Keluhan Ibu – Cerpen Terbaik Bulan Juli

Keluhan Ibu – Cerpen Terbaik Bulan Juli

Keluhan Ibu

Oleh: Erien

 

Ibu saya mengirim keluhan lewat pesan WA. Dada kiri yang beberapa hari ini nyeri, juga batuk yang tidak kunjung sembuh sejak pulang dari rumah saya dua minggu lalu adalah beberapa dari keluhannya. Selebihnya, tentang adik saya yang terlalu sibuk, kakak saya yang menginap di rumah Ibu karena bertengkar dengan istrinya, juga jadi keluhan Ibu. 

Jangan dibayangkan panjangnya teks yang Ibu tulis. Ibu lebih suka mengirimkan pesan suara. Saya bisa mengenali rasa kesal dari nada yang kadang naik. Pun rasa sedih dari terbata-batanya cerita. 

Kemarin, keluhan Ibu bertambah. Mbah saya sakit dan Ibu ingin sekali menjenguk. Hanya saja, Ibu menahan diri karena cemas jika batuknya menulari Mbah yang berumur mendekati angka sembilan puluh. Kunjungan terakhir Ibu sudah berlalu dua minggu lalu, saat Ibu mampir untuk mengantarkan oleh-oleh sepulang dari rumah saya. 

“Ibu pengen nengok Mbah. Tapi batuknya nggak berhenti.” 

Saya tahu Ibu sedih. Suaranya terbata-bata. Ada isak juga meski sepertinya ditahan oleh Ibu. 

“Tinggal Mbah orang tua Ibu satu-satunya. Mumpung masih ada. Ibu pengen ke sana. Apalagi kata Tante Siti, Mbah lagi sakit. Nggak mau makan.” 

Saya menyimak pesannya lalu menghela napas panjang. 

Saya tahu Ibu tidak bermaksud apa-apa selain mengungkapkan rasa khawatirnya atas keadaan Mbah. Namun, saya seperti ikut tersentil karena posisi Ibu dan saya hampir sama: jauh dari orang tua dan hanya tinggal ibu yang tersisa. Ibu mencemaskan keadaan ibunya sama seperti saya mencemaskan keadaan Ibu dengan semua keluhannya. Bedanya, Mbah punya tiga orang anak perempuan, sedangkan Ibu hanya punya satu yaitu saya yang merantau jauh dari rumah. 

“Ibu tahu kalau adik-adik Ibu sering ngrasani, ngomongi Ibu yang jarang nengok Mbah. Nengok juga jarang nginep lama. Tapi gimana lagi. Kamu ngerti, ‘kan, keadaan Ibu di sini?” 

Di ujung pesan itu saya mengingat saat saya berkunjung ke Mbah. Adik Ibu mengkritik Ibu yang tidak mau menginap untuk menunggui Mbah. Mereka kecewa karena menganggap Ibu tidak perhatian. Saya membayangkan kondisi Ibu. Banyak yang dirasakan tubuh tua itu. Meski semangat mencukupi hidup sendiri masih membara dengan berjualan nasi bungkus yang dititipkan di kantin rumah sakit, seringkali kondisinya drop. Maka, tidak mungkin Ibu menemani Mbah sementara kondisi tubuhnya juga sewaktu-waktu bisa drop. Bukannya malah merepotkan? Saya, kakak, dan adik sudah menyuruhnya berhenti mengirim nasi ke kantin, tetapi Ibu menolak. 

“Kalau Ibu berhenti, Ibu mau ngapain? Bengong? Malah nanti ke mana-mana pikirannya.” 

Maka, pesan kami akhirnya hanya sebatas agar Ibu tidak terlalu capek dengan kegiatannya. Toh, masih ada uang pensiun almarhum Bapak dan sedikit bantuan dari kami. 

Perihal sakitnya Mbah, sebenarnya saya sudah tahu dari grup WA keluarga. Yah, saya doakan kesembuhan Mbah meski tidak saya tuliskan dalam grup itu. Pun sama halnya tentang keinginan Ibu untuk menjenguk Mbah yang berjarak tiga jam perjalanan menggunakan mobil dari rumah. Saya sudah mengira itu sejak berita sakitnya Mbah di grup keluarga. 

Di grup keluarga, Ibu meminta maaf karena belum bisa menjenguk dan menunggui Mbah. Batuk dan detak jantung yang lumayan kencang setelah kontrol bulanan, membuat Ibu hanya bisa mengirimkan doa. 

“Ya, Mbak. Cepet sehat biar bisa nungguin Ibu.” Begitu balasan Tante Siti di grup. 

Seperti biasa, jadwal periksa Mbah dibagi di grup pula agar siapa pun di antara ketujuh anak Mbah yang memiliki waktu luang bisa mengantar Mbah ke rumah sakit. Jadwal Mbah besok ke dokter spesialis syaraf. 

“Lho, kok ke spesialis syaraf? Biasanya Ibu kontrol ke dokter penyakit dalam sama jantung, ‘kan? Kenapa ke spesialis syaraf? Boleh tahu ceritanya?” Ibu mengirim pesan di grup. 

Selang lima menit, salah seorang adik Ibu mengirim pesan. “Besok aja ceritanya kalau Mbak ke sini.” 

Terus terang, dahi saya langsung berkerut. Kenapa? Kenapa harus tunggu Ibu datang ke sana baru mereka cerita? Kenapa tidak diceritakan ke Ibu? 

Ibu membalas singkat. “Oh, ya udah.” 

Meski singkat, saya tahu hati Ibu pasti patah. Kecemasannya akan kondisi Mbah, tidak terobati. Ibu harus datang dulu ke sana untuk tahu. Padahal, kondisi tubuh tidak memungkinkan untuk perjalanan jauh. Hati Ibu pasti kecewa karena hanya Ibu yang tidak tahu keadaan ibunya sendiri. 

Mungkin saya berlebihan, tapi saya tahu bagaimana Ibu. Saya juga seorang ibu dan anak, sama sepertinya. 

Nanti malam, Ibu akan mengirim pesan suara pada saya dengan terbata-bata, atau malah dengan sesenggukan. Saya tahu itu. 

Kotabaru, 18 Juli 2023 

Erien. Sudah.

Leave a Reply