Terbaik Ke-11 TL 20
Genre Folklore
Genduk Ayu dan Setan yang Menghamilinya
Oleh: Inu Yana
Semenjak berita kehamilan Genduk Ayu menyebar, malam-malam di kampung Dukuh sepi mencekam. Anak-anak yang biasa keluar selepas magrib untuk bermain bersama kawan-kawannya, kini memilih duduk anteng di depan televisi, menonton sinetron picisan yang sebenarnya mereka tidak benar-benar paham apa yang dikisahkannya selain melihat aktor dan aktris itu saling menempel satu sama lain. Suami-suami duduk gelisah karena tidak bisa keluar nongkrong di pos ronda untuk sekadar main gaple atau judi remi sebab istri-istri menahan mereka agar tetap tinggal di rumah, sedang gadis-gadis resah di dalam kamarnya dengan mulut yang sesekali komat-kamit membaca sebaris doa perlindungan.
Bukan pasal kehamilan Genduk Ayu yang membuat kampung itu sepi nyenyet, melainkan apa yang menjadi penyebabnya. “Aku diperkosa setan Kolor Ijo,” jawab Genduk Ayu setiap kali orang tuanya mendesaknya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang siapa ayah dari janin yang di kandungnya. Tak pernah ada jawaban lain. Tak ayal, kabar itu serta merta menyebar ke seluruh penjuru kampung: Genduk Ayu dihamili setan Kolor Ijo. Kemudian bermunculan asumsi-asumsi pribadi yang membuat berita itu makin terdengar menakutkan di telinga-telinga yang menangkapnya. Sudah sejak lama warga meyakini adanya sosok hantu menyeramkan yang senang mencabuli perempuan itu. Kolor Ijo bertubuh besar, hitam dan kekar. Ia bertelanjang dada dan hanya menggunakan kolor sewarna daun pandan tua. Ia akan mengintip kamarmu untuk memastikan kamu seorang diri di dalam sana. Bila kau bersama suamimu, ia hanya akan mengintip dari luar, memelototi paha atau dadamu yang mulus seraya bermain-main dengan barangnya sendiri hingga ia mengelojot nikmat. Bila kau sendiri, ia akan masuk ke kamarmu, menyirepmu, kemudian menyetubuhimu saat kau tengah terlelap.
“Jangan tidur sendiri, apa lagi telanjang, kalau kau tak mau ketika kau terbangun nanti tau-tau kasurmu basah bekas si Kolor Ijo buang hajat,” kata seorang ibu pada suatu pagi saat tengah bergerombol di lapak sayur. Kolor Ijo selalu menjadi topik yang hangat bagi mereka. Ditambah-tambah, satu minggu setelah pengakuan Genduk Ayu, di suatu malam yang begitu hening, tiba-tiba terdengar jerit histeris yang berasal dari rumah Pak Lurah. Semua warga sontak berbondong-bondong ke rumah pemimpin desa itu. Di sana, mereka kaget mendapati Bu Lurah yang biasanya rapi dan cantik kini dalam kondisi menyedihkan. Bajunya acak-acakan, rambutnya kusut masai. Tubuhnya gemetar, wajahnya basah oleh air mata. “Setan itu masuk ke kamarku, tadi,” katanya ketika salah seorang perempuan baya mendekat dan memeluknya. Sementara tak jauh dari sisinya, Pak Lurah, kebingungan, tak tahu mesti berbuat apa. “Apa polisi mau mengurusi perkara takhayul seperti ini?” katanya, saat salah seorang warga menyarankannya untuk segera melapor ke petugas.
“Seorang perawan tua seperti Genduk Ayu aja setan doyan, apalagi gadis sepertimu. Masuk!” seru seorang ibu menghardik anak gadisnya yang ngeyel meminta ijin keluar bersama temannya selepas Magrib. Gadis baru gede itu masuk kembali ke kamarnya dengan kaki mengentak-entak. Baginya, cerita Kolor Ijo hanya takhayul belaka. Dia lebih percaya bahwa China sudah bisa membuat matahari tiruan ketimbang perkara-perkara seperti itu. Tetapi ibunya tak mau ambil peduli. Segera dikuncinya seluruh pintu rumah kemudian mencabut anak kunci dan menyimpannya baik-baik agar anak gadisnya yang bandel itu tak curi-curi kesempatan.
Kaum ibu-ibu itu lebih percaya Genduk Ayu dihamili setan ketimbang berpikiran bisa saja salah satu dari suami merekalah pelakunya. Genduk Ayu hanya seorang perawan tua yang buruk wajah juga perangainya. Mana mungkin suami mereka doyan. Bila ada yang bertanya siapa perempuan paling buruk di kampung Dukuh, mungkin perempuan-perempuan itu akan kompak menjawab Genduk Ayu; yang kupingnya serupa kuping panci, hidungnya serupa blokeng pelepah kelapa, jidat selebar lapangan, juga bibir yang tak ada indah-indahnya di mana yang selalu keluar dari sana tak jauh dari kata-kata cabul sekitar selangkangan sebab ingin buru-buru kawin. Tidak ada satu pun laki-laki yang akan mau menyentuhnya, begitu pikir mereka.
Makin hari, perut Genduk Ayu makin membesar. Namun, tidak ada seorang pun yang mau mempersunting gadis itu meski orang tuanya menjanjikan akan memberikan seluruh ladang mereka bagi siapa pun pria yang mau menikahinya. Ogah jadi ayah dari anak setan, kata seorang pemuda miskin ketika salah seorang teman menggodanya untuk buru-buru melamar Genduk Ayu.
Sejauh ini, sudah dua orang yang mengaku didatangi setan Kolor Ijo. Genduk Ayu dan Bu Lurah. Satu dua perempuan mengaku mendengar seseorang mengetuk jendela kamar mereka pada malam hari, tetapi tidak pernah benar-benar melihat si Kolor Ijo. Entah itu betulan atau hanya sekadar halusinasi sebab ketakutan mereka saja.
Tidak ada yang berubah dari perangai Genduk Ayu. Ia tetap cuek seperti biasanya meski beberapa bulan lagi akan melahirkan seorang anak setan. Sedangkan Bu Lurah, semenjak kasus malam itu jadi semakin manja pada suaminya. Dia mengintil ke mana pun suaminya pergi. Takut setan itu datang lagi, katanya.
Hari silih berganti. Perlahan-lahan kecemasan itu mereda. Tidak ada lagi berita Kolor Ijo berkeliaran di kampung Dukuh. Anak-anak bebas bermain di luar selepas Isya hingga menjelang jam tidur. Bapak-bapak kembali main gaple hingga larut malam di pos ronda. Ibu-ibu pulas di kasurnya dengan iler di ujung bibir membasahi bantal. Dan sebagian gadis-gadis asyik menonton drama Korea dari ponselnya, sebagian khusyuk mengerjakan tugas dari guru, sebagian lagi mengendap-endap keluar, pergi atau mojok di tempat gelap bersama kekasihnya.
Kehidupan kampung Dukuh kembali normal seperti biasanya hingga tiba-tiba di suatu pagi sebuah kegaduhan terjadi di rumah salah seorang warga. Seorang ayah mengamuk mendapati alat penguji kehamilan milik anak gadisnya yang masih sekolah menengah. Laki-laki itu meradang, mengamuk membabi buta memaksa anaknya untuk mengakui perbuatannya.
“Aku diperkosa Kolor Ijo,” aku gadis itu dengan tubuh gemetar ketakutan dan tangis yang meraung-raung. Sementara ibunya hanya berdiri linglung di pojokan, syok mendapati anak kesayangannya yang masih usia belasan itu bunting.
“Bohong!” teriak sang ayah, “Katakan siapa si bangsat itu biar kucincang-cincang kemaluannya!”
Gadis itu menunduk makin dalam di antara isakannya. Kini, makin banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Satu dua mengintip dari balik pintu atau jendela rumah mereka demi memuaskan rasa penasaran tanpa merasa sungkan pada keluarga yang tengah tertimpa kesialan itu. Gadis itu memejamkan mata menahan sakit yang menusuk dadanya. Rasanya, ia ingin mati saja daripada menanggung malu seperti itu.
“Katakan, anjing! Dengan siapa kamu melakukannya?” Ayah si gadis mengangkat tinggi-tinggi tangannya, bersiap mendaratkan entah berapa tamparan lagi di pipi mulus anak gadisnya yang kini berwarna kemerahan bekas tangannya beberapa saat yang lalu.
“Ampun, Bapak!” gadis itu melorot, memeluk kaki ayahnya. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang menahannya.
Laki-laki itu menyepak, hingga anaknya jatuh terduduk di lantai. Ia hendak menghajarnya sekali lagi andai saja Genduk Ayu tidak tiba-tiba ada di antara mereka. “Dia korban setan Kolor Ijo sepertiku. Sudah! Jangan siksa dia terus!” serunya, menarik tangan gadis itu dan menyuruhnya bangun. “Setan itu memaksamu?” tanyanya, menatap tajam pada gadis itu. Gadis itu mengangguk takut-takut.
“Di mana dia memaksamu?”
Gadis itu diam. Dalam hati ia ingin bersuara, setan itu melakukannya di toilet kelurahan, tempatku PKL, tetapi tidak satu pun kalimat keluar dari bibir ranumnya.
“Kamu tak menyukai setan itu?” tanya Genduk Ayu, membuat orang-orang di sekelilingnya geleng-geleng kepala dengan pertanyaannya. Gadis itu menggeleng. Setelah mendapat jawaban dari gadis itu, perempuan bunting itu berjalan meninggalkan kerumunan diikuti tatapan heran para warga. Ia kembali ke rumahnya meninggalkan si gadis belia kembali dalam kecemasannya karena harus berhadapan lagi dengan ayahnya yang tengah murka.
Genduk Ayu seharian mengurung diri dalam kamar. Sesekali ia berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang buruk rupa kemudian turun ke payudaranya yang menggembung, lalu turun lagi ke perutnya yang semakin hari semakin membuncit. Ia mengelusnya sesaat, sebelum setitik air meluncur dari matanya yang juling.
***
Tepat pukul dua dini hari, Kampung Dukuh yang kembali sepi mencekam tiba-tiba gaduh. Suara sirene mobil pemadam kebakaran melengking-melengking di jalanan kampung, membangunkan warga yang masih terlelap dalam bilik-biliknya yang hangat. Perempuan-perempuan histeris memandangi suami-suami mereka yang tengah berjibaku dengan ember-ember berisi air yang diambil dari rumah-rumah warga untuk memadamkan api yang mengepung kediaman Pak Lurah. Sementara itu, di antara pekatnya malam, Genduk Ayu melangkah tenang. Sesekali ia mengusap air mata yang mengalir kurang ajar.
“Aku tahu kamu mencintaiku, maka, bila ada yang bertanya siapa ayah janinmu, bilang: Kolor Ijo.”***
Cikarang, 25 Maret 2023
Inu Yana, seorang ibu rumah tangga biasa dan mantan kuli pabrik yang senang menumpahkan keluh kesahnya lewat tulisan.
Komentar Juri:
Genre folklore dalam cerpen ini kuat sekali, menceritakan kisah sesosok makhluk legenda yang keberadaannya masih belum dapat benar-benar dibuktikan. Seperti yang disampaikan dalam cerita urband legend ini, misteri siapa yang sebenarnya menghamili Genduk masih belum terpecahkan hingga akhir cerita. Rasa misterinya keren, tetapi ending-nya terasa janggal atau belum tersiratkan dengan baik. Dialog tersebut, yang mungkin dimaksudkan oleh Inu sebagai petunjuk, tidak jelas disuarakan oleh siapa.
—Ika Mulyani