Menyelami Multisemesta Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2017)
Oleh: Devin Elysia Dhywinanda
Terbaik ke-5 Event Review Buku Loker Kata
Cerita mengutukmu saat kau tahu tak ada apa pun yang bisa kau ubah setelah mendengarnya.
Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2017) karya Intan Paramaditha adalah salah satu novel nasional terunik yang pernah saya temui. Diawali dari “kamu”, yang merasa bosan dengan kehidupan repetitif layaknya kutukan Sisifus sehingga memilih membuat perjanjian dengan Iblis, kita bakal diajak pergi berkeliling dunia bersama “kamu” dan sepatu merahnya, mulai dari New York, Los Angeles, hingga Lima. Didukung oleh atmosfer horor pun fairytale yang kental khas tulisan-tulisan Intan P, tokoh “kamu” akan bertemu dengan berbagai macam orang; berbagai macam cerita; berbagai macam dongeng; berbagai macam akhir.
Buku ini adalah definisi terbaik dari multisemesta. Pembaca dibebaskan untuk memilih jalan cerita, yang tentunya akan membawa akhir yang beragam pula bagi tokoh utama. Karena itu jangan kaget kalau ketika membaca ini, kamu akan sering bertemu dengan kalimat macam “Jika kamu ingin A, maka pergi ke halaman B”, karena memang itulah keunikan dari novel ini! Tidak cukup, alur-alur ini pun saling tumpang tindih: perjalanan “kamu” dari semesta satu bisa saja bersisian dengan “kamu” dari semesta lain.
Sekilas memang ruwet. Bikinnya pasti juga setengah mati. Belum ditambah dengan berbagai dongeng yang bertebaran di novel ini, mulai dari The Wizard of Oz, Malin Kundang, dongeng tikus, Si Merah Salju, The Red Shoes, dongeng Grimm, hingga Pelacur Babilonia. Saya sendiri, andaikata tidak memanfaatkan fasilitas bookmark dari Ipusnas, bisa saja kehilangan arah di antara sekian nama tokoh dan tempat. Intan P sendiri cukup berhasil mengaitkannya sehingga terbentuklah bangunan cerita yang kuat. Meskipun, yah, konsep “pilih ceritamu sendiri” dari buku ini memang berpotensi membuat pembaca bingung, bosan, bahkan menyerah. Beberapa semesta memang krusial untuk perkembangan karakter “kamu”, tetapi ada juga cerita-cerita yang menurut saya dapat dilewati agar lebih padat dan tepat makna. Untungnya, saya berhasil menyibak kesengkarutan tersebut dan sampai pada pemahaman menyeluruh akan simbol perempuan dan sepatu merah yang selalu disinggung di buku ini, yang dapat dikaitkan dengan semangat feminisme.
Ada berbagai faktor yang menyebabkan suatu cerita disebut “bagus”—mungkin itu berhubungan dengan urgensi tema, kesolidan plot dan karakterisasi, keunikan penyajian cerita, atau bahkan hal sederhana macam feel yang kuat. Untuk novel ini sendiri, awalnya saya pikir keunggulannya sebatas pada keutuhan cerita serta keunikan bentuk dan cara bertuturnya. Akan tetapi, makin banyak akhir yang saya temui, makin saya sadari bahwa, barangkali, topik besar novel ini berhubungan dengan perasaan kehilangan rumah.
Beberapa tokoh dalam cerita ini menyimpan luka yang mendorong mereka untuk “gentayangan”, salah satu yang paling terlihat berhubungan dengan tragedi Mei 1998, PKI, serta diskriminasi orang-orang Cina. Intan P menjadikan peristiwa ini sebagai simbol bagaimana keberadaan wanita dianggap sebagai “sesuatu yang harus dirusak dan dihancurkan”. Ia juga menggambarkan trauma yang terjadi dari kejadian tersebut sebagai mimpi buruk sebab para korbannya “dipaksa untuk percaya bahwa itu tidak benar-benar terjadi”. Gelap. Mengerikan. Mimpi buruk itu pada akhirnya merupa borok yang memaksa mereka untuk angkat kaki, mencari tempat untuk “pulang”. Sebab “rumah bukan selalu menjadi tempat pulang”, sebagaimana kisah tokoh utama yang bisa jadi selesai di pesawat luar angkasa; mati dalam kecelakaan konyol; terjebak di perbatasan; pasrah menjalani kehidupan yang tenang dan biasa; dan yang paling klise: kembali ke Jakarta. Sebagai kontras, kita juga dikenalkan dengan kisah beberapa tokoh yang berakhir tragis akibat keterikatan mereka pada rumah.
Terkadang, perjalanan memang bisa memanggil kembali trauma.
Ada satu jargon yang sering diulang dan dapat menjadi konklusi dari keseluruhan cerita di novel ini: good girls go to heaven, bad girls go to everywhere. Meskipun terkesan serampangan, kalimat ini menyimpan makna penting apabila mengaitkan “good girls” sebagai mereka yang berpasrah pada keadaan, sedangkan “bad girls” sebagai mereka yang berusaha untuk keluar dari sangkar: bahwa mereka yang memberontak atas konsep “pulang=rumah”—atau memberontak dari segala kondisi apa pun—akan menemukan lebih banyak opsi dari mereka yang terperangkap konsepsi tertentu. Apakah ini positif? Mungkin iya, mungkin tidak; tapi setidaknya mereka telah melakukan perjalanan panjang dalam usaha melawan takdir mereka alih-alih pasrah dan menderita. Upaya melawan takdir pun tidak melulu identik dengan kepergian, sama seperti pilihan yang diambil salah satu tokoh untuk kembali ke Jakarta usai lama berkelana di Eropa. Kepulangannya bukan tanda kekalahan, justru kemenangan dan perdamaian dari luka masa lalu. Ini adalah jenis akhir yang membekas dalam hati melankolis saya sebab ia menyiratkan adanya harapan atau, katakanlah, pilihan yang lebih adem.
Kita butuh cerita-cerita manusiawi macam ini supaya kita tetap waras. (Bahwa) dunia ini tak hanya dihuni oleh orang-orang beringas.
Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2017) adalah perjalanan kompleks menyelami luka yang dikemas secara lebih entertaining. Bikin candu. Dengan segala permainan akrobatiknya, ia telah memasukkan seluruh unsur pergi-pulangnya dengan sempurna, dan saya mengapresiasi hal tersebut. Barangkali kita memang butuh catatan supaya tidak kehilangan arah, tetapi itu tidak serta-merta menghancurkan kualitas dari buku ini. Worth to buy or borrow! (*)
Surabaya, 27 Mei 2024
Devin Elysia Dhywinanda adalah gadis INFP hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
—
Komentar juri, Kiki Razzyka:
Membaca review Devin membuat saya tidak berhenti berdecak kagum. Kalimat demi kalimat membuktikan bahwa si empunya review tidak main-main saat menulis. Tanpa banyak basa-basi, Devin mengaitkan beberapa fakta—kejadian yang benar-benar terjadi—di kenyataan dengan “luka” yang dialami oleh tokoh-tokoh yang diangkat oleh Intan Paramadhita.
Review Devin akan langsung membuat kita merasakan betapa kelamnya trauma yang dialami para tokoh. Hal ini, saya rasakan sendiri saat membacanya secara saksama di mana bulu kuduk saya merinding, sebab terbayang isi dari buku Gentayangan ini.
Oleh karena itu, review ini termasuk salah satu yang berhasil mencerminkan isi dari buku yang diulas serta sangat pantas untuk berada di dalam peringkat 5 besar.
Event review buku ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.