Berbagi Kursi
Oleh: Layla Nusayba
Aku memandangi mobil tua ayahku yang tampak suram. Catnya mengelupas di beberapa bagian. Debu tebal menutupi seluruh permukaannya. Beberapa bulan lalu, Ibu memintaku untuk memperbaiki dua bannya yang bocor, tetapi aku enggan membawanya ke bengkel. Lagi pula, aku sudah memiliki mobil yang lain, jadi kukatakan kepada Ibu supaya menjualnya saja.
Aku sempat berdebat dengan Ibu. Beliau tidak ingin mobil yang pertama kali Ayah miliki itu dijual. Aku bersikeras sebab mobil tua itu hanya memenuhi garasi. Selain itu, aku pun tidak terlalu suka melihatnya dan malas untuk membawanya ke kantor atau sekadar jalan-jalan.
“Almarhum ayahmu tak ingin mobil itu dijual, Nanda.” Suara Ibu bergetar.
“Ayah sudah tidak ada, Bu. Daripada mobil itu rusak tak terpakai, lebih baik dijual saja, kan?”
Ibu terdiam sejenak, entah apa yang beliau pikirkan. Namun, pada akhirnya wanita paruh baya itu pun mengangguk.
Aku mulai menawarkan mobil tua itu kepada teman-teman yang mengikuti komunitas mobil antik, sedangkan Ibu menawarkan pada teman terdekatnya. Namun, harga yang mereka tawarkan terlalu rendah dan belum menemui kesepakatan. Sebenarnya aku setuju saja dengan harga yang ditawarkan, tetapi Ibu menginginkan harga yang sesuai.
Aku menghela napas, mengambil ember berisi air dan kain lap untuk membersihkan mobil tua itu. Sambil mengelap kaca-kacanya, aku menerka-nerka, usia mobil itu hampir sama denganku. Dari kaca samping yang telah kubersihkan, aku bisa melihat jok penumpang di dalamnya mulai rusak. Seketika, ingatanku berkelana ke peristiwa-peristiwa lalu.
Aku berlari kecil menghampiri Sedan Ford cokelat yang diparkir Ayah di halaman rumah. Saat Ayah keluar dari mobil, aku buru-buru minta naik ke dalamnya, duduk dengan tangan memegang kemudi.
“Ini mobil Ayah? Nanda mau jalan-jalan sama Ibu.”
Ayah mengangguk sambil tersenyum.
Saat itu Ibu menghampiriku dan mengusap kepalaku yang dikepang dua. “Ayah baru pulang, Nak, masih lelah. Biarkan Ayah istirahat dulu.”
Ibu membantuku turun dari mobil. Aku memandang Ayah sambil cemberut, tetapi beliau malah tertawa. Lelaki itu segera menggendongku dan menciumi pipiku. Kami bertiga lalu masuk ke dalam rumah. Dengan sabar, aku menunggu Ayah menghabiskan secangkir kopi yang dibuatkan Ibu. Sesekali mataku melirik ke luar, ke arah sedan itu. Ibu yang duduk di samping Ayah hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku.
Ayah berdiri, melangkah memasuki kamar, lalu kembali ke ruang depan dengan pakaian yang berbeda. Melihat kunci mobil di tangan lelaki itu, aku berjingkrak-jingkrak sembari menyerukan kata “hore”.
Sore itu, kami berkeliling kota. Di dalam mobil begitu sejuk dan harum, aku sungguh betah duduk di depan mengenakan sabuk pengaman. Dari kursiku, aku menunjuk-nunjuk jejeran gedung-gedung bertingkat, kendaraan yang berlalu lalang, dan terakhir sebuah kedai ayam goreng di pinggir jalan.
“Kau mau ayam goreng, Nak?” tanya Ayah.
Aku mengangguk antusias. Ibu yang duduk di kursi belakang pun tak mau kalah. Ayah tertawa dan lekas memutar arah, lalu memasuki tempat parkir kedai itu. Saat pulang, aku tertidur karena kekenyangan.
Keesokan paginya, wajahku tampak semringah. Berangkat sekolah bersama Ayah adalah hal baru yang kunantikan. Beliau akan mengantarku sebelum menuju ke kantornya. Aku akan berceloteh atau bernyanyi di dalam mobil.
Namun, semua kesenangan itu berakhir ketika aku lulus SMP. Setelah mengambil rapor kelulusan, tanpa sengaja, aku dan Ibu melihat Ayah bersama seorang wanita di dalam mobilnya. Kaca depan tembus padang itu mempertontonkan adegan mereka tertawa, lalu wanita itu mencium Ayah. Aku terbelalak, serasa ada petir yang tiba-tiba menyambar dadaku. Lampu merah jalan telah berganti hijau, mobil Ayah menghilang dari pandangan kami.
“Itu hanya teman kantor Ayah. Cipika-cipiki seperti itu sudah biasa, Nanda.”
Aku hanya diam, sebab aku tahu Ibu tengah berbohong. Suaranya terdengar bergetar dan kulihat matanya mengembun. Beliau lekas menggandengku dengan tangan gemetar, menaiki angkutan umum yang berhenti di depan kami. Di dalam angkutan, belanjaan yang tadi kubeli bersama Ibu di mal, kubiarkan tergeletak begitu saja.
Malam harinya, aku mendengar pertengkaran orang tuaku. Dan malam berikutnya, Ayah mengenalkan wanita itu pada Ibu dan aku. Aku membuang muka dan langsung masuk ke dalam kamar. Sejak saat itu, aku membenci Ayah dan mobilnya. Aku tidak pernah lagi mau menaikinya, karena Ayah telah berbagi mobil itu dengan wanita lain.
Dua tahun selanjutnya wanita itu menyerah karena melihat ketulusan Ibu. Ia memilih pergi dari kehidupan kami. Namun, aku tidak pernah bisa memaafkan Ayah seperti Ibu. Sampai lulus kuliah dan bekerja, aku hampir tidak pernah berbicara pada Ayah, bahkan ketika beliau sakit keras. Hingga akhirnya lelaki itu tiada.
Sebagai seorang anak, ada sedikit rasa penyesalan, tetapi aku memilih untuk menguburnya dalam-dalam.
“Nanda! Ngelap mobil, kok, malah bengong.” Ibu menepuk pundakku.
Aku menoleh dan tersenyum. “Siapa yang bengong? Itu cuma perasaan Ibu saja.”
“Barusan teman Ibu telepon. Dia akhirnya menyetujui harga mobil yang kita tawarkan.” Ibu menepuk-nepuk badan mobil. Sinar matanya berubah redup. “Akhirnya sedan ini terjual.”
Aku mengatakan kepada Ibu bahwa aku tidak jadi menjual mobil itu dan akan memperbaikinya. Aku pun berjanji akan mengajaknya berkeliling untuk mengenang masa lalu kami. Wanita itu langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
Solo, 18 November 2023
Layla Nusayba. Perempuan asal Jawa ini masih belajar menulis dengan baik.
Editor: Imas Hanifah N