Botol Armagnac Terakhir Bersama Gwen
Oleh: Arya Kusuma Mayangkara
Lima tahun sudah, Albert, politisi partai terbesar yang sedang naik daun itu menikahi Clara, mantan pramugari pesawat komersial yang dikenalnya saat berkunjung ke Makassar. Langkah anggun Clara saat hilir mudik melewati kursinya di ketinggian 38.000 kaki, membuat Albert jatuh cinta pada pandangan pertama.
Albert tak tahu, jika Clara adalah gadis yang ambisius. Clara pandai memanipulasi Albert dengan kecantikannya. Politisi tampan itu akhirnya takluk pada kerlingan mata Clara dan menuruti semua keinginannya. Impian Clara untuk menjadi ratu dari lelaki kaya raya pun akhirnya terwujud. Saat Albert membawa Clara pulang ke istananya yang mewah di Jakarta.
Sore ini untuk kesekian kalinya kemarahan Albert terpancing oleh cercaan demi cercaan yang keluar dari bibir tipis Clara. Menurut Albert, amarah Clara dipicu oleh rasa cemburu yang tak beralasan. Kesibukan Albert di dunia politik, ditambah pula jadwal kerjanya yang padat sebagai pengusaha batu bara membuat Clara merasa kesepian.
Clara merasa resah karena sudah lima tahun mereka menikah, tetapi belum juga dikaruniai seorang anak. Kekhawatiran Clara bahwa Albert akan menduakannya demi memiliki keturunan, semakin besar. Ketika ibu mertua Clara mendesak Albert untuk segera menikah lagi. Albert menolak karena dia sangat mencintai Clara. Sementara ibunya menentang keinginan mereka untuk mengadopsi anak. Opsi bayi tabung pun sudah mereka lakukan selama setahun, tetapi belum juga membuahkan hasil.
Albert akhirnya meninggalkan Clara yang tak berhenti mengoceh sambil menangis. Manuver Marco, lawan politiknya akhir-akhir ini sudah cukup membuatnya sakit kepala. Diambilnya kunci kontak mobil, lalu Albert pergi ke bar di hotel bintang lima yang biasa dikunjunginya bersama teman-teman separtai.
Di perjalanan, Albert menelepon Gwen, sekretarisnya, untuk menemuinya di hotel. Sesampainya di bar, Albert meminta sebotol Armagnac pada bartender. Mulailah dia mengisi gelasnya dengan tegukan demi tegukan brendi yang membuatnya sejenak lupa akan omelan Clara.
Kekalutan di wajah Albert tertangkap oleh Gwen, yang sudah duduk sedari tadi menunggu atasannya. Namun, Gwen lebih memilih memainkan perannya sebagai pendengar ketimbang pemberi solusi. Mulut Albert mulai meracau ketika isi botol Armagnac itu tersisa seperempatnya saja. Gwen lalu membujuknya untuk naik ke lantai sepuluh, tempat mereka biasa beradu peluh. Seperti yang sudah Albert lakukan diam-diam di belakang Clara selama delapan bulan terakhir.
Gwen terhuyung-huyung memapah tubuh atletis Albert yang sedang mabuk. Albert terkapar tak sadarkan diri di atas kasur empuk berbantal bulu angsa. Gaun sutera berwarna hijau sage yang membalut tubuh Gwen luruh ke lantai, setelah dia selesai melucuti pakaian Albert. Lelaki itu terlalu mabuk untuk bermanja dengannya malam ini.
Tak lama kemudian, Gwen menerima panggilan telepon dari seseorang. Gwen melakukan semua yang diinstruksikan kepadanya untuk menjebak Albert. Setelah memastikan bahwa Albert sudah benar-benar tak sadar, Gwen mulai berswafoto dengan Albert. Sejumlah foto mesra hasil jepretan kamera ponsel Gwen meluncur masuk ke nomor ponsel misterius yang tadi meneleponnya.
Setelah melakukan tugasnya, Gwen memutuskan hendak mandi air hangat untuk menghapus rasa pengar di kepalanya. Namun, sebuah ketukan di pintu kamar mengurungkan niat Gwen untuk mandi. Gwen membuka pintu dan dia tersenyum saat melihat siapa yang datang.
Tamu misterius itu memakai masker dan kacamata hitam untuk menutupi wajahnya. Tudung kepala pada jaket jins yang dipakainya membuat penyamarannya menjadi sempurna. Gwen mencium pipi tamu misterius itu dan mengundangnya masuk. Tato bergambar burung elang yang sedang merentangkan sayap, terlihat jelas saat dia membelai pipi Gwen.
***
Albert terbangun keesokan harinya dengan kepala yang pening luar biasa sisa mabuk semalam. Suara gaduh gedoran pintu kamar membuat Albert terjaga dari mimpinya. Dilihatnya punggung mulus Gwen yang tidur membelakanginya. Belum sempat Albert mengenakan pakaian dan membuka pintu, sejumlah lelaki berseragam hitam menyerbu masuk ke dalam kamarnya sambil menodongkan senjata laras panjang.
“Jangan bergerak! Angkat kedua tangan ke atas!” ujar lelaki yang berdiri paling depan.
“Apa-apaan ini? Siapa kalian?” tanya Albert gusar.
“Jelaskan semuanya di kantor!”
Gerakan spontan Albert yang berusaha berontak dari todongan senjata, membuat petugas menerjang tubuhnya hingga tengkurap di lantai. Lelaki itu memborgol kedua tangan Albert dari belakang. Saat tubuhnya ditarik untuk berdiri dari lantai, mata Albert terbelalak.
Dia menyaksikan pemandangan yang mengerikan saat salah seorang petugas menyibak selimut yang menutupi tubuh mulus Gwen. Sebuah belati bergagang hitam tertancap pada dada kiri Gwen yang sudah tak bernyawa. Sang pembunuh telah memastikan sidik jari Albertlah yang tertinggal di sana.
“Ini jebakan! Aku tidak membnuhnya!” teriak Albert.
Ekspresi geram di raut wajah Albert bisa jadi karena dia mengutuki kebodohannya memilih pergi dari rumah untuk mabuk bersama Gwen.
Beberapa jam kemudian, di tempat yang berbeda, seorang lelaki paruh baya sedang mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja kerja. Matanya menatap nanar layar televisi yang melaporkan berita utama tentang proses penangkapan Albert. Dua puluh menit yang lalu, seseorang datang menyerahkan kaset rekaman CCTV hotel yang mengabadikan kunjungan pembunuh Gwen. Satu-satunya rekam jejak digital yang bisa membuktikan bahwa Albert tak bersalah. Kini, si lelaki paruh baya bisa memantapkan langkahnya menuju kursi penguasa negeri tanpa penghalang.
“Tuan, makan siang sudah siap,” ujar kepala pelayan kepada lelaki yang bertato burung elang itu.
Surabaya, 22 Desember 2023
Arya Kusuma Mayangkara adalah tukang suntik yang sedang belajar menulis. Penyuka hujan dan traveling.
Editor: Imas Hanifah N