Review Buku Senyum Karyamin

Review Buku Senyum Karyamin

Review Buku Senyum Karyamin

Oleh: Maurien RazSya

Terbaik ke-8 Event Review Buku Loker Kata

 

“…, carilah kutu di kepalamu sendiri…” 

 

Kutipan dialog dalam buku kumpulan cerpen yang direkomendasikan salah seorang teman, menggelitik hati saya. Makna kutipan itu adalah cari kesalahan pada diri sendiri sebelum mencari kesalahan orang lain. Benar juga, mencari kutu di kepala sendiri tidak semudah seperti sekumpulan ibu-ibu duduk berbaris dan menyisir kutu dari rambut orang di depannya. 

 

Teman saya menyodorkan judul buku kumpulan cerita dari Ahmad Tohari itu untuk saya baca selain novel “Ronggeng Dukuh Paruk” yang sudah terkenal dan difilmkan dengan judul lain. 

 

“Saat baca buku ini, kita seperti pejabat kota yang diajak kepala desa berkeliling melihat desa dan penduduknya secara langsung sekaligus menemukan banyak masalah sosial dibalut narasi yang khas dari Ahmad Tohari.” 

 

Saya jadi ingat dulu menemukan novel Pak Tohari di perpustakaan sekolah dan saya bawa pulang. Dan mengingat gaya bercerita Pak Tohari dalam novel itu membuat saya penasaran dengan kumpulan cerpennya, Senyum Karyamin. 

 

Ahmad Tohari adalah penulis senior yang karya-karya novelnya lebih terkenal daripada cerpennya. Padahal, cerpen-cerpen Pak Tohari juga tidak kalah menarik. Salah satunya adalah cerpen yang ada dalam buku ini, dan menjadi awal karir kepenulisan Pak Tohari. Cerpennya yang berjudul Jasa-jasa untuk Sanwirya berhasil meraih hadiah dalam Sayembara Kincir Emas Radio Nederland Wereldomroep tahun 1975 meski tidak dijadikan sebagai judul buku. 

 

Senyum Karyamin berisi tiga belas cerpen dengan benang merah yang kurang lebih sama yaitu orang-orang akar rumput dan segala permasalahan sosialnya. Sebagian besar bercerita tentang hidup masyarakat desa, orang kecil, seperti yang telah jadi ciri khas beliau. 

 

Cerpen Senyum Karyamin yang diletakkan di urutan pertama dari kumpulan cerita pendek ini, bercerita tentang Karyamin yang berprofesi sebagai pengumpul batu. Dia dan teman-teman seprofesinya dihadapkan pada masalah tengkulak, harga yang rendah, dan sulitnya medan pekerjaan mereka. Pagi menjelang siang hari itu Karyamin bekerja dalam kondisi kelaparan. Saking sulitnya, bahkan Karyamin tidak berani berhutang untuk sekadar sebungkus nasi pecel. Meski hidup demikian berat, Karyamin dan teman-temannya mempunyai perlindungan terakhir. 

 

‘Bagi mereka, tawa atau senyum sama-sama sah sebagai perlindungan terakhir. Tawa dan senyum bagi mereka adalah simbol kemenangan ….’ 

 

Namun, perlindungan terakhir yang digunakan Karyamin tidak bisa menyembunyikan kekalahannya saat pulang ke rumah pada akhir cerita. Istrinya didatangi dua penagih hutang. Ketika Karyamin yang lapar tidak jadi pulang dan berbalik, dia dipaksa untuk memahami orang-orang yang kondisinya sama dengan Karyamin. 

 

Cerita berjudul Blokeng, mengisahkan perempuan gila yang hamil entah dengan siapa. Blokeng tidak mau mengatakan atau menunjukkan siapa bapak dari janinnya. Karena hal itu, satu kampung heboh. Sungguh menggelikan sekaligus ironi ketika Blokeng yang tadinya dianggap tidak penting akhirnya menjadi yang paling banyak dibicarakan di kampungnya. 

 

Si Minem Beranak Bayi menjadi judul yang tidak biasa. Menceritakan Minem yang terpaksa melahirkan bayinya dengan kondisi prematur karena terjatuh saat mengambil air. Kasdu, suami Minem, merasa bersalah karena malas mengambil air hingga menyebabkan Minem tergelincir saat membawa air di tanjakan. Kelahiran anak Minem membuat Kasdu harus menyampaikan berita itu kepada orang tua Minem. Kasdu takut disalahkan. 

 

Saat sampai di rumah mertuanya, Kasdu mau tidak mau harus menyampaikan kabar bahwa Minem telah melahirkan. Alih-alih merasa senang atau marah, bapak Minem malah heran. Dan akhir cerita benar-benar membuat gemas. 

 

Cerpen-cerpen lain tidak kalah menarik. Gaya bertutur Pak Tohari sederhana tetapi menyentil dengan pesan tersirat. Pembahasan tentang persahabatan, kemanusiaan, toleransi, kemiskinan, pernikahan dini, kemunafikan, kesetiakawanan, bahkan kriminalitas, ditulis dengan apik. Ditambah nama-nama tokoh yang jarang kita dengar macam Blokeng, Minem, Sulam, Kenthus, Suing membuat suasana ‘akar rumputnya’ lebih nyata. 

 

Kepiawaian beliau menceritakan latar juga sudah tidak diragukan. Membaca kumpulan cerpen ini seperti diajak melompat-lompat dari satu kampung ke kampung lain, dari satu tempat ke tempat lain dengan gambaran detil tiap sudutnya. Cukup dengan membaca seksama, kita bisa tahu latar dalam cerita tanpa harus mengulang. 

 

Meski ditulis puluhan tahun lalu dengan kondisi yang jauh berbeda, konflik-konflik di tiap cerita terasa relevan juga dengan kondisi saat ini. Setiap kali selesai membaca satu cerpen, kita seolah-olah dipaksa untuk mengangguk-angguk, menyadari bahwa hal-hal yang kecil bagi seseorang ternyata bermakna besar bagi yang lain. 

 

Beberapa kutipan yang menarik dari cerita ini di antaranya; 

 

‘Tak ada manusia yang merasa lebih puas daripada dia yang baru saja berhasil menerangkan arti keberadaannya.’ (Cerpen Tinggal Matanya berkedip-kedip) 

 

‘Di kampungku, listrik juga membunuh bulan di langit.’ (Cerpen Rumah yang Terang) 

 

‘Wong gemblung boleh tidak puasa, kan?’ (Cerpen Wangon Jatilawang) 

 

Namun, meski dipadati dengan narasi sederhana, ada kalimat yang terasa berlebihan untuk digunakan oleh warga kampung dan jika dihilangkan tidak mengubah apa-apa. Salah satunya di cerpen berjudul Blokeng. Contoh: ‘Maka keblingsatan beserta anak cucunya harus dioperasi, bila perlu dengan menggunakan sinar laser atau sinar partikel.’ Dan di akhir cerita, Pak Tohari seperti mematahkan alur yang sudah dibangun dengan menghadirkan dialog Blokeng yang seperti bukan tokoh Blokeng itu sendiri. Juga di akhir cerita Rumah yang Terang ada alasan yang seolah-olah dipaksakan hadir dan menjadi penting. Sementara, cerita Pengemis dan Shalawat Badar menghadirkan sedikit nuansa misterius di akhir cerita. 

 

Secara keseluruhan, buku Senyum Karmin ini bagus untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang cara menulis kisah sederhana dengan narasi yang padat dan latar yang jelas. Termasuk di dalamnya pesan tersurat dan tersirat yang terkadang tidak terpikir di benak kita. Tiga belas cerpen akan habis dalam waktu singkat. Dan saya tidak bosan membacanya meski sudah tiga kali mengulang. 

 

Dari buku ini pula, kita bisa melihat sebagian Indonesia (dulu) yang sebenarnya. 

 

Kotabaru, 27 Mei 2024

 

Komentar juri, Kiki Razzyka:

Yang sulit dari membuat sebuah review adalah bila buku yang di-review telah banyak diulas. Senyum Karyamin dari Ahmad Tohari termasuk dalam jajaran buku yang cukup terkenal dan karena itu pula sering diulas. Namun Maurien menyajikan sebuah review dengan gaya yang berbeda.

Berkesan santai dan mengangkat pandangannya terhadap buku tersebut dari sisi pembaca membuat review-nya menyenangkan untuk dibaca. Kita tidak dipusingkan oleh banyak hal-hal teoritis dan fokus pada isi buku. Melalui kutipan-kutipan cerpen yang diambil, Maurien seolah tengah memperlihatkan bahwa hal-hal yang tampak sederhana di dalam buku ini, sesungguhnya menyimpan kedalaman pikiran dari penulisnya.

Gaya review yang menyenangkan ini membuatnya layak menduduki posisi ke-8 dalam event kali ini.

Leave a Reply