Terbaik Ke-7 TL 20
Genre Folklore
Bau Comberan Dini Hari
Oleh: L
Aku bergegas masuk ke kamar mandi saat sayup-sayup terdengar suara azan Maghrib. Sebenarnya, pukul lima sore tadi aku sudah mandi, tetapi aku memilih untuk mandi lagi sebab tidak nyaman dengan keringat yang membuat badan terasa lengket. Aku sering merasa kegerahan begitu kehamilanku memasuki usia lima bulan.
“Ya Allah, Citra! Itu rambutnya jangan dibungkus handuk, Nak.”
Aku terkejut ketika mendengar suara Acil Mala, saat aku baru saja keluar dari kamar mandi dan berpapasan dengannya. Selama beberapa detik, aku hanya terdiam sembari menatapnya kebingungan. Acil Mala bergegas meraih handuk yang membungkus kepalaku, lalu membuka lilitannya.
“Kenapa, Cil?”
“Jangan gini lagi, ya, Nak. Kata orang-orang dulu, kalau ibu hamil sering ngelilit rambut pakai handuk kayak gitu, nanti bayinya kelilit tali pusar,” jelas Acil Mala. “Lagian, kamu ngapain mandi jam segini? Pamali, Nak,” lanjutnya.
“Abisnya gerah, Cil,” jawabku sembari tersenyum kikuk.
“Besok-besok jangan lagi, ya.”
Aku hanya mengangguk mengiakan, lalu pergi ke kamar untuk menunaikan salat Maghrib.
Sebenarnya, aku tidak begitu paham dengan maksud perkataan beliau. Apa coba hubungannya melilit handuk di kepala dengan bayi terlilit pusar?
***
Waktu masih menunjukkan pukul empat dini hari, tetapi aku sudah berkutat dengan mesin cuci. Sebenarnya, pakaian kotorku tidak banyak, tetapi aku sengaja memilih bangun lebih pagi sebab tidak enak dengan Acil Mala. Kemarin, tanpa sepengetahuanku, beliau mencucikan semua pakaian kotorku. Sudahlah menumpang, baju kotor pun dicucikan pula oleh tuan rumah. Memalukan.
Ini semua disebabkan oleh urusan kantor yang membuat Kak Irwan, suamiku, terpaksa menginap di luar kota selama beberapa hari. Kedua mertuaku sudah tiada dan orang tuaku sendiri berada jauh di pulau seberang, jadilah Kak Irwan memilih untuk menitipkan aku kepada bibinya, karena ia khawatir bila harus meninggalkanku sendirian di rumah kami yang terletak di desa sebelah.
Sementara menunggu mesin cuci bekerja, samar-samar aku mencium aroma busuk, seperti bau air comberan. Baunya benar-benar mengganggu. Entah mengapa, saat itu tiba-tiba aku merinding dan perasaanku menjadi tidak enak.
Rumah Acil Mala memanjang ke belakang. Posisiku saat ini ada di teras belakang yang letaknya di dekat dapur. Ruangan ini tidak diberi dinding, hanya dikelilingi oleh pagar kayu setinggi pinggang orang dewasa.
Sayup-sayup kudengar bunyi seperti suara anak ayam. Aku menoleh ke arah halaman belakang yang merupakan rimbunan semak-semak. Sepertinya sumber bunyi itu dari sana. Namun, hanya kegelapan yang kulihat dan tiba-tiba suasana jadi terasa mencekam.
Suara pintu yang terbuka membuatku terlonjak kaget. Aku segera menoleh ke arah pintu yang menghubungkan teras belakang dan dapur.
“Citra? Ngapain di situ, Nak?”
Aku menghembuskan napas lega begitu mendengar suara Acil Mala.
“Ayo, masuk, masuk!”
Aku masih berdiri di tempatku tadi meski Acil Mala menarik tanganku.
“Tapi, Cil, anu … Citra masih nyuci.”
“Ngapain nyuci jam segini, Nak? Ayo, masuk!”
Acil Mala bergegas mematikan mesin cuci, lalu kembali meraih tanganku. Aku pun pasrah mengikutinya. Beliau kemudian mengunci pintu dapur dan menarikku kembali ke kamar.
“Ehm …. Cil, tadi ada nyium bau-bau gitu, enggak?” tanyaku sedikit berbisik.
“Sudah, sudah. Jangan dibahas. Mending kamu kembali tidur. Jangan lupa baca Tiga Qul dan Ayat Kursi.” Setelah berkata begitu, Acil Mala menyingkap kelambu dan menuntunku untuk kembali berbaring di kasur.
Perlahan, bau comberan itu berangsur-angsur hilang. Hingga azan Subuh berkumandang, aku masih saja terjaga, memikirkan kejadian aneh yang baru saja kualami.
***
Pagi harinya, ketika sedang memasak bersama Acil Mala, aku berniat memberanikan diri untuk bertanya perihal bau itu. Namun, saat aku hendak membuka mulut, tiba-tiba terdengar salam diiringi ketukan dari pintu depan. Acil Mala bergegas melangkah untuk membukakan pintu dan aku mengekorinya. Di depan pintu, tampak tiga orang wanita berkerudung hitam.
“Sudah ke rumah Mak Juwai, La?” tanya salah satu dari mereka.
“Belum. Ada apa, Kak Siti?”
“Cucunya yang baru lahir semalam, tadi subuh meninggal!” jawab wanita bertubuh subur itu.
“Innalillahi wa innailaihiroji’uuun! Meninggal kenapa ?”
“ , ℎ (kata orang dimangsa kuyang, entah benar atau tidak).”
Ucapan wanita yang dipanggil Kak Siti itu membuatku bergidik.
“Astaghfirullaaah! Tunggu sebentar. U (saya) ganti baju dulu,” ucap Acil Mala sambil bergegas ke kamar. Saat keluar, dasternya telah berganti dengan gamis.
“Nak Citra jangan ke mana-mana, ya. Kunci pintunya. Siapa pun yang datang jangan dibukain pintu sebelum Acil datang!”
Aku hanya mengangguk menuruti pesan Acil Mala. Kengerian menguasaiku. Meski sebenarnya aku tidak percaya sepenuhnya perihal makhluk itu, tetapi tetap saja mendengar cerita tadi aku jadi khawatir akan keselamatan janin yang kukandung.
Di Kalimantan, siapa yang tidak tahu kuyang. Aku yang bukan penduduk asli daerah sini pun sedikit tahu tentang makhluk itu. Menurut cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut, kuyang adalah makhluk berwujud kepala manusia dengan rambut panjang menjuntai dan isi tubuh menggantung tanpa badan. Biasanya, makhluk itu mengincar ibu hamil dan bayi yang baru lahir. Kata orang, makhluk itu sebenarnya adalah manusia yang mengamalkan ilmu hitam. Namun, aku tidak begitu percaya karena belum pernah melihat wujudnya secara langsung.
***
Sepulang dari melayat, Acil Mala mewanti-wanti, “Mulai sekarang kamu mesti berhati-hati. Jangan sembarangan ngobrol dengan orang asing, apalagi kalau orang itu mau pegang perutmu. Pokoknya jangan mau. Hari ini tidak usah keluar rumah dulu, ya.”
Sore harinya saat suamiku datang, Acil Mala menceritakan musibah yang menimpa keluarga Mak Juwai.
“Kamu ingat Pak Karto, yang jualan nasi goreng di depan gang sana?” tanya Acil Mala kepada suamiku. “Katanya, tengah malam tadi dia melihat ada bola api terbang ke arah rumah ini. Berarti memang benar semalam binimu ini diincar juga sama itu kuyang. Untung Acil bangun.”
Kak Irwan sangat bersyukur aku dan calon bayiku masih diberi keselamatan.
Sore itu kami pamit pulang kepada Acil Mala. Beliau lagi-lagi berpesan agar kami terus memagari diri dengan doa dan bacaan surah-surah Alquran.
Saat di perjalanan pulang, aku bertanya kepada suamiku perihal Acil Mala yang tinggal sendiri.
Dia berujar, “Dulu Acil Mala punya suami, tapi mereka tidak punya anak. Acil Mala sempat hamil tiga kali, tapi selalu keguguran, makanya beliau jadi trauma mau hamil lagi. Akhirnya Acil Mala diceraikan suaminya yang sekarang sudah kawin lagi. Padahal dulu ada beberapa laki-laki yang mendekati Acil Mala, tapi beliau tetap memilih hidup sendiri.”
“Apa kegugurannya gara-gara kuyang, Kak?” tanyaku.
Suamiku menghela napas panjang, lalu mengangguk.
“Dulu, puluhan tahun lalu, katanya di kampung ini hampir tidak ada bayi yang lahir selamat dan tumbuh sampai dewasa. Setiap ada anak yang dilahirkan, hampir semuanya sakit, lalu meninggal. Kalau pun ada yang hidup sampai dewasa, itu karena orang tua mereka memilih pindah ke desa lain. Kabarnya itu semua perbuatan kuyang. Makhluk itu pun akhirnya pergi entah ke mana setelah desa menjadi sepi karena para warga memilih pindah. Entah benar atau tidak, begitulah kisah yang beredar. Tapi Adek tidak usah khawatir, yang penting kita sama-sama giat beribadah dan terus minta pertolongan dari Allah, insya Allah kita akan selalu dalam lindungan-Nya.”
Tetap saja aku kembali bergidik ngeri dan mendadak rasanya aku ingin minta pindah rumah.***
Borneo, 25 Maret 2023
L, pemburu huruf-huruf yang sedang belajar memenjarakan kata-kata.
Komentar juri:
Cerpen ini sederhana, tetapi berhasil menyampaikan pesannya. Dan penulis menyampaikan pesan itu tanpa perlu menjelaskan semuanya, terutama tidak pula dijelaskan adakah hantu itu sebenarnya? Cerita mengalir begitu saja, dan bagus. Akan tetapi, poin dramanya belum cukup untuk masuk lima besar, sehingga kami putuskan untuk menempatkan cerpen ini di posisi ketujuh.
—Ika Mulyani