Tuan Bejo Kemet dan Bukit di Belakang Rumah
Oleh: Aryati
Terbaik ke-12 lomba Melanjutkan Cerita
“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi, kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak akan lebih dari lima bulan lagi,” kata sang dokter dengan wajah iba.
“Anda yakin dengan pernyataan Anda, Dok?”
Wajah dokter itu berubah. Lalu, ia menunduk. “Saya tidak berani menjawab, Tuan, tapi saya sudah memastikan hal ini.”
“Begini, Dok. Maksud saya, perkiraan lima bulan itu waktu yang sangat pendek. Bahkan saya belum mempersiapkan apa pun.”
Dokter itu paham, seseorang yang dihormati seperti Tuan Bejo Kemet pasti akan mempersiapkan segala sesuatu yang penting baginya. Apalagi ini perihal kematiannya. Dalam suatu pertemuan sebelum-sebelumnya, Tuan Bejo Kemet sudah pernah menyampaikan jika suatu saat meninggal, ia ingin dikuburkan di bukit batu di belakang rumahnya. Ia ingin bukit itu menjadi tanda keberadaannya. Selain itu, ia juga ingin pemakamannya diiringi dengan tangisan yang betul-betul tidak akan dilupakan orang-orang.
“Tuan memiliki banyak anak buah yang bisa diandalkan. Kalau perlu warga kampung ikut dikerahkan untuk mempersiapkan. Semua tak akan menolak, mengingat jasa-jasa Tuan yang sangat besar untuk orang-orang di sini.”
Setelah Dokter itu pulang, yang pertama akan ia lakukan, ia akan meminta beberapa pegawainya untuk menyuruh orang-orang mulai bekerja esoknya. Makam untuknya nanti akan dibangun di sebuah bukit batu di belakang rumahnya. Bukitnya tak begitu jauh, tapi karena jalanan yang dilalui cukup sulit dan hanya bisa dengan jalan kaki saja, maka satu jam diperkirakan cukup untuk sampai di sana. Bukitnya pun sebetulnya tidak terlalu tinggi, tapi semuanya batu.
Rumah Tuan Bejo Kemet terpisah dengan warga lainnya. Berada di ujung jalan yang jauh dari pemukiman. Rumahnya luas, terdiri atas 3 lantai, seperti istana. Tuan Bejo Kemet juga memiliki lahan perkebunan palawija yang tak kalah luasnya. Semua warga di sana bekerja untuk Tuan Bejo Kemet.
Tuan Bejo Kemet tak pernah mengecewakan pekerjanya. Ia selalu memberi upah yang pantas. Ia juga sering memberi bantuan pada pekerjanya yang mengalami kesulitan. Namun, ia tak memiliki istri dan anak.
“Kat, hubungi Likra agar mempersiapkan diri,” ucap Tuan Bejo Kemet kepada salah satu anak buahnya pada suatu siang.
“Tuan, kabar dari orang-orang, Yute lebih baik daripada Likra, Tuan. Tangisnya lebih bervariasi. Lagipula Likra sudah cukup tua. Tangisannya tak sebaik dulu sewaktu muda. Yute ini masih saudara Likra.”
“Kau sudah pernah melihatnya menangis?”
“Belum, Tuan.”
“Cepat panggil dua-duanya kemari. Aku ingin menyaksikan sendiri.”
“Baik, Tuan.”
“Satu lagi.”
“Ya, Tuan.”
“Buat jalan ke bukit belakang rumah. Kita akan membuat pemakaman di bukit itu.”
“Tapi, Tuan …. Itu semuanya batu.”
“Kerahkan semua warga.”
Esoknya, asisten Tuan Bejo mempersiapkan semuanya. Mereka menyuruh warga sekitar membantu pekerjaan tersebut.
Pertama, para pekerja itu mulai menebangi pohon di sekitar jalan setapak yang menuju ke bukit agar lebih lebar. Pekerjaan ini cukup sulit karena jalanan yang menanjak dan penuh bebatuan. Hari pertama pekerjaan cukup lancar walaupun banyak kendala. Di hari-hari berikutnya, pekerjaan itu mulai membuat para pekerja kewalahan. Beberapa orang jatuh tergelincir hingga luka-luka.
Pegawai Tuan Bejo segera melaporkan kepada Tuan Bejo Kemet.
“Apa mungkin sebaiknya kita cari tempat lain, Tuan. Di bukit sebelahnya, misalnya. Maaf, Tuan, Mak saya di sana tak begitu ….”
Tuan Bejo Kemet diam sambil menatap ke arah asistennya.
“Baik, Tuan.”
Asisten itu hanya mengangguk kemudian segera berlalu. Ia memerintahkan orang-orang untuk kembali bekerja. Walau mulai banyak orang-orang yang mengalami luka, tapi mereka harus tetap melanjutkan pekerjaan.
Tuan Bejo Kemet mengawasi orang-orang yang bekerja itu dari lantai tiga rumahnya.
“Tuan, Likra dan Yute sudah menunggu.” Salah satu asistennya datang.
Tuan Bejo Kemet segera meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruang tempat kedua penyedia jasa menangis itu menunggu. Begitu sampai di ruangan, salah satu pegawai Bejo Kemet menyuruh Likra mulai menangis, kemudian dilanjutkan dengan Yute.
“Bagaimana, Tuan?”
“Suruh Likra mempersiapkan diri.”
Pegawai Tuan Bejo Kemet mengantar keduanya keluar.
***
Setelah satu bulan berlalu, pekerjaan membuat jalanan ke bukit itu belum juga selesai. Sementara itu Tuan Bejo Kemet mulai merasakan sakit di badannya. Namun, dia tetap saja mengawasi proses pekerjaan di bukit belakang rumah.
Walau cukup sulit, akhirnya pekerjaan membuat jalan itu bisa diselesaikan dalam waktu dua bulan. Kemudian dilanjutkan dengan menggali batu-batu untuk dijadikan tangga menuju bagian atas bukit. Pekerjaan ini lebih sulit dari sebelumnya. Mereka terus menemui kendala. Beberapa pekerja juga ada yang menjadi korban, ada yang tertimpa batu, ataupun tergelincir dan jatuh.
Hampir tiga bulan berlalu, pekerjaan membuat tangga belum juga selesai. Sementara itu kondisi Tuan Bejo Kemet makin menurun. Dia kini hanya bisa terbaring di kamarnya.
Dokter yang pernah memeriksanya datang lagi. Ia tahu, sebentar lagi saatnya akan tiba. Ia menyampaikan pada pegawai Tuan Bejo Kemet agar selalu menjaga Tuannya itu. Jangan sampai Tuannya dibiarkan seorang diri.
Dan kabar menurunnya kondisi Tuan Bejo Kemet sampai pada orang-orang. semenjak itu, mereka bekerja terus menerus, pagi hingga malam. Dan dalam waktu kurang dari 10 hari, mereka telah selesai mempersiapkan tempat pemakaman bagi Tuan Bejo Kemet.
***
Pagi itu cuaca mendung, jenazah Tuan Bejo Kemet dengan pakaiannya yang paling bagus telah dibawa ke atas bukit. Likra juga sudah berdiri di samping jenazahnya. Perempuan itu mulai memperdengarkan tangisannya. Hampir semua yang berdiri di sana menangis.
Setelah jenazah dimasukkan dalam liang dan ditutup tanah orang-orang mulai menuruni bukit. Gerimis perlahan turun.
Banjarnegara, 28 Juni 2024
Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.