Si Penebang Kayu (Terbaik 10 TL 20)

Si Penebang Kayu (Terbaik 10 TL 20)

Terbaik Ke-10 dan Naskah Paling Kreatif
Genre Folklore
Si Penebang Kayu
Oleh: Halimah Banani

 

Pria itu berperawakan tinggi besar serta kukuh seperti pohon beringin. Namanya Gabriel. Tapi, karena sejak muda ia bekerja sebagai penebang kayu, orang-orang lebih mengenalnya dengan sebutan Si Penebang Kayu, walaupun delapan tahun lalu ia memutuskan untuk berhenti dan pindah dari hutan ke dermaga, lalu menjadi kuli angkut di sana. Namun, itu tidak serta-merta mengganti panggilannya menjadi Si Kuli Angkut. Lagi pula sebutan Si Penebang Kayu terdengar lebih menarik daripada Si Kuli Angkut. Maka, dalam cerita ini, alih-alih menyebut pria itu dengan nama Gabriel, saya akan menyebutnya Si Penebang Kayu saja.

Kisah tentang Si Penebang Kayu ini sudah banyak diketahui oleh orang-orang di sekitaran hutan tempatnya dulu tinggal. Si Penebang Kayu punya seorang putri berusia 8 tahun yang mati dimangsa serigala ketika melintasi hutan untuk pergi menjenguk neneknya. Tubuhnya habis tercabik-cabik; jantungnya tercerabut, jeroannya terburai keluar, lehernya hanya sebagian yang terbalut kulit, itu pun kulit yang sangat koyak, dan jari tangan kirinya hilang tiga. Tidak jauh darinya, tergeletak keranjang anyaman rotan, serta buah-buahan, roti-rotian, dan beberapa stoples selai yang masih utuh tidak tercicipi sedikit pun. Yang menandakan bahwa serigala itu memang hanya menginginkan daging saja, bukan buah-buahan apalagi roti dengan selai. Lalu, karena murka atas kematian putrinya, Si Penebang Kayu pun pergi menelusuri hutan untuk membunuh serigala tersebut. Akan tetapi, tidak ada yang tahu apakah pria itu berhasil membalaskan dendam atas kematian putrinya atau tidak. Karena sejak itu tak ada yang pernah melihat lagi keberadaan Si Penebang Kayu. Jadilah orang-orang tidak tahu, apakah serigala itu masih hidup atau sudah mati sehingga mereka mulai mengisahkan tentang cerita ini kepada anak-anak atau cucu-cucu mereka ketika menyampaikan larangan pergi ke hutan. Ceritanya kurang lebih seperti ini:

Pada suatu hari, seorang gadis kecil pergi untuk menjenguk neneknya. Dan untuk memberikan efek tertentu, rumah di desa di pinggir hutan pun dipindah menjadi di tengah hutan. Sebelum pergi ke hutan, si gadis menyempatkan diri datang ke pasar, membeli roti dan buah-buahan serta beberapa selai untuk persediaan pangan neneknya selama beberapa hari ke depan. Namun, saat berjalan di hutan, ada seekor serigala mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk memangsa daging buruan yang masih segar itu. Kemudian, sampai di sini, cerita mulai berubah-ubah. Ada yang mengisahkan si gadis mati dimangsa dan ada pula yang mengisahkan kalau gadis itu selamat, yang salah satunya menyebutkan kalau gadis itu diselamatkan oleh seorang penebang kayu yang mendengar teriakan minta tolongnya.

Sayangnya, cerita yang sebenarnya tidaklah sesederhana itu. Orang-orang itu tidak tahu jika kematian putri Si Penebang Kayu sudah diramalkan oleh seorang peri bermuka serupa anggrek di musim kemarau. Dan sebagaimana ramalan yang disampaikan oleh orang pintar atau peramal, ramalan dari peri pun sering kali tidak bisa dicegah untuk tidak terjadi, sekeras apa pun kau berusaha mencegahnya. Terkadang, malah ia terasa seperti kutukan daripada ramalan.

Peri itu mengatakan kepada Si Penebang Kayu bahwa anaknya akan mati di hutan ini. Itu sebabnya ia berhenti dari pekerjaannya sebagai penebang kayu dan menjadi kuli angkut di dermaga. Ia memboyong istrinya yang saat itu tengah hamil 6 bulan untuk meninggalkan hutan demi menjauhkan calon anak mereka dari kematian. Tapi sialnya, ketika anak itu sudah berusia 8 tahun, istrinya malah menyuruh anak itu untuk mengunjungi ibunya yang tinggal di desa di pinggir hutan ini.

Ibu mertua Si Penebang Kayu memang sudah sakit-sakitan lima tahun belakangan dan tak kunjung sembuh, entah apa gerangan sakitnya. Beberapa hari lalu wanita tua itu menghubungi mereka dan meminta agar mereka datang, dengan alasan kalau umurnya mungkin sudah tidak lama lagi. Ia ingin melihat anak, menantu, dan cucunya sebelum mati. Tapi Si Penebang Kayu beralasan kalau dia sedang sibuk sehingga tidak bisa pergi. Itu hanya alasan yang dibuat-buat saja, karena sesungguhnya dia tidak ingin berkunjung ke sana. Ia khawatir sesuatu terjadi pada putrinya. Tapi kemudian ia menyesali keputusannya ini. Andai saja ia pergi ke sana bersama putrinya, mungkin ia bisa menjaga gadis itu dari marabahaya.

“Ibu bodoh mana yang menyuruh anaknya pergi ke hutan seorang diri?” teriak Si Penebang Kayu kepada istrinya, ketika dia selesai menguburkan anaknya dan pulang untuk mengambil kapak yang saban hari diasahnya walau tidak pernah ia pakai untuk menebang pohon lagi.

“Ibu ingin bertemu kita semua. Tapi kau sibuk, aku juga sibuk. Jadi aku kirim anak itu untuk pergi mewakili kita,” jawab istrinya yang sibuk bersolek di depan meja rias.

“Kau bisa memintaku untuk mengantarnya.”

Istri Si Penebang Kayu kini melapisi bibirnya dengan gincu merah.

“Kau pasti akan beralasan sibuk sehingga akan menolak pergi.”

Kini wanita itu menatap wajahnya di cermin. Memeriksa penampilannya sekali lagi.

“Tapi lihat akhirnya?!”

Wanita itu mengambil tasnya yang tadi ditaruh di kursi.

“Lagi pula bukankah bagus jika dia mati? Dengan begitu kita tidak perlu membuang-buang uang untuk merawatnya, karena sejak dulu untuk hidup berdua saja kita masih selalu kekurangan.”

Setelahnya, wanita itu pergi. Hari sudah malam dan dia harus ke bar untuk bekerja. Ada banyak kebutuhan. Ada banyak tagihan yang harus dibayar. Dan mereka butuh begitu banyak uang. Jadi, pikirnya, tak ada waktu untuk meributkan seorang gadis kecil yang sudah mati.

***

Hubungan Si Penebang Kayu dan istrinya memang sejak dulu sudah tidak baik. Itu berlangsung ketika usia pernikahan mereka menginjak angka lima, tiga tahun sebelum istrinya akhirnya hamil. Wanita itu sering mengeluhkan tentang kehidupan mereka yang miskin dan hobi suaminya yang senang memahat jika menemukan kayu-kayu yang dagingnya berwarna unik. Dengan muka masam, istrinya akan menyeletuk, “Lebih baik kau gunakan waktumu untuk menebang lebih banyak pohon biar bisa menghasilkan lebih banyak uang.”

Namun, Si Penebang Kayu tetap melanjutkan kesenangannya memahat di sela menebang pohon-pohon yang ada di hutan. Hasil pahatannya itu biasa ia hadiahkan untuk para peri hutan. Ia tahu para peri menyukai hasil pahatannya. Dan sebagai imbalannya, dengan mantra-mantra yang keluar dari mulut para peri itu, Si Penebang Kayu akan dengan mudah menumbangkan beberapa pohon dalam waktu satu jam—karena peri itu menginginkan Si Penebang Kayu cepat selesai dengan pekerjaannya dan membuat pahatan untuk mereka lagi. Hal semacam ini dipelajarinya dari si tua Bill, pria yang pernah menjadi ayah angkatnya setelah ia kabur dari rumah karena muak dengan kelakuan ibunya yang hobi membawa pulang para pria hidung belang. Dari Bill pula ia mengenal para peri itu dan mendapatkan pekerjaan sebagai penebang kayu.

Biasanya, sebelum pergi untuk menebang, di samping perapian dan di atas meja kecil, Si Penebang Kayu meletakkan lilin dan membakarnya sebelum menangkup tangan, berdoa agar para peri hutan memberikan rezeki kepadanya dan keluarganya hari ini. Namun, ketika istrinya mulai hamil, wanita itu menjadi sangat benci melihatnya berdoa. Dari dalam dapur, wanita itu akan berkata dengan suara lantang, “Yang kita butuhkan adalah rezeki yang berlimpah! Persetan membuat para peri atau Tuhan sekalipun senang jika mereka hanya memberikan kita kesusahan. Jadi sebaiknya kau cepat berangkat dan berhenti membuang-buang waktu dengan semua hal bodohmu itu!”

***

Bulan sudah naik sejengkal lagi dan si pencari kayu masih sibuk memahat kayu merah yang baru didapatinya siang tadi ketika menebang kayu di bagian selatan hutan, dua ratus meter jauhnya dari sungai. Kali ini pahatan itu akan ia hadiahkan untuk calon anaknya yang tiga bulan lagi akan melihat dunia. Meski tidak tahu jenis kelamin calon anaknya, ia tiba-tiba ingin membuat ukiran seorang gadis bertudung yang tengah menenteng keranjang rotan. Saat matanya terus fokus dan tangannya sibuk mengikis juga mencungkil daging kayu merah itu, seorang peri mengingatkan bahwa Si Penebang Kayu harus segera pulang. Satu jam lagi bulan akan berada di puncak dan istrinya pasti sedang menunggu kepulangannya dengan gelisah.

Si Penebang Kayu menatap peri itu dengan tatapan menimbang. Didongakkan kepalanya ke langit kemudian dikemas barang-barangnya. Ia yakin istrinya pasti sudah sejak tadi gatal ingin mengomel, tetapi akhirnya malah jatuh tertidur saking ngantuknya dan berpikir kalau malam ini ia tidak pulang. Memang jika sedang fokus menyelesaikan pahatannya yang hampir selesai, pria itu akan begadang semalaman di gubuk peristirahatannya.

Si Penebang Kayu berjalan cepat, menyusuri barisan pohon sambil menenteng sebuah petromaks hingga sampai di rumah. Dengan perlahan ia membuka pintu agar tidak menimbulkan suara derit yang dapat mengganggu tidur istrinya lalu menutupnya kembali dengan sama perlahannya. Disimpan barang-barangnya di rak kayu dekat meja makan sebelum ia masuk ke kamar. Dan bola matanya hampir jatuh menggelinding ketika ia dapati istrinya tengah tidur di atas ranjang berkelambu usang mereka bersama putra juragan mereka.

Segera Si Penebang Kayu keluar dari kamar dan mengambil kapaknya. Ia hampir mengayunkan kapak itu ke leher dua orang pezina di depannya, tapi urung saat ia mengingat bahwa istrinya sedang hamil. Lalu, untuk melampiaskan kekecewaan dan kemarahannya, tiap malam ia tidak pernah lagi pulang. Si Penebang Kayu sibuk minum-minum di bar ditemani para pelacur yang dibayarnya.

Sampai suatu malam, ketika Si Penebang Kayu berjalan di hutan dengan sempoyongan sehabis minum-minum, ia melihat seorang peri tengah tidur di bawah pohon lalu mencabulinya, dengan pikiran bahwa tidak ada wanita suci di dunia ini, semua wanita sama seperti ibu dan istrinya yang suka berkhianat dan berzina. Namun, saat pagi menjelang, ia terbangun dan mendapati seekor serigala berbaring lemah tidak berdaya di sampingnya, dengan bulu-bulu bernoda warna merah darah dan terbujur lemas sambil merintih kesakitan.

Tubuh Si Penebang Kayu gemetaran. Ia langsung berlari pulang dan mengurung diri selama berhari-hari di kamarnya, tidak peduli jika istrinya terus mengomel menyuruhnya bekerja. Sampai suatu hari seorang peri berwajah serupa bunga anggrek di musim kemarau itu datang, menyampaikan kepadanya bahwa anaknya akan mati di hutan ini jika ia tetap tinggal. Maka, hari itu juga ia memboyong istrinya untuk pergi dari hutan ini sejauh-jauhnya.

***

Sejak lahir gadis itu selalu serapuh sayap peri. Tipis dan mudah terkoyak. Akan tetapi, Si Penebang Kayu tidak menyangka kalau putrinya akan mati dengan cara setragis ini. Maka, untuk melampiaskan kemarahannya, dengan membabi buta ia mengayunkan kapaknya ke perut serigala.

Sekali, dua kali, tiga kali. Berkali-kali. Seolah-olah jika ia membelah perut itu maka anaknya akan kembali hidup.

Namun, tidak ada yang terjadi.

Hanya ada para peri yang menangis sambil mengatakan:

“Ramalan itu terjadi!”

“Ramalan itu terjadi!”

“Ramalan itu terjadi!”***

Jakarta, 25Maret 2023

 

Halimah Banani, tim mi rebus dan bubur diaduk.

 

Komentar: 

Ketakutan tidak terlalu sulit untuk dipahami. 

Ada banyak ide kreatif yang menyatu dalam cerita dengan latar kisah “The Little Red Riding Hood” ini. Cerita yang kental sekali dengan aura kekhawatiran dan ketakutan si tokoh yaitu Si Penebang Kayu: tentang anaknya, tentang keselamatannya, tentang istrinya, juga tentang ramalan peri berwajah serupa bunga anggrek di musim kemarau yang terus mengganggu pikirannya.

Dengan gaya bercerita yang cantik, penulis berhasil menggiring pembaca untuk menikmati cerita yang sudah sangat terkenal ini, dengan versi baru yang sedikit berbeda. Satu-satunya hal yang cukup mengganggu adalah ending-nya. Bahkan, jika dirunut lebih teliti lagi, ending ceritanya sedikit tidak nyambung dengan bagian-bagian cerita yang sudah disusun dengan sangat apik itu.

—Erlyna

Leave a Reply