Terbaik Ke-4 TL 20
Di Antara Rumah Panggung
Oleh: Freky Mujiono
Kuliah selama empat tahun dan langsung bekerja setelah lulus, total delapan tahun sudah aku menjadi perantauan di sebuah kota besar. Tanya saja kepadaku di mana letak kafe, mal, maupun pusat perbelanjaan yang ingin kau kunjungi, maka aku akan memberitahukannya kepadamu lengkap dengan cara menuju ke sana. Namun bukan tempat-tempat tersebut yang ingin kuceritakan, melainkan sebuah tempat yang tidak pernah kuduga. Sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari pusat kota ditambah sekitar satu jam lebih berjalan kaki, aku mengunjunginya untuk pertama kali tanpa disengaja dan memutuskan untuk menetap selamanya.
Saat itu, aku baru saja diputuskan oleh kekasihku, seorang gadis matre tapi cantik yang selama ini kugandeng ke mana-mana dan kumanjakan dengan macam hadiah yang ia inginkan. Tentu saja, dirinyalah yang menjadi pendorong aku tahu tempat-tempat untuk menghamburkan uang sebagaimana yang kusebutkan di awal.
Singkatnya, seperti cuplikan novel romansa yang membuatku terkadang bergidik karena kalimat-kalimatnya yang terlalu puitis, aku terpuruk. Rasanya, aku menjadi benci pada dunia. Aku sungguh tidak ingin melihat deretan bangunan yang akan mengingatkanku pada dirinya. Jauh dari pusat kota, kupikir akan mampu membuatku bisa bernapas lega.
Mobil yang telah kuisi penuh bahan bakarnya, kupacu menuju arah barat. Kenapa ke arah barat? Lagi-lagi karena alasan puitis ala novel romansa sebagaimana yang pernah kubaca acak, membayangkan suasana di mana sosok yang tengah patah hati, berjalan tanpa tujuan di mana matahari tenggelam dan warna langit jingga menjadi latarnya. Akan tetapi hari masih sangat terik. Masih beberapa jam lagi bagi senja untuk hadir. Jadi, terus kupacu kendaraanku dengan isi kepala dan jiwa yang setengah-setengah.
Ternyata imbauan pemerintah agar pengemudi kendaraan harus fokus, bukan hanya omong kosong. Aku memang tidak minum alkohol dan tidak mengkonsumsi obat-obatan, tetapi aku hampir sama tidak sadarnya dengan mereka yang melakukannya. Di sebuah tikungan, klakson kencang dari sebuah mobil boks mengaung tiba-tiba dan mengejutkanku hingga refleks membanting setir. Mobilku keluar jalur, menerobos pembatas jalan, lalu menabrak tiang besi yang memajang tulisan “Boleh Ngebut Kalo Punya Nyawa Cadangan” besar-besar tepat di pinggir jalan. Sial!
Aku baru menyadari bahwa aku tidak lagi berada di jalanan yang kukenal. Tidak ada bangunan tinggi menjulang, hanya hamparan lahan kosong yang tergenang air berwarna kecokelatan khas rawa. Tidak ada deretan ruko maupun pusat perbelanjaan, hanya jalanan sepi yang kendaraan melintas pun bisa dihitung dengan jari tangan sejak aku berdiri termangu melihat bemper mobil yang penyok. Mesin mobil kumatikan karena tadi sempat ada asap yang kulihat keluar dari kap depan. Sangat sedikit yang kuketahui mengenai permesinan, jadi lebih baik kubiarkan kendaraan ini beristirahat dulu daripada meledak bila kuutak-atik. Begitulah.
Kesal dengan sinar matahari yang masih membuat gerah meskipun kini tidak lagi tepat di atas kepalaku, melainkan sudah agak condong ke batas langit, ditambah lagi kesadaran bahwa lebih baik bila aku ikhtiar untuk menemukan bengkel–setidaknya mereka yang paham soal mesin mobil–daripada terus berdiam di pinggir jalan yang pasti nanti akan semakin gelap, kuputuskan beranjak. Masih tetap menuju ke arah barat.
Cukup lama aku berjalan. Lengang. Hanya ada jalan raya di sisi kanan dan rawa yang ditumbuhi tanaman-tanaman khasnya di sisi kiri. Mengingatkanku pada kampung halaman di mana nenekku tersayang dulu tinggal.
Lama kemudian di saat matahari mulai redup dan langit biru mulai mendapat coretan warna hitam dan jingga, pemandangan rawa mulai berubah. Makin ke barat, sentuhan tangan manusia semakin terasa. Yang paling mencolok adalah rumah panggung yang berjejer dengan jarak tertentu, menandakan aku telah tiba di sebuah pemukiman.
Lagi-lagi pemandangan yang hampir sama.
Sewaktu kecil, derit kayu lantai rumah panggung menyatu akrab dengan langkah kakiku dan teman-teman yang berlarian di dalam rumah. Begitu juga dengan aroma khas rawa yang menyeruak dari celah susunan kayu yang tidak pernah benar-benar rapat. Salah satu kenangan menyenangkan yang kumiliki saat tinggal bersama Nenek. Akan tetapi, setelah Nenek meninggal dunia, aku tidak pernah lagi menjejakkan kaki di rumah panggung beraroma rawa seperti itu sehingga pengalaman berharga itu nyaris tidak kuingat lagi bila saat ini aku tidak dibawa nasib ke tempat ini.
Namun, tidak hanya itu saja kenangan masa kecil yang kupunya.
Berawal dari penemuan jasad mengambang yang tersangkut di sela-sela tiang penyangga rumah, Nenek menceritakan sebuah kisah yang menjadi teman malamku sebelum tidur.
“Mayatnya tak rusak dan tak bau, padahal sudah seminggu dia tenggelam. Tak salah lagi, pasti ia sudah dipinang orang bunian.” Kurang lebih itulah kalimat yang kudengar–hasil menguping–yang dibisik-bisikkan perempuan-perempuan tetangga kepada Nenek. .
“Sudah berkali-kali kuingatkan dia agar tak keluar rumah saat senja tiba. Bagaimana dia bisa lupa begitu saja?” Nenek menimpali perkataan perempuan-perempuan itu dengan sebuah kalimat penyesalan.
Kukutip perkataan perempuan-perempuan tetangga itu ketika Nenek mengantarku tidur sekalian membantuku membakar obat nyamuk pada malam hari. Rasa penasaranku tersulut. Aku ingin tahu apa yang terjadi dan kenapa perempuan-perempuan itu mengangguk-anggukkan kepala dengan sorot mata yang menyiratkan rasa takut dan was-was, tetapi tidak membahas apa pun lagi setelah itu.
“Dunia ini tidak hanya dihuni oleh manusia saja.” Nenek memulai cerita. “Di dunia ini juga ada mahkluk halus.”
“Hantu?” potongku tak sabar sembari kembali ke posisi duduk di dipan setelah tadi sempat berbaring.
Nenek terkekeh. “Tentu saja bukan. Hantu? Itu sebuah penghinaan bila kau menyebut mereka begitu. Mereka adalah makhluk yang hidup. Berdampingan dengan kita. Seperti bertetangga, kita hidup dengan saling menghargai dan mematuhi peraturan masing-masing. Orang bunian juga menempati bagian dari rawa ini, hanya saja kita tidak bisa melihatnya. Mereka adalah makhluk lain yang tidak memiliki bentuk fisik.”
“Mereka ada di sini?” Aku bergidik dan sontak melirik ke celah daun jendela yang ada di dekatku. Jadi saat ini mereka ada di luar sana? Apa mereka juga ada di dalam rumah?
Nenek lalu duduk di pinggir dipan sehingga aku harus menggeser tubuh merapat ke dinding.
“Kau ini laki-laki, tapi penakut.” Nenek memukul pelan sarung yang menutupi sebagian tubuhku. “Jangan takut. Ada tabir yang jelas antara dunia kita dan dunia mereka. Kalau tidak, setiap malam kau pasti sudah melihat tempat tinggal orang-orang bunian yang katanya megah-megah dan terbuat dari emas serta penduduknya yang tampan-tampan dan cantik-cantik itu. Lagi pula, orang-orang bunian itu tidak muncul begitu saja. Setiap kali tabir akan terbuka, maka sebelumnya akan ada seekor buaya putih yang diutus. Kita akan melihat buaya itu berkeliling di daerah sekitar tempat tinggal kita.”
“Tapi Bang Halim mati. Buaya itu membunuhnya?”
“Ah, kau terlalu tak sabar, Dani.” Nenek mengusap kepalaku dan memintaku berbaring. “Biar Nenek ceritakan dulu kepadamu soal mereka. Kau harus tahu, agar kelak kau tahu diri dan tak harus kehilangan nyawa seperti si Halim.”
“Halim itu tidak benar-benar mati. Dia pindah ke alam orang bunian.” Nenek kemudian memiringkan tubuhnya sehingga kami bisa saling berhadapan muka. “Saat manusia ingin tinggal di alam bunian, ia harus meninggalkan tubuhnya. Hanya jiwanya yang diterima masuk ke alam bunian sedangkan tubuhnya harus tetap tinggal di alam manusia. Kita melihatnya sebagai orang yang telah meninggal, tetapi ada satu perbedaan yang jelas dengan mereka yang benar-benar meninggal dunia karena memang telah habis umurnya. Tubuh yang ditinggalkan oleh manusia yang pindah alam itu, tidak akan membusuk. Akan tetap awet hingga masa umur sesungguhnya manusia tersebut habis.”
“Jadi sebenarnya Bang Halim tak apa-apa?”
Nenek menarik napas panjang. “Mana mungkin tak apa-apa. Tetap saja kita manusia tidak ditakdirkan untuk hidup di alam bunian.”
Aku mengangguk-angguk setuju dengan ucapan Nenek. Siapa yang mau tinggal bersama makhluk halus? Aku bergidik. Aku pasti akan memilih menjauh bila suatu hari nanti aku bertemu dengan orang-orang bunian itu.
“Kau tidak bisa menyalahkan orang-orang bunian karena sesungguhnya Halim-lah yang serakah. Ia pasti sudah terpikat kecantikan dan kemewahan yang dimiliki oleh orang-orang bunian sehingga ia tega meninggalkan istri dan anaknya. Yang jelas, setiap senja tiba, di mana siang bertukar tempat dengan malam, tetaplah berada di dalam rumah. Terlebih lagi bila kau melihat buaya putih di dekatmu.” Nenek terbatuk beberapa kali. Kurasa bengeknya pasti datang karena beberapa hari ini musim hujan dan rumah panggung kami terasa lebih lembap dari hari-hari lain. “Buaya putih yang dikirimkan orang bunian adalah sebagai pemberi kabar bagi manusia. Sebuah peringatan: menyingkirlah bila tidak ingin bertemu dengan orang-orang bunian. Karena bila bertemu, maka akan sulit untuk meninggalkan mereka. Harta dan paras, sungguh semua itu godaan besar bagi manusia biasa seperti kita.”
Saat itu aku masih kecil. Belum sepenuhnya mengerti apa yang Nenek maksud sebagai godaan. Namun kini, setelah dewasa dan mengenal cinta, kuakui mungkin Bang Halim tidak sepenuhnya salah. Sangat sulit untuk menolak bujukan dari perempuan cantik, ditambah lagi … kaya.
Kembali ke saat aku memulai cerita ini. Di mana dengan latar matahari yang sudah separuh tenggelam di batas langit, aku berdiri di depan salah satu rumah panggung. Satu-satunya rumah dengan pintu yang terbuka setelah sejak tadi semua rumah panggung yang kulewati tertutup rapat. Terlihat seperti sebuah kesempatan bagiku untuk memperoleh bantuan.
Namun belum sempat aku membuka mulut untuk memanggil pemilik rumah, genangan air rawa tersibak kencang. Dan aku pun tiba di tempat ini. Tempat yang ingin kukisahkan kepada kalian semua.***
Medan, 25 Maret 2023
Freky Mujiono, penulis kumpulan cerpen “Jalan Belakang Menuju Surga” serta puluhan antologi lain termasuk “Criminaloid” dan kumpulan cerpen surealis “Wanita yang memburu Waktu”.
Komentar juri:
Dunia ini tidak hanya dihuni oleh manusia, melainkan ada pelbagai makhluk halus yang hidup berdampingan dengan kita. Salah satunya adalah makhluk Bunian atau biasa dikenal dengan sebutan orang Bunian atau juga yang lainnya. Setiap daerah memiliki penyebutan yang berbeda.
Pada cerpen ini, penulis mengajak kita untuk ikut menebak-nebak apa yang terjadi pada tokoh dan mengikuti setiap kisah yang diceritakannya. Kemudian cerita kembali ke bagian saat tokoh memulai ceritanya pada opening. Penulis sudah jelas piawai menyusun alur yang tidak membosankan. Hanya sedikit yang disayangkan, penulis terlalu berterus terang mengatakan di mana tokoh berakhir saat itu (ending). Alangkah menariknya jika disuguhkan dengan adegan/simbol semisal si tokoh yang mendapatkan tanda-tanda dari mahkluk halus itu. Bertemu dengan buaya putih, misalnya.
—Hassanah