Devin Elysia Dhywinanda
Kepada: Jakarta
Naskah Surat Terbaik 1 (Event Menulis Surat Loker Kata)
Selamat pagi, Jakarta.
Apakah kau baik-baik saja? 9 Agustus lalu, seminggu sebelum dirgahayu rumah kita, kau didiagnosis sebagai kota paling berpolusi di dunia. Angka keluhan ISPA naik seiring wajahmu yang kian berkabut. Kau jadi jauh lebih renta dibandingkan ketika pertama kali divonis bakal tenggelam pada tahun 2030.
Oh! Apa perkataanku menyakitimu? Maafkan aku, aku hanya … merasa sedih …. Sebab barangkali, keadaanmu kinilah yang meyakinkan banyak pihak untuk memindahkan tugasmu ke Nusantara. Padahal, kau kan selalu jadi saksi bisu perjuangan negara ini—mulai dari ketika bernama Sunda Kelapa, Jayakarta, Batavia, Djakarta Tokubetsu Shi, hingga DKI Jakarta; mulai dari sebelum kemerdekaan hingga kita bisa berdiri tegap menyaksikan pengibaran bendera merah-putih di tanggal 17 Agustus. Tubuhmu adalah rengkah cerita historis, dan melepasmu menuju masa purna adalah hal yang tidak pernah kubayangkan ketika aku kanak-kanak.
Tapi, Jakarta, apakah kau justru menantikan momen pemindahan tugas itu? Apakah kau menantikan saat di mana jutaan orang datang mencari pekerjaan di tempatmu yang menyempit, dipenuhi gedung pencakar langit pun pemukiman liar? Apakah kau menantikan saat di mana kau dapat beristirahat dan tidak perlu merasa sakit lagi lantara pasokan udaramu yang mulai menipis, pun tanahmu yang kian terkikis?
Karena kau ….
Kau, barangkali, menyimpan begitu banyak luka dari sejarah bangsa ini.
Kaulah yang jadi saksi perjuangan Pak Karno, Pak Hatta, Tuan Maeda, Ibu Fatmawati, dan jutaan pahlawan tak tersebutkan lain dalam memproklamasikan kemerdekaan. Tapi akhir September 1965, kau justru menyaksikan pembantaian besar dengan dalih perbedaan ideologi. Tapi pertengahan Mei 1998, kau kembali melihat bagaimana orang-orang membakar kota dan menyakiti saudara mereka sendiri. Tapi awal Desember 2016, tubuhmu kembali dilukai oleh lautan massa yang bersatu, mencari “keadilan” dengan dalih agama.
Bukankah itu sangat menjengkelkan: membayangkan kau akan hidup dalam kedamaian, tapi bahkan setelah mendapatkannya, kau tidak pernah bisa terbebas dari pertengkaran, perseteruan, dan perselisihan? Kalau begitu, apa itu kedamaian? Apa itu perang? Apa itu kebebasan? Apa itu kemerdekaan.
Mmm.
Jakarta, Kamis malam kemarin, aku menerima pertanyaan aneh dari temanku. Katanya, Dev, temuin hubungan dari dua klausa ini: meskipun telah tidak dijajah oleh bangsa lain, Jakarta tidak pernah lepas dari 10 besar kota dengan polusi udara tertinggi. Aku pun menjawab, Dua-duanya nunjukin hal yang sama: bahwa kita masih dijajah—kalau dulu, akibat penjahat kolonial; kalau sekarang, akibat bangsa kita sendiri.
Ah, apakah aku sangat tidak sopan karena menanyakanmu, yang telah renta dan sakit-sakitan, tentang hal ini? Tapi, kupikir hanya kaulah yang bisa menjawab pertanyaanku, sebelum tugasmu digantikan oleh Nusantara. Karena kaulah yang menyaksikan bagaimana negeri ini dibangun dari darah dan air mata.
Apakah kita sudah menjadi bangsa yang merdeka?
P.S. Aku tidak enak hati menanyaimu tentang hal ini, dan aku tidak memaksamu menjawabnya. Aku hanya berharap, baik kini maupun kelak setelah Nusantara menggantikan tugasmu sebagai ibukota, kau dapat terbebas dari luka dan air mata.
Salam sayang,
Dari seseorang yang selalu mengenang semua ceritamu
Ponorogo, 20 Agustus 2023
—
Idenya yang spesifik dan kekinian ini, saya kira, menjadikan surat Devin ini paling menonjol dari yang lain. Dan karena itu ia mendapat suara mutlak dari admin. Saya pun setuju dengan pilihan mereka. Surat ini adalah sebuah eksplorasi konkret dari ungkapan Bung Karno di masa lalu, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.”
Kepada kita, para pahlawan telah mewariskan bangsa ini. Sesuatu yang pada masa lalu secara mati-matian diperjuangkan oleh kakek-nenek kita. Kita bisa membicarakan tentang menjaga alamnya yang kaya atau bangga dengan keberagamannya, tetapi kita sering lupa dengan “dirinya” sendiri. Apakah kita masih mencintainya ketika ia tidak lagi seagung dirinya di masa lalu? Apakah kita masih mengingatnya ketika ia tergantikan dengan yang baru?
Cinta seharusnya tidak bersyarat, kan? Dan cinta semacam itulah yang seharusnya ada di benak kita. Khususnya, ia perlu ditumbuhkan dalam benak para pemuda yang akan menjadi penopang bangsa ini di masa depan.
—Berry Budiman, Pengampu Kelas Menulis Loker Kata