Karya Terakhir

Karya Terakhir

Karya Terakhir

Oleh: Isnani TiasĀ 

 

Sudah berhari-hari atau mungkin berbulan-bulan, aku rindu kehangatan dari sinar matahari yang masuk melalui jendela. Meskipun, aku selalu merasakannya hanya sebentar. Aku pun rindu dengan tangan mungil yang selalu membelaiku dari ujung rambut sampai kakiku, meskipun ini bukan tubuhku.

Sejak sebelas tahun lalu, aku tinggal di tempat yang tanpa cahaya serta ruang gerak sempit, sungguh menyiksaku. Kalaupun aku berteriak sampai kerongkongan kering, tidak akan sampai ke pendengaran mereka. Di luar ruangan yang kutempati ini, ada sebuah ruangan yang cukup luas tetapi terlihat agak sempit, karena adanya rak-rak lemari kayu yang menempel di dinding berwarna putih dan berjajar hampir memenuhi ruangan. Rak-rak itu berisi berbagai bentuk patung yang berasal dari pahatan kayu.

“Eh! Kenapa jadi bergoyang? Apa ada gempa?” tanyaku sembari memegang erat tempat pembaringanku.

Dug!

Kepalaku agak pusing. Bagian bawah yang kutempati membentur sesuatu meskipun tidak keras, tetap aku bisa merasakannya.

Krek!

Ada seseorang yang membuka tempat tinggalku. Aku tersenyum lebar. Sebentar lagi, aku bisa menikmati udara segar dan kehangatan lagi. Pintu besar di hadapanku perlahan terbuka lebar. Cahaya mulai masuk, itu membuat pandanganku menjadi kabur.

“Oh, tidak! S-siapa yang mengangkat tubuhku?” Mataku masih beradaptasi dengan cahaya yang ada di luar ruangan tempat tinggalku.

Setelah beberapa detik, pandanganku sudah bisa melihat seseorang yang sedang memegang tubuh yang aku tempati dengan hati-hati.

“Mama, aku merindukanmu,” ucapnya pelan dengan suara serak.

Aku tidak bisa bernapas. Dia mendekapku cukup kuat. Tubuh yang terbuat dari kayu ini mungkin bisa saja terbelah menjadi dua. Perlahan tubuhnya bergetar. Aku merasakan di atas kepalaku ada sesuatu yang menetes dan terasa dingin. Apa sedang turun hujan? Namun, itu tidak mungkin, aku masih di dalam ruangan dengan cahaya yang redup.

Getaran semakin kuat. Begitu juga dengan tetesan yang membuat kepala ini semakin basah. Tunggu! Dia memanggilku mama?

“Han sangat merindukan Mama. Han butuh Mama,” ujarnya dengan suara yang bergetar.

Apakah dia, Han kecilku? Waktu berjalan begitu cepat. Han kecilku sudah besar tanpa campur tanganku. Terakhir dia membelaiku, saat Han berusia sepuluh tahun, dia mengeluh bahwa ayahnya kembali menikah dan jarang membacakan dongeng sebelum tidur. Dulu aku sering membacakannya.

“Mama, Han akan membawa karya terakhir Mama ini untuk pengobatan rinduku. Maaf, baru sekarang Han memberanikan diri ke ruangan kerja Mama. Han tidak mau Mama bersedih karena Han belum bisa menerima semua keadaan ini dan Han takut menerima kenyataan bahwa apa yang terjadi pada Mama saat itu disebabkan Mama melindungi orang yang Mama cintai. Mama rela mengalami kecelakaan tunggal itu,” ucapnya yang diselingi sesenggukan sambil mengusap-usap wajahku setelah dia melepaskan dekapannya pada tubuh kakuku yang seukuran sejengkal tangannya.

Dalam cahaya temaram, akhirnya aku bisa melihat wajahnya yang tidak jauh beda dengan belahan jiwaku. Aku menjadi merindukannya. Sejak mengikat hubungan dengan yang lain, dia jarang menengokku. Seakan cinta dan kasih sayangnya padaku telah tergantikan.

Perlahan, dia masukkan aku kembali ke dalam tempat semula. Tempat tersebut kubuat sendiri dari papan kayu mahoni yang di atasnya terdapat ukiran bunga lily. Aku tidak menyangka, patung anak kecil dengan tanda titik hitam di belakang telinga kiri serta memakai seragam sekolah dasar, menjadi tempat tinggalku beserta kotaknya.

Patung ini pesanan sahabatku untuk dihadiahkan pada anak laki-lakinya yang akan berulang tahun minggu depan.

***

Seorang pemuda meletakkan sebuah kotak kayu yang penutupnya terdapat ukiran bunga lily itu di atas meja secara perlahan, seakan-akan dia tidak ingin karya terakhir mamanya tersebut mengalami kegoresan barang sedikit. Dia meraba penutup kotak itu, lalu membukanya. Patung anak laki-laki yang ada di dalamnya, dia ambil dengan kedua tangannya.

“Mama, kita akan tinggal di sini. Tempatnya tidak terlalu besar seperti rumah Papa, tapi Han rasa ini cukup nyaman dan dekat dari kampus,” ucapnya sambil tetap memegang patung itu, dia memandang lampu-lampu kamar di gedung-gedung bertingkat dari balik jendelanya.

“Oh iya, Mam, tadi waktu naik kereta bawah tanah, Han tidak sengaja melihat tanda titik hitam di belakang telinga kiri seseorang yang memakai jaket rajutan berwarna merah gelap. Namun, sayangnya Han tidak sempat melihat wajahnya, karena dia keburu turun dan setengah wajahnya tertutup oleh masker hitam.” Tatapan Han beralih pada patung anak laki-laki itu, “Apakah dia orangnya, Mam?”

Pemuda berkulit putih itu menghela napasnya. Pandangannya mengarah bintang-bintang yang menghiasi langit. Dia berharap salah satu bintang yang berkedip-kedip itu milik sang mama. Bayang-bayang tragedi nahas sebelas tahun silam terlukis di langit malam.

Tubuh wanita yang penuh dengan cairan kental berwarna merah itu dimasukkan ke dalam mobil putih. Di sana, seorang anak berusia sembilan tahun berdiri bersama pria yang sedang merangkulnya. Dia menatap mobil putih yang membawa orang yang sangat disayanginya hingga tidak terlihat lagi. Pria yang berada di sampingnya mengajak kembali ke mobil. Tanpa disengaja, mata sipitnya menangkap suatu benda yang tidak asing baginya. Langkah kakinya menuju pada benda itu. Lantas, dia mengambil benda tersebut yang ternyata bagian belakangnya terkena cairan merah dan tutup berbentuk lingkaran tempat untuk berdiri patung itu terjatuh.

Seketika, Han tersadar dari lamunannya. Patung anak laki-laki yang masih berada digenggamannya, dia jungkir. Tempat tumpuan patung itu, dia putar. Han saat itu melupakan sesuatu yang dilihatnya sekilas di dalam tubuh patung tersebut karena papanya segera menariknya setelah Han mengambil tutupnya dan memasangkannya kembali.

Setelah tutup itu terbuka, mata sipitnya melihat bagian patung tersebut. Han menarik kedua sudut bibirnya ke atas.

“Kenapa bisa melupakan ini. Beruntung masih ada,” gumamnya seraya dua jarinya dimasukkan ke dalam lubang yang agak sempit.

Sesuatu yang berbentuk gulungan kertas itu berhasil diambilnya. Han melepas tali yang mengelilingi gulungan tersebut. Sesudah itu dia membukanya. Seketika dia membeku, saat melihat sebuah foto mirip wanita yang dinikahi oleh ayahnya itu bersama seorang anak laki-laki memakai seragam sekolah dasar, persis seperti patung yang tergeletak di hadapannya. Bersama itu juga ada sebuah kalimat.

“Anak laki-laki ini, ternyata anak suamiku.” (*)

 

Kota Lumpur, 19 Agustus 2023

 

Isnani Tias. Seseorang yang ingin belajar menulis dengan konsisten tetapi masih saja suka menghilang.

 

 

 

Editor: Imas Hanifah N

 

 

Leave a Reply