Kabar Kematian dan Upaya Menghindarinya (Terbaik ke-6)

Kabar Kematian dan Upaya Menghindarinya (Terbaik ke-6)

Kabar Kematian dan Upaya Menghindarinya

Oleh : Halimah Banani

Terbaik ke-6 lomba Melanjutkan Cerita

 

“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.

Vonis yang disampaikan dokter pada Senin siang itu terus mengusikmu, dan akhirnya membawamu pulang ke kampung halaman untuk menemui Lasmini, perempuan gila yang dipasung di sebuah gubuk di pinggir hutan sejak sembilan belas tahun lalu.

Sebenarnya, setelah sekian lama pergi untuk mengadu nasib di kota, kau sudah melupakan kampung halamanmu. Ayahmu sudah meninggal sejak kau masih di dalam kandungan, dan ibumu menyusulnya delapan belas tahun kemudian. Kau juga tak punya kerabat yang ingin kau kunjungi ataupun seseorang untuk kau temui, sehingga tak ada alasan bagimu untuk pulang ke sana. Namun, saat sedang memandangi istrimu yang tengah terlelap sambil bertanya-tanya bagaimana nasibnya setelah kepergianmu, tiba-tiba saja kau teringat malam di mana orang-orang memukuli Suratman dengan membabi buta setelah mendapatinya menyembelih seorang bocah tujuh tahun dari dusun sebelah yang dikabarkan telah menghilang sejak tiga hari dan menggantungnya layaknya kambing kurban.

“Leila akan sembuh sebentar lagi!” ucap Suratman lantang, dan membuat orang-orang makin kalap.

Lasmini menyaksikan semuanya. Ketika para warga berbondong menghampiri gubuk tempat Suratman melakukan ritual entah apa hingga pria itu meregang nyawa. Ia sempat menangis meraung-raung meminta warga untuk mengampuni suaminya, lalu jatuh pingsan.

Begitu terbangun di sofa ruang tamu rumahnya, Lasmini langsung berlari menuju dapur. Ia mengambil pisau lalu menodongkannya kepada semua orang yang ditemuinya sambil mengatai mereka pembunuh dan tukang jampi-jampi.

“Kalian sengaja membunuh suami saya supaya Leila tidak pernah sembuh, kan? Kalian juga pasti ingin anak saya mati, kan?” teriak Lasmini.

Tindakan berbahaya Lasmini itu membuat warga bersepakat untuk memasungnya di gubuk tempat mereka menggerebek Suratman. Dan sehari setelah pemasungan Lasmini, Leila yang selama empat belas bulan terakhir ini sakit parah dan sudah sekarat itu mendadak segar bugar—meski sayangnya itu tak membuat kondisi Lasmini ikut membaik.

Orang-orang menganggapnya sebagai keajaiban, begitu juga denganmu. Saat itu.

Namun sekarang, kau meyakini kalau kesembuhan Leila yang tiba-tiba itu bisa jadi berkat ritual yang dilakukan Suratman, dan karenanya kau berbohong kepada istrimu dengan mengatakan bahwa kau ingin pulang kampung dan ziarah ke makam kedua orangtuamu. Istrimu sempat memaksa untuk ikut karena khawatir dengan kondisimu, tapi kau bersikeras melarangnya. Kau tahu kesehatannya sedang tak baik karena kurang istirahat akibat merawatmu yang sering kolaps, dan kau membujuknya untuk istirahat di rumah. Lebih dari itu, kau tak ingin ia tahu kalau kepergianmu ialah untuk menemui Lasmini. Kau yakin perempuan gila itu pasti mengetahui semua usaha suaminya untuk menyembuhkan anak semata wayang mereka. Dan kau merasa perlu mencoba cara terakhir yang dipakai Suratman untuk kesembuhanmu.

“Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita.”

Tiba-tiba saja kalimat yang sering diucapkan oleh istrimu itu menggema dalam dirimu ketika kau membuka pintu gubuk tempat Lasmini berada.

Dulu, kau sangat meyakini kalimat itu. Ia mampu membuatmu bersyukur pada hari-hari sulit di mana kau dan istrimu hanya bisa makan satu kali sehari. Ia juga mampu menguatkanmu di saat usaha yang kau rintis belum membuahkan hasil. Ia juga mampu memupuk keyakinanmu kala penantianmu dan istrimu akan buah hati seolah-olah hanya sebatas angan.

Sayangnya, sejak enam tahun lalu kau sudah tak lagi percaya. Meskipun kalimat itu juga keluar dari mulut istrimu.

Kau tahu Tuhan Maha Tahu, tapi kau beranggapan bahwa Tuhan tak mau tahu.

Tuhan tak mau tahu kesabaran yang susah payah kau dan istrimu pupuk sehingga tega menghancurkan tunas kebahagian yang baru tumbuh kala sebuah janin menghuni rahim istrimu setelah sepuluh tahun penantian. Dia mengizinkan istrimu mengandung, tapi Dia pula yang membuat istrimu keguguran bahkan hampir meregang nyawa.

Tuhan tak mau tahu keikhlasan yang mati-matian istrimu tanamkan ketika ia harus merelakan dirinya tak pernah bisa menjadi seorang ibu sebagaimana yang selalu diimpikannya sejak kalian menikah. Dia mengabaikan air mata yang coba istrimu sembunyikan darimu setiap melihat seorang bayi atau balita.

Tuhan juga tak mau tahu ketabahan kalian kala mendengar dokter menyampaikan bahwa kau menderita kanker pankreas, sehingga belum ada setahun diagnosis itu disampaikan, dokter sudah memvonismu dengan sisa umur lima bulan lagi.

Dan kau teramat yakin kalau Tuhan pun tak akan mau tahu bagaimana suramnya hidup istrimu setelah kepergianmu. Jadi, tanpa berharap apa pun lagi kepada Tuhan, kau melangkah menghampiri Lasmini yang duduk mengenaskan di sudut ruang dengan kaki terpasung.

***

Empat bulan telah berlalu sejak kau menemui Lasmini, lalu bersusah payah melakukan semua hal yang dikatakannya. Kini, kau duduk dengan gelisah menunggu hasil pemeriksaanmu dibacakan, dan betapa senang dirimu saat dokter mengatakan bahwa sel kanker yang menyerang jaringan pankreasmu telah lenyap tak bersisa.

“Ini benar-benar keajaiban!” seru sang dokter yang tampak masih belum bisa percaya.

Setelah menyelesaikan segala urusan di rumah sakit, kau buru-buru pulang untuk menemui istrimu dan menyampaikan kabar gembira ini. Namun, keinginan itu harus sedikit ditunda kala kau mendapati istrimu tengah salat Asar.

Sayangnya, selagi kau duduk menunggu istrimu selesai salat dengan senyum teramat lebar, aku tahu bahwa kebahagiaanmu tak kan berlangsung lama. Aku sudah bisa menebak apa yang akan terjadi padamu ketika Izrail datang dan mengucapkan salam padaku sebelum menghampiri istrimu yang sedang khusyuk dalam sujudnya.(*)

Jakarta, 28 Juni 2024

Halimah Banani, salah satu penulis kumcer Iblis Pembisik (Omah Aksoro, 2019) dan Candramawa: Cinta dan Sebuah Kisah (Hazerain, 2019).

Komentar juri, Berry:

Cerita ini meninggalkan kalimat yang menyentak bahkan setelah kamu selesai membacanya: “Tuhan yang Maha Tahu, tetapi tak mau tahu.” Dan ia sangat relevan jika kita hubungkan dengan pertanyaan kenapa ada orang yang memutuskan untuk tidak bertuhan? Mereka—sebagian dari mereka—yang mengalami nasib buruk, yang kemudian membuat mereka menduga bahwa mungkin Tuhan memang tidak ada, atau memang tak pernah peduli dengan mereka. 

Hal lain yang begitu relevan adalah bahwa seseorang akan lebih termotivasi (jika tidak pas disebut “nekat”) untuk melakukan sesuatu yang berat dan sangat berisiko demi orang-orang yang mereka sayangi, ketimbang demi mereka sendiri. Betul, terkadang jika tujuan itu untuk diri sendiri, motivasi belum tentu hadir, karena belum tentu seseorang punya rasa sayang pada dirinya sendiri, sehingga dari alam bawah sadar mereka merasa layak mengalami nasib buruk.

Terlepas dari tema yang kuat dan dieksplorasi dengan baik, sedikit masalah logika kami rasai mengganggu, apakah begitu mudah untuk mendapatkan informasi berharga dari mulut seorang “perempuan gila” yang sudah terpasung selama 19 tahun?

Tentu saja ada hal-hal yang tetap mungkin meskipun peluang untuknya terjadi sangat kecil, tetapi bagaimanapun, akan lebih baik jika kejanggalan itu bisa terasa berterima di dalam cerita. Sayangnya belum kami rasakan dari cerpen ini.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply