Di Sudut Ruang Tunggu (Terbaik ke-10; Melanjutkan Cerita)

Di Sudut Ruang Tunggu (Terbaik ke-10; Melanjutkan Cerita)

Di Sudut Ruang Tunggu

Oleh: Rinanda Tesniana

Terbaik ke-10 lomba Melanjutkan Cerita

 

“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.

Bapak terduduk lemas di kursinya mendengar vonis yang diucapkan dokter dengan suara perlahan. Sementara aku berusaha menunjukkan raut muka sedih yang alami meski di dalam hati sedang bersorak kegirangan. Aku usap bahu Bapak agar dokter yakin aku benar-benar terpukul mendengar berita ini.

“Sebenarnya hal seperti ini tidak ingin saya sampaikan kepada Anda langsung, Pak, tetapi saya ingin Anda menikmati hari-hari terakhir dengan bahagia. Silakan bepergian ke mana saja, Anda pun boleh makan semua makanan yang Anda inginkan.”

Dokter berperawakan tinggi besar itu menoleh padaku, “Jangan ada pantangan makan, ya, Mbak. Apa pun yang Bapak mau, kasih saja.”

Aku mengangguk pelan, tak ingin terlihat terlalu bersemangat.

“Dosis penghilang rasa sakitnya saya naikkan. Boleh dimakan kalau Anda tidak bisa menahan rasa sakit.”

Bapak—yang sebenarnya tidak terlihat seperti orang sakit—beranjak dari kursi setelah dokter mengucapkan kalimat penyemangat untuknya. Langkah kaki lelaki paruh baya itu panjang-panjang saat menuju apotek. Ah, sebenarnya dia tidak memerlukan kehadiranku saat kontrol begini, tetapi apa kata orang kalau penderita kanker ginjal stadium akhir yang bahkan sudah tidak disarankan dokter untuk kemoterapi, ke rumah sakit seorang diri? Terlebih kami tinggal di tengah perkebunan sawit milik Bapak yang luasnya tak bisa aku hitung dengan pasti. Butuh waktu enam jam untuk pulang-pergi.

Dulu kami tinggal di lingkungan keluarga Ibu. Sejak Ibu stroke, di mataku Bapak berubah wujud menyerupai serigala yang suka memakan anak domba. Terlebih setelah dia membawa kami tinggal di tengah kebun sawit dan menjauh dari dunia luar.

Di apotek rawat jalan, aku mengonfirmasi ke bagian penerimaan resep untuk memastikan resep obat Bapak sudah dimasukkan ke dalam sistem. Kadang, teknologi yang serba memudahkan ini malah membuat canggung. Rumah sakit tipe A tempat Bapak berobat menerapkan sistem online untuk semua pelayanannya. Mulai dari pendaftaran sampai penerimaan resep obat. Aku lebih nyaman dengan alur berobat di puskesmas dekat tempat tinggal kami yang serba manual.

Setelah menunggu sebentar, aku menyusul Bapak duduk di sudut ruang tunggu yang masih lengang. Mungkin karena masih pagi, atau karena orang terlalu malas menunggu pengambilan obat yang sangat lama. Kadang perlu waktu dua hingga tiga jam sampai semua obat siap dibawa pulang.

“Kau senang, kan, kalau aku mati!” tuduh Bapak sesaat setelah aku duduk.

Aku mengangkat bahu lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempang yang aku letakkan begitu saja di kursi sebelah.

“Pasti kau senang, kan!”

Tampaknya beliau tak puas sebelum aku menjawab iya. Namun telingaku seolah tuli. Aku sengaja mengabaikan pertanyaannya. Tanganku sibuk menaik-turunkan layar handphone. Mencoba mencari kesibukan agar tak harus mengobrol dengannya.

“Tentu saja kau senang. Kalau aku mati, kau mewarisi rumah, mobil, sawah, kebun sawit. Belum emas yang aku simpan di brankas.”

Aku melirik sekitar, memastikan tak ada orang di dekat kami yang mendengar ucapan lelaki tua ini. Dia memang benar mengenai hal itu. Sebagai anak tunggal aku pasti mewarisi semua miliknya. Akan tetapi, apa dia tidak berpikir tentang Ibu yang sudah sepuluh tahun terbaring di tempat tidur, atau mengingat Sabila, Reyhan, dan Yuna, ketiga bocah berkebutuhan khusus yang harus aku besarkan? Aku butuh empat orang pengasuh dan seorang asisten rumah tangga agar tetap waras dalam menjalani kehidupanku yang tak waras.

“Kau pasti lega karena tidak ada lagi yang mengganggu tidurmu,” rengeknya lagi.

Katakan apa saja, aku tak peduli.

“Kau bisa menghabiskan waktu untuk mengurus ibumu yang sakit-sakitan itu dan ketiga bocah yang harusnya sudah kau bunuh sejak dalam kandungan!”

Aku menoleh dengan sorot mata muak ke arahnya. Dia tahu persis aku tidak suka jika dia membahas soal penyakit Ibu dan kondisi ketiga … anakku. Ah, entahlah, apakah mereka anak atau adikku, yang jelas aku menyesal karena Ibu berhasil menggagalkan niatku untuk bunuh diri sepuluh tahun lalu. Kata Ibu, bunuh diri itu dosa besar yang menyebabkan kita kekal di neraka, tetapi menjalani kehidupan seperti sekarang pun rasanya seperti di neraka.

“Kau sejak tadi tak mau bicara.” Bapak meraih tanganku, tetapi lekas aku tepis dengan rasa jijik yang tak segan aku tunjukkan.

“Tunggu saja di mobil. Kan ada Parno. Biar aku yang menunggu obat!”

Bapak merengut tetapi dia tak beranjak dari sisiku. Aku tahu, dia tak suka dengan Parno, lelaki yang aku gaji untuk mengantar Bapak ke sana-kemari sejak dia sakit. Meski fisik Bapak terlihat kuat, tetap saja dia sakit dan membutuhkan orang lain yang selalu berada di sisinya. Aku tidak mau menjadi orang itu.

“Bisa kau suruh Parno duluan saja? Aku rindu kau, Nin.”

Rindu yang Bapak ucapkan selalu membuat bulu kudukku berdiri. Rasa mual yang tak pernah bisa hilang jika Bapak sudah mengeluarkan kalimat itu membuatku menutup mulut kuat-kuat.

“Kita bisa ke tempat biasa, kan, Nin?”

“Bapak tidak takut mati? Tidak takut neraka? Umur Bapak tak lama lagi!” aku berkata ketus kemudian memelankan suara karena beberapa pasang mata melihat ke arahku.

“Umur hanya angka, Nin, tidak ada hubungannya dengan rasa rindu Bapak denganmu.”

“Sudahlah! Aku mau langsung pulang.”

“Nin ….”

“Aku tunggu di mobil. Nanti Parno aku suruh ke sini.”

“Nin ….”

***

Padang, 29 Juni 2024

Rinanda Tesniana, pencinta hujan dan bubur ayam.

Komentar juri, Berry:

Kesan pertamaku setelah membaca cerita ini adalah betapa “buas” ide ceritanya. Sangat gelap dan menjijikkan. Rasanya seperti dicemplungkan ke dalam sumur yang lembab, basah, dan bisa kaurasakan banyak makhluk kecil tak kauketahui bergerak-gerak mengerubungi kakimu. Dan itulah yang membuat cerpen ini, paling tidak menurutku, tampak menonjol. Ia menawarkan sesuatu yang tidak ada pada cerita lain. Meskipun begitu, ide yang sangat berani ini terasa tidak seimbang dengan karakterisasi. Tiap tokoh adalah ekstrem, situasi yang mereka jalani adalah ekstrem, alur ceritanya pun ekstrem; sementara ruang menulis yang tersedia tidak memadai. Dan yang akhirnya terasa adalah pacing yang terlalu cepat.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLKdi 

Leave a Reply