Respirar*
Oleh: M Indah
Terbaik 4 Event Loker Kata Bulan September
“Assalamualaikum! Kak Na pulang!”
“Waalaikumussalam ….”
“Bunda, Adik mau salim Kak Na gak?”
“Coba tanya ke Adik, hehehe ….”
“Hai, Adik dalam perut. Salim Kakak, yuk ….”
Aku memperhatikan interaksi dua perempuan berbeda usia itu dari layar datar 27 inci di hadapanku. Bocah berseragam putih merah dengan kerudung putih itu tampak sangat natural saat mencium tangan dan mengelus perut si bunda, kemudian menempelkan telinganya ke perut yang sedikit buncit itu. Sungguh akting yang bagus. Sangat berbeda dengan reaksi bocah itu tiga bulan yang lalu, ketika aku memintanya membantuku memata-matai rumah baru ayahnya.
“Masa harus gitu sih, Ma. Males, ah.” Bocah kelas lima SD itu memajukan bibir kemudian membuang muka, tidak mau memandangku yang ada di depannya.
“Mama cuma minta tolong Nania pasang kamera-kamera ini di ruang-ruang yang Mama tentuin, sama kamar Nania aja, kok. Setelah itu, Nania cukup pura-pura menikmati tinggal dengan Papa dan istri barunya. Semua sudah Mama samarkan dengan hiasan-hiasan ini, jadi pasti tidak akan ketahuan. Oke, Sayang?”
Anak semata wayangku itu masih terlihat ogah-ogahan membantuku. “Mama janji, kalau berhasil, nanti kita tinggal bareng lagi. Kesayangan Mama mau bantu, kan?”
Rencanaku adalah menemukan kelemahan mantan suami dan istri barunya dalam mengurus Nania sehingga aku bisa mengambil hak asuh Nania dari mereka. Oleh karena itu, aku berkeras meminta tolong kepada Nania untuk memasang kamera pengintai di sudut-sudut rumah barunya.
Pada awalnya, Nania masih susah beradaptasi dengan bundanya, tetapi aku selalu menyemangati dan menemaninya dari jauh. Di antara kamera-kamera pengintai itu, hanya kamera di kamar Nania yang terhubung dengan ponsel kami sehingga kami bisa bebas bercakap-cakap seolah tidak terpisah jauh.
Namun, akhir-akhir ini, kuperhatikan Nania benar-benar menikmati kehidupan barunya. Hal ini membuatku khawatir. Aku takut dia berubah pikiran dan nantinya tidak mau lagi tinggal bersamaku. Apalagi interaksinya dengan si bunda ketika pulang sekolah barusan menunjukkan bahwa Nania tidak sedang berpura-pura bahagia dengan kehadiran adik bayi di dalam perut bundanya. Bahkan, suaranya pun tidak terdengar seperti sedang berakting.
“Mama, halo, Mama lagi di situ gak?” Wajah Nania yang memenuhi layar mengembalikan kesadaranku. Kupencet tombol kameraku sehingga wajahku bisa muncul di layar ponsel anakku itu.
“Iya, Nak, Mama di sini. Baru pulang, ya?” tanyaku berbasa-basi. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari suara dan mimik wajah Nania. Bocah berambut lurus sebahu yang telah berganti pakaian itu hanya mengangguk lesu.
“Sayang kenapa? Kok, mukanya kuyu gitu? Ada yang ganggu di sekolah?” Nania hanya menggeleng. Dia menghela napas dalam dan mulutnya bergerak hendak terbuka, tetapi tertutup lagi.
“Na, kalau ada masalah cerita aja sama Mama, ya. Jangan disimpan sendiri. Mama siap dengerin, loh.” Dengan suara lembut aku membujuknya untuk berbicara.
Nania kembali menarik napas sebelum berkata lirih. “Na gak mau lagi jadi mata-mata, Ma.”
Dadaku terasa dihantam palu mendengar ucapan putriku. Rasa sesak yang menghimpitku membuat air mataku jatuh tanpa aba-aba. Perasaan perih serta merta menyebar ke seluruh tubuhku, membuatku merasa takberdaya.
“Maaf.” Satu kata kuucapkan sebelum aku mematikan panggilan video kami. Aku tidak ingin melihat Nania merasa bersalah karena telah membuatku menangis. Sebab, memang bukan dia alasan aku menangis.
Aku marah kepada diriku sendiri yang telah melibatkan bocah kecil itu dalam masalahku yang pelik. Aku muak pada diriku sendiri yang tidak memedulikan perasaan Nania ketika menyelesaikan masalahku dengan ayahnya. Aku benci diriku sendiri yang mengabaikan kebahagiaan putriku dan lebih mementingkan tujuanku tercapai.
Perlahan aku menutup mata dan melihat rekaman kehidupan kami bertiga, aku, suamiku, dan anakku, sebelum kami tercerai-berai. Kami berjalan sambil bergandengan tangan menikmati pagi yang segar di alun-alun kota. Kami berbasah-basahan dalam guyuran hujan di halaman rumah mungil kami. Kami bekerja sama membersihkan rumah.
Kemudian, layar menunjukkan gambarku yang sedang berkutat dengan komputer. Jari-jariku bergerak cepat memencet papan tombol yang kemudian memunculkan kode-kode semrawut di layar. Aku terus tenggelam dalam kegiatanku selama berjam-jam, bahkan berhari-hari tanpa menghiraukan suami dan anakku yang sibuk mengurus diri mereka sendiri. Dalam kepalaku hanya ada situs yang harus kubobol dan kubuatkan laporan untuk pemesannya yang telah mengontrakku. Jika sedang banyak permintaan, aku bisa berbulan-bulan seperti itu.
Hal itulah yang akhirnya membuat ayah Nania memutuskan untuk meninggalkanku. “Mengabaikan keluarga demi pekerjaan” ternyata menjadi alasan yang dinilai cukup kuat oleh instansi yang menerbitkan surat perceraianku dan menyerahkan hak asuh Nania kepada ayahnya.
Bagai daun kering di musim gugur, aku teronggok di tanah ketika satu-satunya pria dewasa yang kuanggap dapat memahamiku itu membawa Nania pergi. Aku hanya dapat memandangi mereka menghilang bersama mobil yang mereka tumpangi. Kakiku terasa lumpuh, lidahku kelu, bahkan otakku pun berhenti bekerja.
Perlu waktu yang lama untuk memunguti ceceran semangat hidupku. Sebagai seorang peretas, aku dapat dengan mudah mengakses ponsel mantan suamiku juga kamera pengintai di tokonya sehingga aku dapat mengikuti tumbuh kembang Nania dari jauh. Aku juga sering mendatangi anakku dengan izin ayahnya. Aku ingin menunjukkan bahwa aku pun bisa menjadi ibu yang baik. Hingga kemudian mantan suamiku memutuskan untuk menikah lagi. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk “memasuki” rumah barunya.
Namun, kini gadis mungil satu-satunya penyemangat hidupku itu berkata ingin mengakhiri semuanya. Berbagai perasaan menghimpit dadaku. Sesak, perih, dan membuatku kesulitan bernapas.
“R E S P I R A**”
Tiba-tiba, layar monitor di depanku menampilkan pesan itu dengan latar hitam. Seseorang tengah mengajakku bermain-main dengan memutuskan semua akses kamera pengintai di rumah mantan suamiku dan menyuruhku bernapas? Aku yang biasanya langsung memburu si pengganggu hanya bisa diam. Otakku yang sedang kacau justru menuruti pesan di layar, alih-alih segera mencari si pengusik.
Aku menarik napas panjang dan mengeluarkannya secara perlahan. Oksigen yang memenuhi paru-paruku kemudian terkirim ke otak. Aku terus mengatur pernapasanku hingga berangsur-angsur ketenangan menyelimutiku.
Pesan itu belum hilang ketika aku mengambil ponselku dan mengetikkan pesan untuk Nania. Demi Nania.
“Maafkan Mama. Na bisa buang semua kamera itu, tapi jangan yang di kamar Na. I love you♡”
“Well, sekarang mari kita urus si tukang usil ini.” Aku merasa semangatku meluap setelah beberapa bulan hanya memelototi video di monitor untuk mencari-cari kesalahan bunda dan papa Nania. Aku pasti bisa mendapatkan Nania kembali, tetapi aku tidak akan lagi melibatkan anakku itu. Aku tidak akan menyerah, hanya sedikit berganti arah.(*)
Tangerang, 25 September 2023
Catatan:
*Respirar: berasal dari bahasa Spanyol yang artinya ‘bernapas’ (bentuk kata kerja)
**Respira: bernapaslah (bentuk kata kerja perintah)
M. Indah, wanita yang sedang belajar berbagi ilmu dan pengalaman supaya dapat membawa lebih banyak manfaat.
Event cerpen Loker Kata diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.