penulis: Chan.
Editor : Rachmawati Ash
Satu … dua … tiga …. Ginuk menjatuhkan tiga keping uang logam seribuan ke lubang kecil sedalam setengah jengkal yang digalinya di halaman belakang. Setelah menimbun lubang, gadis enam tahun itu menyiraminya sambil menyanyikan lagu yang diajarkan seorang peri yang datang di mimpinya, dengan nada riang, “Cepatlah besar, Pohon Uang. Bawa aku meraih mimpi. Cepatlah besar, Pohon Uang. Kau pohon terindah di dunia.”
Peri berkulit biru, berambut emas, dan bersayap cahaya itulah yang menyuruh Ginuk menanam uang. Mulanya ia menyuruh Ginuk menanam uang dalam nominal yang lebih besar. Katanya, semakin besar uang yang ditanam, semakin cepat Ginuk meraih mimpinya. Namun, di celengan Ginuk hanya ada tiga keping uang seribuan. Sang peri tetap tersenyum semanis gula-gula dan berkata, “Tidak apa-apa. Toh, uang seribuan jika dikumpulkan bisa sampai segunung.”
Tentunya jumlah itu cukup untuk mewujudkan mimpi Ginuk. Selama setengah tahun Ginuk memimpikan memiliki boneka unicorn merah muda yang ia lihat di toko mainan di seberang Kantor Kecamatan. Namun, belakangan ini impian itu berubah dan membesar. Ia ingin punya banyak uang untuk menambal tiga lubang di atap dapurnya yang masing-masing seukuran kucing, beberapa potong daster untuk ibunya, dan beberapa bungkus rokok untuk bapaknya. Tiga hal itu kerap membuat ibunya merutuki nasib mereka dan mengutuk peruntungan payah suaminya di meja dadu.
Malam pertama setelah menanam pohon uang, Ginuk bermimpi pohonnya telah bertunas. Batangnya serupa batang pohon muda, tetapi daunnya yang baru tiga helai, sewarna uang logam seribuan. Ketika bangun, Ginuk segera berlari ke tempat ia menanam pohon. Ia kecewa ketika mendapati tempat itu masih berupa gundukan tanah. Namun, kekecewaan itu segera berganti menjadi keterkejutan. Rentetan serapah ibunya bentrok dengan makian bapaknya di dapur. Semua terjadi karena di meja makan tak kunjung tersedia kopi panas dan sarapan meskipun matahari sudah sepenggalah. Seperti sebelumnya, percekcokan itu bertranformasi menjadi tangis histeris usai terdengar suara tamparan. Ginuk merapatkan tubuh ke tembok sambil menutup telinga. Bagaimana mungkin menghidangkan sesuatu yang tidak ada, pikirnya sambil menangis.
Malam-malam berlalu dan mimpi-mimpi terus berdatangan. Semakin lama Ginuk semakin ingin berlama-lama di dunia mimpi. Di sana ia merasa gembira, karena hanya di sanalah ia bisa menyaksikan pertumbuhan pohon uangnya. Dan ia segera mendapati bahwa kegembiraan adalah alat-pengalih-dari-rasa-lapar yang paling ampuh.
Di malam kedua puluh lima, pohon itu sudah setinggi rumahnya dan mengeluarkan ratusan buah berwarna perak seukuran jeruk nipis. Pada pertengahan buah terdapat ritsliting sehingga mereka terlihat seperti dompet belanja mini. Sepanjang malam Ginuk mengigau tertawa. Namun, paginya, Ginuk harus kecewa dan hatinya terluka; sang ibu telah kabur dengan seorang pedagang bubur kacang hijau yang dikenalnya lewat Facebook. Keduanya memang kerap berjumpa saat bapak Ginuk sibuk menerka mata dadu yang keluar di meja judi.
Setiap sehabis menyiram pohon uangnya, Ginuk berdoa agar ibunya menemukan jalan pulang. Mulanya ia berdoa dengan lantang agar cepat didengar Tuhan. Namun, belakangan ia memilih berdoa diam-diam. Ia tak ia ingin doanya didengar bapaknya. Setiap mendengar tentang ibu Ginuk, bapaknya menjadi murka. Dan setiap kali bapaknya murka, memar di tubuh Ginuk bertambah.
Di malam kelima puluh, setiap buah di pohon uang Ginuk sudah sebesar mangga apel yang ranum. Ginuk kian semringah. Sang peri pun datang lagi dan berkata bahwa sebentar lagi Ginuk akan panen. Ginuk pun membayangkan sebentar lagi ibunya akan pulang dan bapaknya akan menerimanya dengan tangan dan senyum terkembang. Kemudian bersama-sama dan sambil tersenyum riang mereka akan membeli gula-gula, daster, dan boneka unicorn merah muda. Terkadang, khayalan itu menggebu-gebu seperti luapan air mendidih yang mendorong tutup panci; semakin lama, semakin sulit dibendung.
Seminggu kemudian, apa yang sang peri katakan terbukti. Ritsliting di setiap buah di pohon uang Ginuk terbuka lebar. Bagaikan hujan, dari buah-buah itu berjatuhanlah jutaan kepingan uang seribuan. Mereka menumpuk dan terus menumpuk hingga akhirnya membentuk gundukan yang nyaris setinggi pohon. Ditemani sang peri, Ginuk terus menari dan bernyanyi, dan sepertinya tidak akan berhenti. Senyumnya kian lebar. Sisa rasa sakit di sekujur tubuh, bekas memar, luka di kepala yang ia peroleh karena tak sengaja menyebut perihal ibunya, dan bercak darah di bajunya, lenyap sepenuhnya.
Rumah, 14 Mei 2023