Terbaik 13 TL 20
Genre Folklore
Perempuan Pemuja Ki Baya
Oleh: Ilke Kara
Asap kemenyan meliuk-liuk dipermainkan angin, lalu berkejaran ke tengah kali. Bunga tujuh rupa menghampar di permukaan air, bergoyang-goyang menutupi pantulan sang rembulan. Tak jauh dari situ seorang wanita berusia setengah abad duduk bersila, mengabaikan rumput yang masih basah sisa hujan sore tadi. Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Di belakangnya, seorang gadis berusia 15 tahun memperhatikan dengan saksama.
Di bawah bulan yang bulat sempurna, air tiba-tiba beriak, makin lama makin besar dibarengi suara gemuruh. Sepasang mata lalu menyembul ke permukaan. Terus menyembul hingga seluruh tubuh yang dipenuhi sisik tebal dan tajam itu terlihat jelas. Putih, semuanya putih. Ia adalah Ki Baya, buaya putih penguasa Kali Bekasi.
Melihat kemunculan Ki Baya, si gadis terjengkang, lalu merangkak terjatuh-jatuh berusaha menjauhi tempat uwanya berada. Ia yang takmampu berdiri, apalagi berlari, akhirnya hanya bersembunyi di balik pohon besar. Seluruh badannya gemetar. Bibirnya pun pucat.
Gadis itu adalah aku. Dan, kejadian itu terjadi lima tahun yang lalu. Sekarang justru aku yang selalu menemui Ki Baya tiap malam Jumat Legi. Sendirian.
Sering sekali kudengar orang berbisik-bisik, mengatakan aku hanyalah perangkap agar Ki Baya mendapatkan tumbal. Lalu, nama Ki Baya selalu disebut-sebut tiap kali ada yang mati di kali. Tak peduli si mati menemui ajal karena kehabisan napas saat terseret arus, tak peduli ia sengaja menenggelamkan diri, bahkan tak peduli ia dilempar ke kali dalam keadaan sudah membusuk, tetap saja pada akhirnya aku yang disalahkan.
Hei, bukan kehendakku rutin menemui Ki Baya sebulan sekali. Aku hanya menjalankan tradisi—seperti halnya Uwa, seperti Nini juga, bahkan seperti leluhur yang tidak pernah sekali pun kulihat wajahnya.
***
Kamis Kliwon menjadi satu-satunya hari di mana aku dibolehkan pergi ke pasar. Dengan alasan membeli perlengkapan ritual, aku bisa mengetahui kabar yang sedang beredar, juga punya harapan akan bertemu dengan juragan rupawan. Sayangnya, keindahan hari itu ternoda oleh tragedi di depan gapura pasar.
Sekitar lima orang berbaju loreng dengan rambut cepak sedang berkerumun. Mereka bergantian menendang seseorang yang meringkuk di tengah lingkaran. Dari tukang panggul aku akhirnya mengetahui penyebabnya: Pemimpin mereka dituduh telah memperkosa anak Aki Rawing tadi malam. Bukannya mengaku dan meminta maaf, si pemimpin malah menyuruh anak buahnya memukul penjual pisang itu habis-habisan.
Ah, setelah dianggap pahlawan karena beberapa tahun lalu berhasil membantai puluhan orang, mereka memang menjadi sewenang-wenang. Merasa tak tersentuh.
Aku mempercepat langkah, lalu berdeham saat berada di dekat mereka. Pancinganku berhasil. Begitu melihatku, terutama dadaku yang menonjol di balik gaun bunga-bunga, wajah mereka melunak. Kaki-kaki bersepatu bot itu pun berhenti menendang. Sekejap aku menikmati pemandangan yang ada: mata mereka membola dengan mulut menganga. Selangkah lagi, mereka akan menyerupai anjing buduk yang sering mengais-ngais tempat sampah di belakang pasar.
Setelah kuingat-ingat, mereka tidak jauh berbeda dengan lelaki lainnya. Hampir semua lelaki yang sudah bisa menunggangi wanita memang selalu menatapku dengan pandangan ingin mencicipi. Tak peduli lelaki itu bangsat atau seorang bergelar ustaz, hanya kuli atau sudah menjadi priayi, semuanya sama saja. Tapi, tidak ada satu pun yang berani menyentuhku. Mereka terlalu takut bakal menjadi santapan Ki Baya.
Beberapa saat kemudian, seorang lelaki berperut agak buncit di antara mereka berdiri tegak. Dengan suara berat, ia meminta Aki Rawing pergi, enyah dari hadapannya selama-lamanya. Ia lantas mengulurkan tangan kepadaku. “Kopral Hendro.”
Aku tentu saja mengabaikan uluran itu, kembali berjalan anggun melewati mereka, tanpa rasa takut sedikit pun.
“Neng, jangan mengabaikan mereka. Kalau mereka marah, Neng nanti dituduh bagian kelompok kiri, lalu dipenjara,” seorang wanita tua berbisik begitu berhasil menyejajari langkahku. Selesai berbicara, ia segera berbelok ke kanan.
Aku sontak berhenti, lalu menoleh ke belakang. Mataku pun bertemu dengan mata sang kopral yang sedang menyorot tajam. Ini akan menarik.
***
Sekali lagi kulihat pantulan diri di cermin. Rambut sudah tersanggul rapi, wajah telah dirias, kebaya hitam berbordir emas melekat erat tubuhku. Sempurna.
“Jangan lupa senyum, Neng. Ki Baya akan sedih kalau tidak melihat senyummu.” Uwa berdiri di belakangku, merapikan bunga kamboja di samping gulungan rambutku.
Melihat pantulan kami di cermin, aku merasa Uwa lebih cocok jadi ibuku. Ia mirip sekali denganku. Bahkan, sampai tahi lalat di ujung hidung kami pun sama bentuk dan letaknya.
Setelah memastikan semua sudah siap, aku segera keluar dari rumah paling besar di kampung ini. Dengan membawa tampah kecil berisi sesajen, aku melangkah pelan-pelan di bawah guyuran sinar bulan. Kulewati rumah-rumah yang tertutup rapat. Samar-samar terdengar kasak-kusuk dari dalam rumah-rumah itu. Sudah pasti mereka sedang berebut mengintipku.
Mendekati kali takada lagi rumah yang berdiri. Di kanan-kiri jalan setapak hanya ada deretan kebun pisang. Aku berjalan santai, sedikit kesusahan saat harus turun ke bantaran kali. Selalu seperti ini. Lalu, langkahku terhenti.
“Akhirnya Neng Geulis datang juga.” Seorang laki-laki berdiri sempoyongan di depanku. Ia lalu mendekat hingga wajahnya terlihat jelas.
Oh, si kopral sombong.
Si kopral berdiri di samping kananku. Dengan santainya ia meletakkan tangan di bahu kiriku. Tanpa diduga ia mendekat, bibirnya nyaris menempel ke telingaku. “Daripada di sini, mending Neng ikut Akang. Akang jamin Neng gak bakal kedinginan.”
Belum sempat aku membalas ucapan cabulnya, lelaki itu berteriak dan menunduk. Kedua tangannya kini memegangi kepala. Lalu, sebuah batu seukuran kepala bayi kembali menghantam kepala si kopral, membuatnya tersungkur seketika.
Kekagetanku belum juga reda saat secepat kilat seorang gadis menunggangi punggung si kopral. Ia kembali menghantam kepala di depannya. Lagi dan lagi, berulang sampai lima kali. Setelah lelaki di bawahnya tak lagi bergerak, gadis itu baru berhenti. Ia terengah-engah, lalu terisak.
Aku bergeming. Gadis itu anak Aki Rawing. Ya, aku tidak salah mengenali. Ia memang si Tini. Setelah isakan Tini melemah, kubawa ia menjauh dari tubuh si kopral. Kami lantas duduk di bawah pohon mahoni. “Kamu memang sengaja mau membunuhnya malam ini? Saat tidak ada satu pun orang kampung yang berani keluar?”
Tini menggeleng. “Tadinya Eneng mau ketemu Teteh.” Ia menunduk, meremas ujung bajunya. “Mau minta Eneng aja yang dijadikan tumbal Ki Baya. Percuma juga Eneng hidup. Malu. Tapi, waktu lihat lelaki itu, Eneng jadi ingat kejadian kemarin malam.”
Aku tersenyum, lalu menatapnya dengan lembut. “Ki Baya tidak pernah meminta tumbal, Neng.”
Si gadis mengangkat wajah, lantas matanya beralih ke arah sesajen di sampingku.
Aku mengerti maksudnya. “Teteh mau cerita. Dengarkan baik-baik!”
***
Dulu, di pinggiran Kali Candrabhaga—yang sekarang dikenal Kali Bekasi—ada seorang putri juragan terkemuka. Ia tidak hanya cantik, tetapi juga jago silat. Iswari namanya. Sebagai anak tunggal dari keluarga terpandang, Iswari diharapkan mendapat jodoh yang sepadan. Jadilah sang ayah mengadakan sayembara: barang siapa yang berhasil mengalahkan putrinya, akan diangkat menjadi menantu, tak peduli apa pun latar belakangnya.
Berbondong-bondong jawara segera datang menjajal peruntungan. Jawara pertama maju dengan gagah, lalu melawan setengah hati karena khawatir Iswari tersakiti. Namun, begitu pukulan demi pukulan mengenai tubuhnya, sang jawara tumbang sebelum sempat membalas serangan. Yang menyaksikan pun terhenyak. Saat giliran mereka maju, semuanya tak ragu mengerahkan kemampuan. Sayangnya, satu per satu tubuh gagah itu tergeletak dengan lebam di sana-sini.
Hari semakin gelap, obor-obor telah lama dinyalakan, sedangkan Iswari masih kokoh berdiri di tengah-tengah arena pertarungan. Lalu, seorang lelaki bertubuh tinggi, berkulit putih, dan beraura memikat menyibak kerumunan penonton. Ia tersenyum; Iswari membeku. Dan, bisa ditebak, lelaki itulah yang berhasil mengalahkan Iswari. Ia mengaku bernama Bagaswara.
Pernikahan pun diadakan dengan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Iswari bahagia bersuamikan Bagaswara. Kebahagiaannya makin lengkap setelah ada anak dalam kandungannya. Namun, di hari kelahiran sang anak, terjadi kegaduhan: bukan bayi yang dilahirkan oleh Iswari, melainkan telur.
Bagaswara akhirnya mengaku bahwa ia adalah raja buaya putih.
“Kenapa harus Dinda, Kanda?” ratap Iswari.
Bagaswara membelakangi istrinya. Ia lantas menatap kali di seberang rumah. “Kerajaanku terancam oleh kehadiran siluman ular hitam. Menurut para penasehat, hanya buaya berdarah setengah manusialah yang bisa mengalahkannya. Setelah lama mencari, penasehat memutuskan bahwa Dinda-lah orang yang paling tepat untuk melahirkan keturunanku.”
Iswari tersentak. Sejurus kemudian ia membekap mulut sebelum akhirnya bisa berucap, “Maksud Kanda, Kanda mau membawa anak kita?”
Bagaswara mengangguk mantap.
Wanita berambut hitam itu sontak tergugu. Bagaimanapun, anak yang masih dalam telur itu adalah anaknya. Ia tidak yakin bisa berpisah dengan sang anak. Lantas, setelah melihat wajah anaknya yang telah menetas, makin beratlah Iswari melepaskan bayi yang akhirnya diberi nama Ki Baya itu.
Tujuh hari setelahnya Bagaswara banyak merenung. Karena tidak tega memisahkan ibu dan anak, ia pun memutuskan kembali ke kerajaannya seorang diri. Hal tersebut justru membuat Iswari iba. Ia akhirnya merelakan Ki Baya dibawa serta.
***
“Sejak berhasil mengalahkan siluman ular, Ki Baya selalu bertemu dengan Nini Iswari tiap malam Jumat Legi. Pernah Nini Iswari tidak datang. Saat itu, ia baru menikah lagi, dengan manusia. Neng tahu apa yang terjadi?” Aku mencondongkan tubuh ke arah Tini.
Tini segera menggeleng.
“Ki Baya mengamuk, membunuh banyak laki-laki. Nini Iswari tidak berani lagi mangkir menemui Ki Baya. Kebiasaan itu diteruskan oleh keturunan yang mirip dengan Nini Iswari.”
Tini mengerjap-ngerjap. “Jadi, Eneng gak akan mati? Gak akan dimakan Ki Baya?”
Aku menggeleng sambil tersenyum.
Tini lalu menatapku dan tubuh si kopral bergantian. Mendadak, ketakutan tampak di matanya. Ia pun melihat kedua telapak tangannya yang gemetar dan berlumur darah. “Neng udah …,” ucapannya berhenti, berganti tangisan.
Aku menghela napas panjang, lalu berpikir sejenak. “Pulanglah! Biar kopral itu Ki Baya yang mengurus,” kataku kemudian. Kuusap punggung gadis itu dengan lembut. Sebelum Tini beranjak, aku kembali berucap, “Sampai di rumah, segera bakar bajumu. Dan berpura-puralah gila untuk sementara.”
Esoknya, kampung geger dengan berita: Ki Baya memakan Kopral Hendro. Celana lorengnya ditemukan di pinggir kali. Compang-camping, juga penuh darah.
Aku sendiri hanya diam di rumah, membuka telinga lebar-lebar tentang apa yang akan dilakukan oleh para lelaki berbaju loreng. Tapi, tidak ada yang terjadi. Baik padaku atau Tini. Sepertinya mereka sudah mengenal Ki Baya dengan baik.***
Bekasi, 25 Maret 2023
Ilke Kara, nama pena dari seorang wanita yang telanjur jatuh cinta pada karya fiksi.
Komentar juri:
Saya suka cerita misteri yang ditulis dengan baik, seperti dalam cerpen ini. Misteri dalam cerita ini dikupas sedikit demi sedikit ke pembaca dan setiap kali informasi baru dibeberkan, ia berhasil menyeret pembaca ke jalan lain dan kemungkinan-kemungkinan baru. Alurnya berliku-liku tapi masih berkaitan erat, dan konklusinya—apa sebenarnya hubungan tokoh dan Ki Baya—tidak terduga.
—Berry Budiman