Biasa Saja (Terbaik ke-11; Melanjutkan Cerita)

Biasa Saja (Terbaik ke-11; Melanjutkan Cerita)

Biasa Saja

Oleh: M Indah

Terbaik ke-11 lomba Melanjutkan Cerita

 

Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu.

Aku menemukannya di teras belakang. Perempuan yang telah melahirkanku puluhan tahun yang lalu itu menghadap tepat ke pintu belakang, memunggungi taman kecil ala Jepang yang dia rawat sepenuh hati. Dari bau yang sangat menyengat dan hampir membuatku muntah, aku tahu bahwa dia tidak sedang tidur.

Aku terpaku di pintu. Kutahan diriku sekuat tenaga untuk tidak mendekatinya. Buru-buru kuhubungi Hilman, adikku. Aku tahu seharusnya segera memanggil satpam atau dokter langganan Mami, tetapi kuputuskan untuk menunggu Hilman tiba dan menikmati waktu berdua dengan Mami untuk yang terakhir kalinya.

Kupandangi tubuh membusuk yang duduk bersandar di kursi goyang; mengenakan daster batik kesayangannya yang sudah hampir pudar warnanya; dengan rambut putih yang telah menipis, bahkan rontok dan berserakan di sekitar kursi goyang. Matanya tertutup rapat seakan sedang tertidur pulas, tanpa peduli ribuan lalat yang beterbangan mengelilinginya dan belatung-belatung yang berpesta di tubuhnya.

Mami adalah seorang perempuan luar biasa cerdas, tetapi bernasib buruk sehingga SD pun dia tidak lulus dan harus bekerja keras sejak belia. Kerasnya hidup menempanya menjadi perempuan tangguh. Namun setelah menikah, dia menjelma menjadi perempuan pemuja kehidupan yang ‘biasa saja’. Itu yang dikatakan Papi. Papi, aku, dan Hilman adalah korban obsesi Mami.

“Papi ndak bisa apa makan pake tangan biasa aja gitu? Ndak usah belepotan?” atau “Ngambil sendoknya biasa aja, tho, ndak usah dijatuh-jatuhin gitu,” atau “Bisa ndak tidurnya biasa aja? Masa tidur aja sprei bisa sampai copot semua gini.” Setiap saat, ada saja omelannya yang tidak lepas dari kata ‘biasa saja’, yang membuatku mengerut dan tertunduk penuh perasaan bersalah.

Sebagai anak sulung yang selama sepuluh tahun menjadi anak tunggal, sebelum Hilman lahir, aku mati-matian memenuhi standar Mami. Sejak kecil, aku biasa mengamati banyak orang untuk menjadi ‘orang biasa’; berusaha membantu pekerjaan rumah supaya dikatakan anak yang berbakti; belajar dengan tekun dengan harapan bisa menjadi anak pintar, meskipun tidak selalu berhasil.

Lalu, Hilman tumbuh menjadi anak jenius dan standar ‘biasa’ Mami mencapai langit ketujuh. Nilai-nilaiku di rapor SMA menjadi tidak pernah cukup. Apalagi, ketika aku gagal masuk universitas negeri seperti harapan Mami, aku menjelma menjadi beban pikirannya. Aku cukup beruntung karena dengan kemampuanku yang hanya sedikit di atas rata-rata, aku berhasil mendapatkan beasiswa untuk menutup biaya kuliah.

Setelah aku mendapat gelar Sarjana Sastra, sepertinya Tuhan memutuskan untuk menjadikanku manusia luar biasa, sehingga aku berhasil menjadi guru SD dengan status Pegawai Negeri Sipil tanpa perlu lama menjadi guru honorer, bahkan tak berselang lama, aku terpilih menjadi penerima beasiswa S2 di Jepang. Waktu mengantarkan aku ke bandara, Mami memelukku erat sambil berurai air mata. Kurasa, aku telah cukup membuatnya bangga.

Hal biasa selanjutnya yang harus kulakukan adalah menikah. Nasib baik, Tuhan mempertemukan aku dengan lelaki yang sesuai standar Mami di Jepang. Kami menikah setelah lulus, tetapi sayangnya pernikahan kami tidak berlangsung lama dan kami berpisah tanpa anak. Baru beberapa tahun membuat Mami bangga, aku kembali mengecewakannya. Hal itu membuatku memutuskan untuk tinggal di rumah kos, selain karena sekolah baru tempatku bertugas terletak cukup jauh dari rumah orang tuaku.

Sementara itu, Hilman berhasil menjadi dokter spesialis bedah ternama dan tinggal di kota tetangga, satu jam perjalanan dengan mobil dari rumah Mami. Setiap akhir pekan dia mengajak anak dan istrinya menginap di rumah Mami. Aku jarang bergabung dengan alasan ada kelas di Universitas Terbuka. Tanpa mereka tahu, aku sering mengajak Papi bertemu di luar rumah, sekadar berjalan-jalan sore di taman kota, atau makan di warung soto langganan Papi. Darinya, aku tahu kondisi rumah dan Mami.

Papi selalu meyakinkanku bahwa Mami tidak pernah kecewa padaku, bahwa Mami menyayangiku sama besar dengan rasa sayangnya kepada Hilman. Namun, aku tetap menolak mengunjungi Mami. Aku tidak akan tahan dengan omelannya tentang hal-hal ‘biasa’ yang pasti akan dijabarkannya.

Hingga Papi meninggal, aku tetap menjaga jarak dengan Mami. Baru setelah Hilman gagal memaksa Mami untuk tinggal bersamanya, aku mengumpulkan seluruh keberanian untuk tinggal bersama Mami, merawatnya semampuku, dan kembali mendengarkan omelan-omelannya.

Pagi itu, aku meninggalkan Mami untuk mengikuti seminar di ibu kota selama sepekan. Aku sudah menyiapkan segala keperluan Mami, bahkan Bi Ijah bersedia menginap selama aku pergi. Namun, malamnya, Bi Ijah mengabarkan bahwa Mami menyuruhnya pulang dan tidak perlu datang lagi dengan alasan Mami dapat mengurus dirinya sendiri. Memang Mami masih cukup trengginas untuk ukuran perempuan berusia enam puluh delapan tahun jadi aku turuti keinginannya. Mami juga sudah berjanji untuk langsung menghubungiku jika ada keadaan darurat.

Apa lacur, Mami menyambut kepulanganku dengan badan yang membusuk. Pantas saja dia tidak menjawab telepon dan pesanku sejak dua hari yang lalu. Bi Ijah yang kusuruh mengecek ke rumah juga tidak bisa masuk karena pagar dikunci, sedangkan Hilman dan keluarganya juga sedang ke luar kota sehingga tidak dapat menengok Mami.

Ah, Mami … inikah kematian secara biasa yang Mami inginkan? Padahal, ada berita luar biasa yang akan kuceritakan padamu.

“Dik, kenapa lalatnya gak diusir?” tanya suamiku yang baru masuk dapur lalu sibuk mengusir lalat yang mengerubungi roti. Sementara aku masih diam, tak tertarik untuk membantunya.(*)

Tangerang, 28 Juni 2024

M Indah adalah seorang ibu rumah tangga yang sedang belajar menulis untuk berbagi.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply