aku selalu merasa aman. Aku tidak bisa berbohong bahwa aku merindukan Baba, Jameed, pun orang-orang yang lebih dahulu pergi, tapi kata-kata Mama adalah pelita yang menuntunku. Saat roti pita basi adalah satu-satunya yang bisa kami makan, Mama selalu bercerita tentang hidangan dari langit yang Allah turunkan untuk para pengikut Nabi Isa. “Hidangan itu adalah cahaya harapan, Nak,” katanya. “Sama seperti cahaya yang bisa kita temukan dalam kegelapan ini.”

Mama tak henti-hentinya mengajariku berdoa, maka aku pun berdoa agar cahaya yang dikisahkan Mama bisa hadir dalam hidup kami. Dalam tidur, aku sering bermimpi tentang hari-hari ketika kami tidak melulu harus makan roti pita atau flatbread yang keras dan pahit. Aku bermimpi tentang dunia di mana kami tidak perlu terus-menerus mengungsi, dikejar oleh bayang-bayang peperangan.

Namun, setiap kali aku terbangun, aku hanya mendapati realita yang suram. Bukan cahaya yang menyinari hari-hariku, melainkan suara sirine dan dentuman yang mengguncang tanah di bawah kaki kami.

Termasuk hari itu.

*

Malam dingin lima tahun lalu, ketika tengah menyiapkan hummus sebagai pendamping roti pita untuk makan malam, sirine tanda serangan udara kembali terdengar. Petugas evakuasi mulai bergerak. Anak-anak dan wanita didahulukan untuk diselamatkan.

Aku menggenggam tangan Mama erat. Sangat erat. Tapi debu dan puing segera menutup pandangan. Dan tangan Mama terlepas dari genggamanku.

Lagi-lagi bising.

Aku berlari ke sana kemari, memanggil-manggil namanya di antara kepulan debu dan suara tangis orang-orang yang terluka. “Mama!” Aku menjerit, suara parauku terhantam oleh ledakan lain yang menggetarkan bumi di bawahku.

Malam itu, langit tidak lagi terlihat cerah. Hanya kegelapan yang disertai kilatan cahaya dari serangan udara. Aku berusaha menemukan Mama di antara reruntuhan, tapi setiap langkahku seolah hanya memperlihatkan lebih banyak puing dan kehancuran.

*

Mama berhasil dievakuasi dini hari berikutnya dan segera dilarikan ke rumah sakit. Kondisinya buruk. Tangannya rusak lantaran terjepit lama di antara bangunan beton. Selain itu, ia juga mendapatkan luka di tempat lain. Harus dioperasi secepat mungkin, kata dokter yang menerimanya. Dan aku pada masa itu hanya bisa menangis sambil berdoa.

Semoga semuanya baik-baik saja.

Namun setelah operasi, luka Mama masih saja dikerubungi lalat, bahkan belatung ikut keluar dari sana. Beberapa kali aku menahan napas dan memalingkan wajah, tapi aku bertahan sebab hanya Mama yang sekarang kupunya. Aku berusaha meminta bantuan, tetapi diabaikan sebab banyak pasien dalam kondisi darurat yang membutuhkan pertolongan. Malah, dokter dengan dahi diplester sempat menyarankanku pergi ke tempat penampungan—tidak baik bagi seorang anak lama berdiam di sini.

Seketika aku menyalak dengan suara parau, “Aku mau menemani Mama!”

Mama semakin pucat. Ia tidak lagi berkisah. Ia lebih sering tidur, meskipun sambil meracau. Aku menggenggam tangan kirinya erat, menahan tangis. Di satu waktu, Mama tersenyum lemah seraya berucap, “Ayo, bantu Mama dengan doa, ya?”

Pasien baru terus berdatangan, membanjiri lantai rumah sakit yang telah disesaki tempat tidur darurat. Paramedis berlalu-lalang, berpindah dari satu korban ke korban lain. Kendati demikian, jumlah pasien yang membeludak tidak memungkinkan semua orang mendapat perhatian yang sama.

Termasuk Mama.

Dan, di tengah keriuhan itulah Mama berpulang.

“Ini adalah bencana—bantuan tidak kunjung datang, padahal kita kekurangan obat-obatan dan air bersih.”

“Kita benar-benar ditinggalkan sendirian.”

Itu adalah hari yang bising—aku dengar raungan ambulans, erangan, tangisan, teriakan. Dan kurasakan pandanganku berkunang-kunang.

*

Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja, dan seketika perutku bergejolak. Dalam pikiranku, terlintas sosok Mama yang memanggang kue untukku dan Baba. Terbayang Mama—juga puluhan bahkan ratusan orang lain—yang berpulang dengan luka dikerubungi lalat juga belatung. Teringat akan bagian tubuh yang berserak, dikerubungi lalat, pun menguarkan bau busuk di jalan berpuing menuju zona netral, tepat setelah kepergian Mama. Aku terkenang langit cerah yang selalu kupandangi, yang membantuku percaya semua akan baik-baik saja.

Lima tahun berlalu, dan kami masih sendirian.

“Dia mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya.”

Aku memalingkan wajah. Memejamkan mata.

Ini adalah hari yang sunyi; langit cerah, tetapi entah kenapa aku rasakan ada bagian kecil diriku perlahan melindap.(*)

Surabaya, 28 Juni 2024

Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis INFP hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.

Komentar juri, Berry:

Sebutan “klise” bisa jadi sangat subjektif. Bagi mereka yang pengalaman membacanya sedikit, bahkan ide cerita FTV Indosiar pun tidak akan mereka sebut klise. Tetapi bagi yang sudah banyak membaca, sesuatu yang klise bisa sangat spesifik. Bagiku, ide tentang “korban perang” yang mencoba bertahan hidup, dan berakhir tragis bukan lagi hal baru. Apalagi, formula dramatik dalam alur ceritanya pun tidak menambah aspek “kebaruan” yang semestinya ada. 

Meskipun begitu, tentu saja ide bukanlah satu-satunya aspek penilaian terhadap kualitas cerita, ada pula yang namanya teknik bercerita dalam arti dramatisasi, logika, karakterisasi, kekuatan ending dan seterusnya.

Secara teknik cerpen ini ditulis tanpa cela. Semua bagian cerita dipertimbangkan dengan baik dan setiap adegan dan narasi disisipi detail menarik yang berhasil menyeret pembaca untuk “masuk” ke dalam cerita. Seperti kata Charles Bukowksi, bahwa setiap kalimat dalam ceritamu harus memiliki “bumbu yang menyedapkan”, yang memberi “power” kepada pembaca untuk terus melanjutkan cerita. 

Jadi, meskipun aku berharap penulis yang sudah langganan mengikuti perlombaan kami ini memberikan ide yang baru (ia sudah terlalu sering mengangkat ide ini), eksekusi ceritanya yang apik membuatnya tetap layak terpilih sebagai 3 naskah terbaik.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply