Terbaik Ke-3 TL 20
Genre Folklore
Kuda Perang
Oleh: Chan
Di Lembah Angin Merah yang berada di Kerajaan Gland, terdapat sebuah peternakan kuda yang dikelola selama beberapa generasi oleh sebuah keluarga. Di sana hiduplah seekor kuda jantan dengan bulu sepekat malam bernama Lupin. Ia dan kuda-kuda lainnya hidup bahagia karena pemilik peternakan dan anak-anaknya sangat menyayangi mereka.
Meskipun demikian, Lupin selalu merasa hidupnya kurang lengkap. Sewaktu kecil, sebelum ibunya mati dan akhirnya Lupin dijual ke peternakan itu, sang ibu pernah bercerita bahwa mereka berasal dari garis keturunan kuda pemberani. Kakek buyut Lupin adalah kuda seorang jenderal terkenal, yang merupakan seorang pahlawan dalam sebuah perang besar. Perang itu terjadi tiga puluh tahun sebelum Lupin lahir. Selain itu, ayah Lupin pernah menjadi tunggangan seorang letnan di kesatuan tentara Kerajaan Gland sebelum akhirnya gugur bersama sang majikan saat memberantas sebuah pemberontakan. Lupin pun tumbuh dengan menggenggam mimpi bahwa dirinya akan mengikuti jejak mereka.
Suatu hari menjelang musim gugur, harapan Lupin sepertinya akan menjadi kenyataan.
Kekaisaran Municia berniat menguasai seluruh benua. Kekaisaran yang menganut paham sesat bahwa bumi hanya boleh dihuni oleh ras Municia itu, bahkan telah mencaplok negara tetangganya, Kerajaan Arsaw. Kerajaan Gland berniat menghentikan Kekaisaran Municia.
Salah satu persiapan awal Kerajaan Gland adalah dengan mengumpulkan kuda-kuda dari seluruh peternakan yang ada di wilayahnya. Sebelum menuju medan perang, kuda-kuda itu dikumpulkan di pos seleksi yang dibangun di sebuah bukit. Setiap kuda ditentukan perannya; apakah akan dijadikan sebagai kuda perang atau kuda pengangkut logistik.
Lupin yakin bahwa dirinya akan terpilih menjadi kuda perang. Selama berada di sana, sorot matanya selalu memancarkan kegembiraan, terlebih setelah menjumpai kuda-kuda yang juga memiliki cita-cita yang sama. Bersama Lupin, sesekali mereka meringkik dan berderap bersama. Debu-debu pun berterbangan dan suasana menjadi seriuh di arena pertempuran.
Meskipun begitu, ada segelintir kuda yang merasakan hal sebaliknya. Mereka memilih memisahkan diri dari kelompok kuda yang bergembira dan berdiam di sudut-sudut pagar. Salah satunya adalah Lumos, sahabat Lupin. Sejak diambil oleh pihak kerajaan, kuda jantan berbulu sewarna gula merah itu selalu terlihat murung. Kehangatan pelukan perpisahan dan air mata dari putri bungsu sang pemilik peternakan masih membekas di ingatannya. Melihat itu, Lupin menghampiri dan menanduk lembut tubuh sahabatnya itu.
“Tersenyumlah, Kawan, kejayaan dan kemasyuran menanti kita.”
“Benarkah?” Lumos terlihat tidak bersemangat.
“Tentu!”
“Kejayaan siapa? Kejayaan kita atau mereka?” Lumos mengarahkan moncongnya ke salah seorang prajurit sambil berjalan menjauhi sahabatnya itu.
Lupin menyusulnya dan berkata, “Berhentilah menjadi perajuk dan jadilah kuda dewasa. Kau tentu tahu kita tidak mungkin tinggal selamanya di peternakan dan lembah itu untuk menjadi kuda penarik gerobak.”
“Memangnya apa yang salah dengan itu?”
“Itu bukanlah kehidupan yang baik, Kawan.”
“Kehidupan? Dalam perang hanya ada kematian!”
“Itu jika kau kurang gesit dan murung seperti ini. Lagipula, di peternakan itu pun kita bisa mati. Dan jika aku harus mati, aku ingin mati di medan perang bukan mati tua sambil menarik pedati.”
Lumos tak mengatakan apa-apa lagi. Ia kembali berjalan menjauh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Lupin tak berusaha menyusulnya lagi.
Di malam sebelum diberangkatkan menuju medan perang dan dipertemukan dengan para ksatria, Lupin tidak bisa tidur. Hatinya dipenuhi oleh kebahagiaan setelah ditetapkan menjadi kuda perang. Ia menatap langit yang ditaburi jutaan bintang sambil membayangkan dirinya menjadi tunggangan dari ksatria yang gagah berani dan membawa penunggangnya memenangkan berbagai pertempuran.
Lamunan Lupin buyar oleh sebuah kegaduhan yang disebabkan oleh Lumos. Setelah ditetapkan sebagai kuda perang, ia makin gelisah. Kegelisahan itu memuncak menjelang fajar dan meletup menjadi sebuah upaya pelarian.
Tinggi pagar kayu di pos seleksi itu dua meter, tetapi Lumos berhasil menjebol bagian atas pagar itu dan melompatinya. Sayangnya, beberapa orang prajurit memergoki kuda itu dan menjerat kakinya dengan tali. Pelarian Lumos gagal setelah ia tersandung dan terjatuh ke jurang. Satu kaki depannya patah.
Para prajurit tidak berniat merawat Lumos karena tidak ada waktu lagi. Langit timur sudah terang dan mereka harus berangkat ke medan pertempuran secepatnya. Di pos itu ada ribuan kuda. Komandan pos berkata, kehilangan satu atau dua kuda tidak menjadi masalah. Mereka pun menelantarkan dan membiarkan Lumos untuk mati.
Rombongan kuda dibawa melalui jalan yang menuruni bukit. Beberapa dari mereka melewati Lumos sambil melemparkan tatapan iba. Ada pula yang menatapnya dengan sinis dan merendahkan. Sebagian lagi memilih tidak peduli.
Lupin sendiri memutuskan untuk berhenti sejenak di hadapan sahabatnya itu. Ada kesedihan bercampur kesal yang terpancar dari mata Lupin yang semengkilat mutiara hitam ketika ia berkata dengan gusar, “Inikah yang kauinginkan, menjadi seekor kuda pengecut?”
“Setiap kuda berhak memilih jalan hidupnya.” Lumos mencoba tersenyum.
“Semoga kau bahagia dengan pilihanmu.”
“Kau juga.”
Embusan angin menerbangkan rambut kehitaman Lupin, membawa serpihan debu dan dedaunan kering. Tenggorokan kedua kuda itu sekering gurun. Butuh beberapa detik bagi Lupin untuk bisa berkata, “Maaf dan selamat tinggal, Kawan.”
Lupin pun berjalan mengikuti rombongan dengan kaki-kaki serasa terbenam di dalam lumpur. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa dunia bergerak sepuluh kali lebih cepat dari dirinya. Mata kuda itu basah, tetapi bukan debu-debu tadi penyebabnya.
Tiga musim gugur berlalu sudah. Sorak kemenangan Kerajaan Gland menggema ke seluruh pelosok benua dan terus begitu selama berhari-hari.
Sementara itu, Lupin berjalan tertatih-tatih melintasi sebuah kota kecil sambil mengenang belasan pertempuran yang ia lalui. Kaki kiri depan kuda itu pincang, mata kirinya buta, dan badannya berhiaskan puluhan bekas luka. Cucukan udara dingin membuat Lupin merasa luka-luka itu seperti baru saja tercipta, dan akhirnya membuat ia teringat pada pertempuran terakhirnya di Bavarr, ibu kota Municia. Sebuah bola meriam jatuh tiga meter di depan Lupin saat ia sedang menerjang tentara musuh, menerbangkan puluhan serpihan pasir dan batu tajam.
Dengan kenangan itu di kepalanya, Lupin berjalan dan terus berjalan, meskipun sekujur tubuhnya terasa letih, seluruh persendiannya serasa hendak robek, dan perutnya perih luar biasa akibat berhari-hari tidak makan. Tidak ada yang mau bersusah payah memberinya makan atau minum, apalagi merawat dan menampungnya. Perang menghadirkan penderitaan dan kemiskinan. Orang yang mau bersusah payah meluangkan waktu dan memberi makanan untuk seekor kuda tua yang terluka nyaris tidak ada.
Embusan angin semakin dingin. Tepat ketika Lupin berada di sebuah padang rumput, butiran salju pertama pun jatuh. Dengan susah payah, kuda itu mendongak sambil menjulurkan lidah. Beberapa butir salju mendarat lalu meleleh di lidahnya. Sejenak ia mengucap syukur, tetapi lima helaan napas kemudian, ia roboh. Lupin berusaha bangkit. Namun, betapa pun ia mencoba, tubuhnya terus menolak.
Salju terus turun makin lebat dan akhirnya mengubur tubuh Lupin. Detak jantung kuda itu terus melambat. Paru-parunya kian sesak. Cahaya kehidupan di matanya perlahan meredup, yang tersisa di benaknya hanya dua hal. Pertama, ia tidak mengerti mengapa para panglima buncit itu yang diberi penghormatan dan digelari pahlawan, bukan dirinya atau mendiang ksatria penunggangnya, padahal panglima-panglima itu tidak pernah sekali pun menginjak medan perang. Kedua, pertanyaan Lumos tentang kejayaan. Lupin tersenyum getir dengan menggunakan tenaga terakhirnya yang tersisa.
Di suatu tempat yang tidak jauh dari bangunan yang dulu disebut sebagai Pos Seleksi Kuda Kerajaan Gland, seekor kuda jantan dewasa dengan bulu dan rambut sewarna gula merah sedang membimbing anaknya belajar berlari di sebuah kandang kuda. Keduanya tampak gembira. Di belakang mereka, seekor kuda betina berbulu putih memperhatikan dengan sorot mata gembira. Sementara itu, petani pemilik mereka ikut mengamati sambil tertawa.
Tiga tahun lalu, si petani menemukan kuda jantan itu di sebuah jurang dan merawat kakinya yang patah sampai sembuh. Sang kuda menunjukkan rasa terima kasihnya dengan mengabdi sebagai penarik gerobak pembawa hasil panen dan melakukannya dengan senang hati.
“Lihat, Ayah! Salju!” Si anak kuda berseru girang. “Bolehkah aku main hujan-hujanan salju?”
“Tanya ibumu.”
Anak kuda itu berlari menghampiri si kuda putih dan terlihat gembira sesudah mendengar jawabannya. Ia berlari-lari mengelilingi kandang. Si kuda jantan tersenyum.
Salju pun turun semakin lebat. Tiba-tiba sebuah firasat membuat sang kuda jantan mendongak. Ia teringat pada sahabatnya dan peternakan tempat mereka dibesarkan. Selama dua belas dentang lonceng gereja, ia terdiam memandang langit, seolah-olah melihat sesuatu di sana.***
Rumah, 25 Maret 2023
Chan, seorang pembaca yang sedang belajar menulis.
Komentar juri:
Sejak awal, cerpen yang termasuk fabel ini sudah dijagokan untuk masuk lima besar. Ending-nya bagus. Biasanya Chan sering menulis ending yang terlalu menjelaskan. Di sini, ia bisa menahan diri. Kita bisa menerka bahwa kuda jantan yang disebut di akhir cerita adalah Lumos, dan menafsirkan apa pun yang dilihatnya di langit. Itu memang ruang imajinatif pembaca. Hanya satu saja yang mungkin bisa dikatakan sebagai kekurangan, bahwa cerita ini sedikit terlalu “kalem”, tidak memberikan efek “mengentak”.
—Ika Mulyani