Orang Ketiga
Oleh: Rosna Deli
Entah bagaimana Munah akhirnya bisa percaya kepada Supriadi. Dia dengan berat hati akan membantu lelaki itu untuk membuat janji dengan Ras, kakak kandungnya.
Padahal Munah tahu kalau Supriadi adalah orang ketiga dalam kehidupan Ras. Lelaki itu yang menghancurkan pondasi rumah tangga kakaknya.
“Sebentar saja, Munah. Tak sampai berjam-jam apalagi bermalam. Abang hanya nak meminta maaf kepada kakakmu itu,” ucap Supriadi kepada Munah dengan penuh harap. Dia memohon berkali-kali, mengatakan kata tolong dan maaf.
“Munah?”
Munah akhirnya berbalik badan. Kala itu Munah tak tahu kalau Supriadi telah mengikutinya sejak dia keluar dari rumah. Mungkin Supriadi sudah hapal jadwal harian Munah, bahwa pada sore begini dia akan pergi ke pasar untuk mengambil wadah-wadah kue yang dia titipkan di beberapa warung.
“Munah, memang Abang mengaku salah masih terus menghubungi kakakmu, tapi siapa yang bisa menolak jika cinta itu tiba? Ia bagai magnet yang terus saja menarik hati Abang. Abang harap kau tak mengalami perasaan gundah gulana ini, Munah. Malam tak lelap tidur, makan jua tak lalu,” kata Supriadi sambil menyandarkan punggung ke tembok pasar.
“Kau kan tahu, kakakmu itu cinta pertama Abang … tolonglah, ya.”
Munah mencoba bersikeras, bayangan tentang kemarahan abang iparnya masih terngiang. Suami kakaknya itu marah besar saat mengetahui Ras bermain api. Kakaknya itu ketahuan sering berbalas pesan dengan Supriadi. Setelah kejadian itu, Ras tak diizinkan lagi memiliki ponsel.
“Lagian, kau juga tahu, iparmu itu bukannya baik betul. Dia juga main mata dengan perempuan lain. Abang pernah lihat, Munah. Tak mungkin abang bohong.”
Munah membesarkan matanya, tak percaya.
“Kakakmu sendiri yang cerita ke Abang, dia sebenarnya sudah tak cinta lagi dengan si Pur itu. Tapi, bagaimana, anak sudah dua. Kasihan Abang sebenarnya dengan kakakmu itu. Kalau Abang ada duit banyak, rumah tak ngontrak, pasti Abang akan bawa kakakmu itu. Sedih abang, Munah. Kakakmu itu sering menangis, mengadu kepada Abang soal suka main tangannya si Pur itu.” Supriadi menarik napas lalu memandang Munah yang tampaknya sudah mulai luluh.
Munah terdiam, beberapa kali memang dia pernah melihat kakaknya menangis saat dia berkunjung ke rumah mereka. Mata kakaknya memerah dengan ingus yang terus meleleh. Saat Munah bertanya, Ras hanya mengatakan dia terkena flu.
“Ya, Munah. Kau ajaklah kakakmu ke sini besok. Bilang ke si Pur, kalau ada masalah dengan perhitungan penitipan kue. Dan, hanya kakakmu yang tahu.”
***
Munah beberapa kali menghela napas panjang saat sore itu panggilannya tak mendapat balasan dari dalam rumah Ras. Sesekali dia memandang langit yang kian menghitam. Angin sore berembus sangat kencang membuat daun-daun kering berguguran. Dia bingung harus mengatakan apa ke kakaknya soal permintaan Supriadi itu. Perempuan muda itu hanya memandang-mandang sekeliling sambil mengigit bibir. Namun, telah sepuluh menit dia berada di muka pintu tidak ada yang membalas salamnya. Biasanya di sore ini, Ras hanya sendiri di rumah. Kedua anaknya tengah mengaji di TPA dekat masjid mereka.
Angin berembus lebih kencang lagi menerbangkan daun-daun ketapang yang telah kering. Suara gemuruh juga terdengar berulang-ulang. Munah menyibakkan rambut lalu mengulangi memanggil kakaknya. Namun, sekali lagi panggilan itu tak dijawab.
Munah memutuskan untuk pulang ke rumah. Mungkin memang lebih baik dia tidak mengatakan apa yang diinginkan Supriadi itu. Biarlah laki-laki itu yang menjumpai kakaknya sendiri, dia tak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang.
Saat Munah baru saja berjalan tiga langkah hendak pulang, dia mendengar suara kakaknya menjawab dari dalam. Munah menghentikan langkah lalu berbalik badan. Namun, tak lama dia juga mendengar sebuah sepeda motor berhenti tak jauh dari halaman depan rumah kakaknya. Munah melirik, lalu bergeser ke arah kiri. Ada dua orang di atas sepeda motor itu, keduanya menggunakan penutup kepala.
Seorang lelaki segera turun lalu penumpang di belakangnya beralih ke posisi depan sepeda motor. Keduanya terlihat akrab dengan saling memandang dan tak mau melepas genggaman tangan.
Munah terdiam lalu pandangannya secara bergantian melihat pintu yang hendak terbuka dan perbuatan dua orang di sepeda motor itu.
Saat engsel pintu berderak, lalu pintu terbuka, Ras segera tersenyum melihat adiknya datang. Matanya bengkak dengan pandangannya yang sayu.
“Kau rupanya, maaf tadi Kakak di dapur tak dengar ada yang datang,” ucap Ras lalu menarik tangan adiknya itu.
Namun, Munah tak bergerak. Pandangannya kini penuh ke arah pengendara sepeda motor itu.
“Ada apa, Munah? Ayo, masuk.” Ras akhirnya melangkah berdiri ke dekat adiknya dan ikut melihat apa yang tengah dipandang adiknya.
Ras mengucek matanya lalu berjalan lebih dekat ke arah pagar rumahnya.
Saat lelaki itu berjalan mundur sambil melambaikan tangan ke arah temannya, Ras terduduk lemas.
Munah bingung lalu segera menghampiri kakaknya. Tak lama laki-laki itu berbalik badan dan membuka helm-nya.
“Bang Pur?” (*)
Dumai, 9 Agustus 2023
Rosna adalah perempuan penyuka keramaian.
Editor: Imas Hanifah N