Hadiah
Oleh: Retno Ka
Terbaik ke-5 lomba Melanjutkan Cerita
“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.
Mendengarnya, kamu merasa jadi mayat seketika. Tubuhmu kaku. Hawa dingin merebak dari ujung ke ujung. Tidak ada yang bisa meluncur dari mulutmu, barang sepatah huruf.
“Tuan bisa menganggap ini sebagai hadiah dari Tuhan. Banyak orang yang menjalani hidup dengan buruk tanpa tahu kalau waktunya tinggal sebentar. Namun, Tuan diberi keistimewaan supaya tahu. Tuan bisa lebih bersiap dan menikmati hidup dengan sebaik-baiknya.”
Tampak sekali sang dokter berusaha keras untuk menghiburmu. Sepertinya, meski seorang dokter telah terbiasa menyatakan berbagai macam vonis pahit kepada para pasiennya, itu tetap menjadi hal pelik baginya. Dan kamu yang masih tergugu tampak tidak keberatan dengan basa-basi itu. Kamu bahkan mengucapkan terima kasih dengan wajah berseri setelah bisa menguasai diri.
Namun, sesampainya kamu di rumah dan bersiap di pembaringan pada malam hari, kamu baru memikirkan perkataan dokter itu. Hadiah? Mengapa dari sekian banyak kosakata, harus kata hadiah yang dipilih untuk menggambarkan sekarat?
Istrimu terbangun dan mendapatimu termenung di tubir ranjang, lalu bertanya apa yang sekiranya kamu pikirkan.
“Bukankah dokter bilang hasilnya bagus?”
“Ya, tentu. Ini aku sedang bersyukur sampai tak bisa tidur.” Bibirmu mengguratkan senyum. Tipis dan getir.
“Haruskah aku bergabung denganmu, Rib?”
“Oh, tidak perlu. Tidurlah lagi. Aku juga sudah selesai.”
Kamu tersenyum lalu menyusup ke dalam selimut. Saat hendak terpejam, kamu terpikirkan membisikan sesuatu di telinga istrimu.
“Apa kau masih ingin bekerja, Pine?”
“Biasanya kamu tak senang jika aku membahas ini,” jawab istrimu sambil terpejam.
“Iya, tapi sepertinya aku sadar sudah terlalu mengekangmu. Mulai sekarang, lakukanlah apa yang kamu inginkan. Aku akan mendukungmu meskipun mungkin sudah terlambat.”
Istrimu membuka mata, lalu mengangguk dan memelukmu dengan hangat.
***
Pada mulanya, kamu masih merasa keliru telah mengizinkan istrimu pergi bekerja. Dengan kondisimu, sama sekali tidak mempengaruhi pemasukan yang kamu dapat dari toko daging yang kamu kelola. Dengan karyawanmu yang banyak, toko bisa tetap berjalan secara sistematis meskipun tidak mendapat sentuhanmu sedikit pun. Namun, kamu akhirnya tersadar, bekerja bukan saja perihal mendapatkan uang. Karena jika begitu, istrimu juga bisa melakukannya dari rumah melalui hobi menjahitnya. Dan dengan begitu, tentu istrimu tidak akan berbinar ketika mendapat izinmu pada malam itu.
Lalu, kamu pun sampai pada satu titik keyakinan, bahwa keputusanmu sudah benar-benar tepat. Istrimu tampak kembali menjadi pribadi yang sama saat kamu baru mengenalnya. Ceria dan penuh energi. Dari hari ke hari, ia terus menunjukkan semangat hidup yang tinggi. Kamu agak menyesal tidak melakukannya lebih awal.
***
Suatu sore, istrimu menghampirimu saat tengah berkebun di halaman belakang rumah. Itu adalah hobi barumu semenjak mendapat vonis dari dokter. Kamu hampir tak pernah lagi pergi ke toko. Tepatnya, hanya tiga kali selama kurun waktu dua bulan.
“Mari minum teh.”
Istrimu meletakkan satu nampan berisi dua cangkir kosong dan teko kaca berisi teh hangat di meja besi berbentuk bundar.
“Kenapa repot-repot, kau pasti lelah baru pulang kerja.”
“Sama sekali tidak. Aku malah merasa bersalah karena kita sudah jarang minum teh bersama lagi sekarang.“
“Bukankah kita masih bisa melakukannya saat sarapan?”
“Itu beda, Rib.” Istrimu terkekeh. Lalu kembali berkata, “Oh, ya, Rib. Bolehkah aku pergi dinas ke luar kota besok pagi?”
“Boleh saja.”
“Terima kasih. Besok pagi Antoni akan menjemputku ke rumah. Kau juga mengenalnya, kan?”
“Laki-laki yang berkacamata itu? Ya, ya, aku ingat.”
Istrimu menuangkan teh ke cangkirmu yang sudah tandas, dan kau segera menyesapnya lagi hingga tinggal setengah.
“Ngomong-ngomong, Rib, kau tampak kurusan. Apa kau tidak enak badan?”
Sejenak kamu terdiam. Mengatur kata-kata.
“Ini pasti karena gaya hidup sehat yang kulakukan akhir-akhir ini.”
“Benarkah? Tapi wajahmu juga pucat.”
“Tentu saja, aku belum mandi.” Kamu kembali meraih cangkirmu, menyembunyikan gurat-gurat di wajahmu.
***
Suatu hari, pada sore yang lain, istrimu kembali pulang cepat dan menghampirimu yang tengah memangkas dedaunan kembang sepatu dengan gunting khusus.
Istrimu tidak membawa teh. Namun, tangannya menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
“Aku punya sesuatu untukmu.”
“Kalau aku tak salah ingat, hari ini bukan hari jadi pernikahan kita.”
“Ini hadiah dari Tuhan, Rib,” ujar istrimu dengan wajah berseri. Lalu, ia menunjukkan benda yang disembunyikannya.
Kamu terkejut. Bertahun-tahun lalu, kamu membeli benda itu sebanyak selusin atas permintaan istrimu. Beberapa bulan sekali istrimu memakai benda itu dan ketika sampai pada benda terakhir, istrimu tampak layu dan menangis tersedu-sedu. Kamu bilang kalau tidak keberatan jika harus membeli benda itu lagi sebanyak apa pun, tetapi istrimu justru marah sejadi-jadinya dan tidak mau bicara denganmu sampai dua hari.
Kamu tidak tahu harus memberi reaksi apa kepada istrimu.
“Selamat, ya, Pine, kau akan segera punya bayi.”
“Bukan kau, Rib, tapi kita.”
“Oh, ya.”
“Ada apa dengan reaksimu? Ini pasti terasa seperti mimpi, kan?” Istrimu terpingkal-pingkal.
“Iya, ini terasa seperti mimpi.”
Istrimu memelukmu erat, dan kamu mengusap-usap punggungnya. Namun, pandanganmu kosong. Ingatanmu melayang pada hari ketika kamu harus mendengarkan soal vonis penyakitmu. Sebelum beromong kosong perihal hadiah dari Tuhan, dokter lebih dulu menjelaskan tentang penyakitmu. Dikatakan oleh dokter, bahwa penyakitmu bukan saja akan membuat nafsu makanmu berkurang, melainkan juga menutup kemungkinan untuk memiliki keturunan.
Jepara, 28 Juni 2024
Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.
Komentar juri, Erlyna:
Awalnya, saya menyayangkan beberapa detail yang tidak dicantumkan penulis dalam cerita ini, seperti misalnya jenis penyakit apa yang diderita si tokoh dalam cerita. Namun, meski ide yang diusung cenderung klise, penulis mampu menghadirkan emosi yang kental dan kesan yang mendalam setelah membacanya. Cerita-cerita sederhana seperti ini selalu enak dinikmati karena tidak terlalu banyak detail.
Meski cerita ini sempat menjadi perdebatan di ruang diskusi juri, perihal perlakuan istri yang dianggap terlalu tidak acuh (atau kurang peka) sehingga sampai tidak menyadari bahwa suaminya sakit padahal mereka tinggal serumah, hal itu ternyata cukup beralasan ketika saya membacanya hingga akhir dan menemukan jawaban atas tingkah-tingkah “aneh” istrinya itu.
Mantap!
Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.