Merancang Kematian (Terbaik ke-15; Melanjutkan Cerita)

Merancang Kematian (Terbaik ke-15; Melanjutkan Cerita)

Merancang Kematian

Oleh: Evvy Yulityani

Terbaik ke-15 lomba Melanjutkan Cerita

 

“Aku tidak tahu apakah ada cara terbaik untuk mengatakan hal ini padamu, Tuan. Tetapi kejujuran adalah jalan satu-satunya. Dari hasil pemeriksaan selama beberapa hari terakhir, kami hanya bisa memperkirakan jika usia Anda tidak lebih dari lima bulan lagi,” kata sang Dokter dengan wajah iba.

Kalimat yang tertata rapi dan disampaikan secara hati-hati itu bagaikan jarum suntik yang ditancapkan secara serampangan ke jantungku. Aku menatap dokter spesialis penyakit dalam, yang dua tahun belakangan menjadi dokter pribadiku, dengan tatapan nanar.

“Sel kanker tidak hanya menjangkiti paru-paru, tapi telah merambah ke kelenjar getah bening.” Ia merendahkan nada suaranya. “Kami tidak dapat berbuat banyak, Tuan.”

Syaraf-syaraf kepalaku berdenyut kencang. Ucapan dokter itu bak batu besar yang menggencet dadaku. Aku belum ingin mati … lima bulan, bahkan lima tahun lagi.

Ah, dokter sialan! Dia tidak kubayar puluhan juta untuk menyerah begitu saja. Usiaku bahkan jauh lebih muda daripada dokter beruban itu.

Apakah dia tidak ingat bahwa aku tengah berada di puncak karier? Apakah dia juga lupa bahwa aku berencana menikah tahun depan?

“Kami sudah mengusahakan yang terbaik, Tuan.”

Aku terbelalak. Terbaik katanya! Aku ingin memuntahkan makian kepadanya, tetapi selang ventilator* yang terpasang di rongga mulut mengubah perkataanku menjadi embusan napas putus-putus.

Dokter itu mendekatkan wajahnya ke telingaku, kemudian berkata lirih, “Jika Tuan mau, saya beri tahu cara untuk memperpanjang nilai usia Tuan.”

*

Akhirnya, setelah menenangkan diri selama sepekan, aku menerima campur tangan dokter itu di lima bulan terakhir hidupku. Tak ada pilihan lain. Hanya dia yang mengerti kondisi kesehatanku dan aku pun tertarik dengan tawarannya.

Ia menjelaskan sebuah hakikat dengan mimik serius. Sepasang matanya yang bening seakan menghipnotisku. Meskipun dahiku berkali-kali berkerut, semua yang dia katakan kurasakan sebagai sebuah kebenaran. Alih-alih menolak kenyataan, dia menyarankan agar aku merancang kematian dengan cara terbaik.

“Nilai usia seseorang tidak terletak pada panjang atau pendeknya, akan tetapi tergantung pada pemanfaatannya,” ucapnya, “Tuan harus memanfaatkan waktu yang tersisa dengan memperbanyak amal.”

Aku memperbaiki posisi kacamata yang melorot. “Konkretnya?” 

Pria paruh baya itu tersenyum simpul. “Tuan seorang muslim ‘kan?”

“Ya.” 

“Tuan melaksanakan sholat lima waktu?”

Aku terperangah, kemudian menggeser pandangan ke tempat lain. “Jika teringat saja.” 

Dokter itu berdeham, lalu berkata, “Setahu saya, Tuan hobi travelling … sudah pernahkah mengunjungi Mekkah dan Madinah?”

Aku menggeleng. Jujur saja, terpikir pun tidak untuk mengunjungi dua tempat itu.

“Tuan harus ke sana. Sholat yang Tuan kerjakan di dua tempat itu, nilainya akan dilipatgandakan ratusan hingga ribuan kali lipat.”

Dahiku kian berkerut-kerut, terbayang sekian banyak waktu salat yang kulewatkan begitu saja. Jika yang dikatakan pria itu benar, sudah barang tentu aku harus mengikuti sarannya.

Tiga pekan setelahnya, aku telah tiba di pelataran Masjidil Haram. Setelah memastikan ibadahku cukup untuk menambal semua utang salat, aku pulang dengan perasaan lega. 

Ada kedamaian menyelinap di relung hatiku. Dokter itu benar, menghadapi takdir dengan cara yang tepat jauh lebih berguna daripada mengutuknya.

Selama lima bulan, aku melakukan banyak kebaikan yang tak pernah kukerjakan sebelumnya. Aku melaksanakan segala hal yang disarankan sang Dokter: bersedekah, berpuasa, berdzikir serta beragam amalan lainnya.

“Tuan, sesungguhnya setiap amalan tergantung pada akhirnya. Pergunakan kesempatan di penghujung usia Tuan,” ucapnya pada suatu saat.

Setiap perkataannya seakan menyihirku. Aku bahkan terpesona saat pria itu menganalogikan kondisiku dengan kuda pacuan. Ia bilang, kuda pacuan akan semakin mempercepat larinya menjelang titik finish. Aku sama sekali tak tersinggung disamakan dengan kuda. Dan ajaibnya, aku benar-benar mencontoh perilaku kuda tersebut. Satu per satu aset kulepaskan dan hasilnya kudermakan ke berbagai lembaga kemanusiaan.

*

Hari ini, hari ke-150 semenjak vonis itu ditetapkan. Hari kematianku. 

Aku bangun lebih awal, kemudian mengenakan pakaian serba putih. Aku becermin dan berulang-ulang mengatakan kepada sosok di hadapanku bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa dia telah melakukan yang terbaik dengan mengorbankan segala yang dia cintai untuk memperoleh cinta-Nya.

Embusan angin membawa harum aroma melati yang ditanam di bawah jendela kamar. Seketika aku teringat bahwa bunga itu membutuhkan bantuan. Saat membuka jendela kemarin sore, kulihat daun-daunnya koyak dimakan serangga. Aku lalu melangkah menuju gudang untuk mengambil alat penyemprot hama. 

Aku tersenyum sembari menyemprotkan pestisida ke rerimbunan melati. Aku harus membantu mereka agar dapat hidup lebih lama. Ini kesempatan terakhirku berbuat baik. Senyumku melebar. Aku sudah siap.

Getaran ponsel di saku kemeja menghentikan kegiatanku. Aku mengusap layar ke atas setelah membaca nama yang tertera di sana.

“Tuan.” Suara di seberang terdengar begitu bersemangat. “Kabar baik, Tuan. Rupa-rupanya sedekah yang Tuan berikan dibalas kontan oleh-Nya. Hasil pemeriksaan organ paru di luar prediksi. Sel-sel ganas berkurang drastis. Ini keajaiban, Tuan!”

Senyumku memudar, dadaku berdebar. “Apa itu artinya … a-aku tidak jadi mati hari ini?” Tangan yang menggenggam ponsel bergetar.

“Tentu saja! Kondisi Tuan membaik hampir lima puluh persen.”

Ponsel terlepas dari genggamanku dan terbanting ke tanah. Tubuhku serasa tak bertulang. Aku melorot, kemudian duduk bersimpuh. Bayangan pabrik rokok, dua apartemen, lima mobil, serta lahan tembakau ratusan hektar berkelindan di benakku. Aku meraih botol pestisida dengan tangan gemetar.

“Sarah ….” Bibirku bergetar saat melirihkan nama itu. Seraut wajah jelita hadir. Wajah yang bersimbah air mata saat kubatalkan pertunangan kami, semalam.

Hawa panas menjalar, dari hati naik ke ubun-ubun. “Aku harus mati hari ini.”

Sragen, 28 Juni 2024

*Alat bantu pernapasan.

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply