Terbaik 5 TL 20
Genre Folklore
Siapa yang Membawa Dhoqina Kembali?
Oleh: Firman Fadilah
Aku melihatnya dari atas sini. Seorang perempuan renta sedang bersimpuh di mihrabnya. Dadanya bergemuruh seakan-akan tengah mencemaskan sesuatu. Saking gemuruhnya, aku bisa merasakan betapa risau perasaannya seperti ketika guruh di langit tiba-tiba mengejutkan dengan kilatan mengerjap-ngerjap. Ia tahu pasti gelagat buruk ini adalah pertanda bahwa ia akan kehilangan sesuatu.
Langit malam masih memendarkan cahayaku. Agaknya, ia memang tak jadi menurunkan hujan sebab aku tengah menunggu kekasihku untuk menunaikan janjinya. Katanya, ia akan menemuiku. “Kekasihku, kekasihku!” Aku memanggil-manggil dengan suara yang tak mungkin didengarnya. Lalu, kutitipkan juga salamku pada burung gagak dan anai-anai. Akan tetapi, hingga puluhan kali aku berganti wujud, ia tak kunjung menemuiku.
“Kekasihku, kekasihku! Mana janjimu!”
Aku kembali memerhatikan perempuan renta itu. Dua kabar buruk bertubi-tubi menggetarkan retak pipinya yang keriput. Sepasang alisnya bertaut membentuk lukisan burung elang yang menukik ke sebuah lembah penuh air mata. Di hadapannya, kaligrafi indah melukiskan nama Allah. Cahayaku tumpah di atas mihrab itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa merelakan ke sepuluh anakku?” rintihnya. “Aku hanya seorang tua yang dikutuk untuk menghambakan diri sebagai ibu dan aku tak bisa melepas mereka semua.”
Malang nian nasib seorang ibu. Matanya yang layu itu gambaran seberapa lama kasih sayangnya kepada anak-anak. Namun, sekuat apa pun tangannya merentang seperti sepasang sayap yang penuh kenyamanan, anak-anak punya nasib sendiri. Mereka akan tumbuh seperti pohon. Mereka seperti ikan-ikan yang bermigrasi tanpa pernah berjanji untuk kembali.
Ia memiliki sepuluh anak. Sembilan anaknya laki-laki dan yang satu dan paling kecil adalah seorang perempuan cantik jelita. Kesembilan anak laki-lakinya pun terkenal sebagai para pemuda yang gagah dan pemberani.
Kebahagiaan yang bagaimana lagi bagi seorang ibu selain melihat anak-anaknya tumbuh besar, sehat, dan gagah? Namun, setiap hari kecemasan itu berganti menjadi tanda tanya. Akankah mereka akan selamanya berdiri menjadi tanggul kesedihan atau bertualang menjadi musafir yang lupa jalan pulang?
Perempuan renta itu terus merintih. Beberapa hari yang lalu, utusan dari kerajaan diperintahkan untuk meminang anak perempuannya. Namanya, Dhoqina. Ia perempuan muda yang tak bisa lagi digambarkan bagaimana cantiknya. Bahkan, mata seekor kancil yang cemerlang tak bisa dibandingkan dengan sinar matanya ketika terpantul cahaya matahari. Di ujung senyumannya ada sepasang lembah yang akan menjerat setiap lelaki yang memandanginya. Mereka akan jatuh cinta, tapi pasti cinta itu akan tumbuh sia-sia karena perempuan renta itu dan mayoritas kakaknya akan menolak pinangan siapa pun, termasuk pinangan seorang raja.
Dhoqina perempuan muda yang jelita. Ibunya tak rela melepas tangan dan kaki yang masih mungil itu untuk dipinang seorang lelaki. Ibunya teringat masa lalu yang begitu pahit di mana seorang perempuan diperlakukan tak lebih hanya sebagai budak. Perempuan hanya diciptakan untuk memperbanyak keturunan dan menghibur para lelaki. Bahkan, seorang perempuan tak boleh memakai riasan. Ibunya tak mau Dhoqina yang muda dan jelita itu mengalami hal yang sama. Ia tentu masih punya masa depan yang lebih baik darinya.
Sementara itu di sisi lain, anak laki-lakinya yang paling muda dan bijaksana bernama Constantine memberikan sebuah janji dan pemahaman bahwa lelaki yang meminang adik perempuan satu-satunya itu pastilah orang baik. Ia pasti bisa menjaga kehormatan dan derajat Dhoqina. Ia pasti seorang raja yang berwibawa dan tak mungkin memperlakukan seorang perempuan dengan keji.
Lebih dari itu, Constantine tak ingin jika Dhoqina menjalani ritual burrnesha. Dhoqina harus menjadi perempuan sejati. Ia tak boleh menjadi seorang perempuan yang mengkutuk dirinya sebagai seorang perawan selamanya. Ia harus berjalan sesuai kodrat keperempuanannya. Constantine memberikan restu kepada Dhoqina untuk menerima pinangan itu.
Perempuan renta itu berlinang air mata. Constantine lantas meraih tangan ibunya yang keriput untuk menenangkan kekalutan di dalam dadanya. Lalu, Constantine mengucap sebuah sumpah.
“Aku akan membawa Dhoqina kembali hidup atau matiku. Dia adalah adikku. Dia adalah anakmu. Jika dia bahagia maka aku bahagia. Jika dia sengsara maka aku juga demikian. Maka, jika ada kemalangan yang menimpanya, aku akan membawanya kembali padamu. Demi langit dan bumi, juga kepadamu Ibu, di mana surgaku ada di bawah telapak kakimu. Akan kubawa putrimu kembali.”
Tiba-tiba angin berembus kencang menyibak tirai dan sedikit melegakan kerisauan di hati ibunya. Ia yang kini telah yakin dengan sumpah kesatria itu, dengan berat hati merelakan Dhoqina pergi ke negeri jauh untuk dipersunting seorang raja. Sumpah adalah janji dan janji adalah utang. Utang harus dibayar meskipun seseorang itu telah mati, utang harus tetap dibayar tuntas.
Dhoqina pergi diarak pengawal kerajaan. Tujuh hari lamanya perjalanan itu ditempuh untuk memulai sebuah kehidupan yang baru. Ibunya berharap cemas bila memang suaminya itu adalah lelaki baik, maka diberkatilah dia. Jika ia orang yang jahat, maka runtuhlah kekuasaannya.
Beberapa hari berlalu, seorang utusan kerajaan di tanah Albania memerintahkan para pemuda yang gagah dan pemberani untuk ikut berperang. Siapa pun yang memiliki anak laki-laki harus merelakan nyawa anaknya demi mengangkat martabat negara. Tidak ada kata penolakan. Penolakan berarti salah satu bentuk pengkhianatan. Malah, beberapa orang tua yang memiliki anak laki-laki merasa bangga sebab hidup dan matinya pejuang adalah sebuah kehormatan. Bilapun mati, darah yang terhunus pedang itu akan jadi saksi harumnya tanah permakaman.
Perempuan renta itu termangu melihat kesembilan anak laki-lakinya pergi menuju medan pertempuran tanpa pernah menoleh untuk melihatnya bersedih. Mereka pula tak pernah berharap pulang dengan jasad utuh. Dalam mihrabnya, ia selalu berdoa bila kesembilan anaknya pulang dengan selamat atau hanya salah satu di antara mereka. Namun, ia tak berharap banyak. Ia tahu takdir seorang anak laki-laki di tanah itu terlalu mulia untuk hidup lama. Firasatnya pun benar. Angin dari timur laut mengabarkan kalau kesembilan anaknya tewas dalam pertempuran melawan Rusia. Mereka dimakamkan di tempat yang jauh.
Kini hanya tinggal perempuan renta itu sendiri yang menangguk pahitnya kehilangan. Aku pun di atas sini jenuh menanti kekasihku yang katanya akan menemuiku. Perlahan-lahan, awan berkelindan di langit. Cahayaku tertutup oleh buramnya mendung. Angin membawa kesat uap Laut Adriatic. Di dalam mihrabnya, perempuan renta itu memanggil-manggil Constantine. Ia menagih janjinya.
“Constantine! Oh, anakku Constantine. Di mana kamu?” Ia menengadah ke atas langit malam. “Dulu janjimu akan membawa Dhoqina kembali, entah hidup atau matimu. Tapi kini kau pun tak bernyawa. Jika kau adalah kesatria sejati, bawalah janjimu di hadapan ibumu yang penuh oleh rindu ini.”
Kesembilan anaknya telah mati. Harapan terakhirnya hanya pada putrinya, Dhoqina. Akan tetapi, keinginan itu seolah-olah tak mungkin. Dhoqina berada jauh di negeri seberang dan Constantine yang berjanji akan membawanya kembali telah gugur di medan perang. Namun, doa ibu tak terhalang apa pun. Bahkan tujuh lapisan langit tak menjadi sekat pembatas. Seketika itu, petir menyambar-nyambar. Salah satu lidahnya memecutkan api ke sebuah makam yang jauh. Makam Constantine.
Batu nisannya tiba-tiba pecah, kemudian dalam sekejap batu nisan itu menjelma kuda hitam yang gagah. Tanah perkuburan yang masih basah berangsur-angsur terbelah dan berubah menjadi pelana. Constantine bangkit dari kuburnya. Angin meniup ke arahnya. Ia mendengar suara ibunya.
Kuda hitam itu meringkik. Constantine segera menunggangi kuda itu untuk menuju ke negara di mana Dhoqina berada. Ia melewati gunung dan lembah seperti seorang kesatria dengan pedang yang bersarung di sisi kiri tubuhnya.
Salju pun turun di negara yang jauh itu. Selepas sekian perjalanan, akhirnya Constantine menemukan Dhoqina yang sedang menari di tengah-tengah lelaki pemabuk dengan penuh napsu. Ternyata benar kata Ibu dan saudara laki-lakinya. Orang itu tak memperlakukan Dhoqina dengan baik. Maka, Constantine mengayunkan pedangnya sambil menerobos ke kerumunan pemabuk itu. Mereka semua tersungkur dan menggelepar seperti ikan di daratan. Segera ditariknya tangan Dhoqina dan menaikkannya ke atas pelana.
Burung-burung malam berkoak seolah-olah meneriakkan sebuah kidung, “Tsili viu, tsili viu! Apakah kau melihat mereka, apakah kau melihat mereka! Orang mati yang berkuda bersama seorang wanita?”
“Siapa kamu?” tanya Dhoqina dalam perjalanan. Memang Constantine berwajah muram. Auranya tak secerah dulu. Lalu, bau yang teramat menyengat menguar dari punggungnya. Rambutnya pun berkilau keperakan.
“Tak cukupkah kau kenali suaraku? Dhoqina adikku. Apa kau tak rindu ibumu? Air matanya tak habis-habis mengalir. Ia rindu dirimu.”
“Tentu aku rindu, tapi apa sebenarnya yang terjadi?”
“Kita akan kembali menemui Ibu.”
“Tapi kenapa bau ini, cahaya ini, dan debu-debu dari tubuhmu terus beterbangan?”
“Oh, Dhoqina sayang, itu semua tak perlu kau pikirkan.”
Constantine menarik tali kekang dan kuda hitam itu melaju semakin kencang, sementara Dhoqina duduk diam di belakangnya tanpa pernah tahu kalau ia sedang menunggang kuda bersama seonggok raga yang sudah lama ditinggal nyawa. Mereka menyeberangi lembah dan jalanan terjal menuju rumah dalam semalam. Melihat rumah yang dulu penuh tawa itu, Dhoqina terdiam sesaat.
“Apa yang terjadi? Dulu, rumah ini bercahaya. Kini berwarna gelap dan catnya mengelupas. Apa ada kemalangan yang menimpa Ibu?”
Constantine lantas menjelaskan bahwa semua yang dilihat mata kelak menua. Begitu juga rumah ini. Cat yang dulu berwarna terang lekas memudar. Semak-semak banyak tumbuh di muka pintu. Guguran daun berserakan. Pohon-pohon meninggi dan rantingnya lapuk. Ibu pun menua. Terlebih, sekarang ia banyak merenung karena rindu.
“Tidak ada yang terjadi pada Ibu. Dia baik-baik saja. Lekaslah turun dari kuda dan temui Ibu.”
Dhoqina turun dari pelana. Ia menuju pintu dan mengetuknya.
“Ibu! Ibu! Aku anakmu, Dhoqina!”
Sementara itu, Constantine gegas menarik tali kekangnya. Ia memacu kuda dengan cepat seolah-olah menyatu dengan udara menuju kuburannya semula. Ia menghilang tanpa jejak.
Siapa yang berani mengaku sebagai Dhoqina sedangkan ia berada di negeri jauh? Ibu tak lekas membuka pintu.
“Bukan, kamu bukan Dhoqina! Ia sekarang berada di negeri jauh! Ia tak mungkin di sini. Yang seharusnya membawamu adalah Constantine, tapi ia telah berkubang jadi abu.”
“Aku Dhoqina, Bu! Kakkaku, Constantine yang membawaku kemari dengan kuda hitamnya yang perkasa.”
Tidak ada Constantine di sana. Itu tandanya, Ibu semakin tak percaya dengan apa yang dikatakannya.
“Tidak! Constantine telah mati! Jika kau berbohong, semoga petir menyambarmu!”
Perempuan renta itu lekas membuka pintu. Betapa terkejutnya ia melihat Dhoqina berdiri di pintu. Ia memang benar-benar Dhoqina. Saking tak percayanya, perempuan renta itu lantas tersungkur akibat jantungnya yang berdegub terlalu kencang. Dhoqina yang menyaksikan ibunya meninggal lantas meraih sebilah pisau dan menghunuskannya ke dadanya sendiri. Mereka berdua tak lagi bernyawa seketika itu.
“Kekasihku, kekasihku! Di mana kamu? Mari kita lekas berjumpa dan membuat gerhana untuk dua orang yang malang itu.”***
Gunung, 24 Maret 2023
*Cerita diadaptasi dari folklore negara Albania Besa e Kostandinit (Constantine’s Besa) asal Albania.
Firman Fadilah, bercita-cita ingin tetap konsisten menulis dan ingin agar salah satu karyanya bisa menjadi bahan ajar di sekolah-sekolah.
Komentar juri:
Cerpen satu-satunya yang diusulkan oleh semua juri, dan dengan begitu, tanpa ragu kami memilihnya sebagai favorit. Sebuah kisah tragis yang sangat menarik dan menyuguhkan bermacam kesan mendalam bagi masing-masing pembaca—sesuai tafsir mereka. Itu sebelum kami tahu lebih banyak tentang sumber cerita. Penulis memang dengan sangat mengesankan mengembangkan cerita ini dari sebuah puisi (paling tidak itu yang kami temukan) tentang folklore yang bersangkutan, dan menambahkan peran narator untuk memperkaya cerita. Tetapi meski dengan kreasi yang baik itu, pada akhirnya inti kisahnya sama persis. Karena hal orisinalitas itu, kami pun harus mengurangi poin cerpen ini ketika membandingkannya dengan karya lain.
—Berry Budiman