Ibu yang Terkurung Rindu
Penulis: Diana Key
Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu-tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu.
Aku susah payah mengatakan pada Ibu, tak ada guna menunggu Abang pulang. Angin sudah pula mengabarkan bahwa anak lelaki itu tak akan kembali pulang. Ibu terkurung dalam dunia rindu. Rindu pada anak sulungnya.
Lahan persawahan yang tampak hijau, terbentang luas di sebelah kiri rumahku. Sejak kecil, aku sudah terbiasa melihat para penggarap sawah berjalan beriringan melintas di depan rumah. Tak terkecuali Bapak. Bergegas bangun di waktu sahar, bersiap jamaah salat subuh di musala kampung, lalu berangkat memanggul cangkul menuju sawah warisan dari nenek Bapak.
Ibu sudah bangun terlebih dulu untuk menyiapkan bekal buat Bapak. Rebusan singkong atau ubi jalar, seplastik kopi panas, dan sebotol air putih. Dengan takzim Ibu akan mencium punggung tangan Bapak, lalu mengulurkan tempat bekal yang dibungkus dengan kain serbet motif kotak-kotak. Senyum Ibu selalu mengiringi langkah Bapak menjauh dari pintu rumah. Kemudian aku anak mendapati Ibu asyik membaca buku ditemani secangkir teh sambil menunggu kedua anaknya bersiap berangkat sekolah.
Abang selalu saja bangun paling akhir. Padahal, Bapak selalu memanggil-manggil sejak azan belum berkumandang, tapi selalu saja dia bebal. Hanya berubah posisi tidur, dari telentang menjadi tengkurap, atau sebaliknya. Jangankan suara Bapak yang tergolong orang sabar dan berperilaku lembut, jam weker melengking di sebelah telinga pun, tak mampu membuat Abang terbangun. Entah, terbuat dari apa telinganya.
Bapak, lelaki penyabar itu, hanya bisa menggeleng sambil mengucap istigfar. Persis seperti waktu kedatangan beberapa aparat desa. Mereka berbicara pelan, tapi terasa sebagai beban. Berulang kali Bapak hanya menghela napas, seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi urung. Seseorang yang berkumis tebal dan duduk persis di depan Bapak berdehem.
“Sampai kapan pun, saya ndak bakal mau menjual sawah keluarga. Itu satu-satunya sumber kehidupan kami. Saudagar tambak udang ndak bakal kehabisan uang. Tapi kami? Apa yang akan kami garap kalau uang itu habis dan sudah ndak ada sawah?”
Malam harinya, Ibu duduk berdua dengan Bapak. Secangkir kopi dan sepiring ubi jalar rebus dibiarkan saja hingga hampir dingin. Aku pura-pura memegang buku agar dikira belajar, padahal tahu kalau keduanya sedang berpikir keras tentang kedatangan tamu aparat desa siang itu.
Ibu membujuk Bapak agar mau berdamai dengan keinginan Pak Kades yang akan mengganti sawah keluarga dengan segepok uang, demi pembangunan tambak udang. Ibu khawatir terjadi apa-apa jika tak mengikuti kemauan Pak Kades. Tak hanya sekali pemimpin rakyat itu bertindak tegas jika berhubungan dengan yang namanya pembangunan. Alasannya, untuk kemajuan desa. Tamu-tamu tadi siang itu juga sudah beberapa kali datang, tapi selalu membawa pulang kekecewaan. Bapak bergeming. Sesaat kemudian terdengar beberapa suara lelaki di halaman samping rumah.
Bapak menoleh pada Ibu, mendekatkan telunjuk di bibir. Aku menutup buku pelan. Terdengar langkah beberapa kaki tersaruk-saruk. Bapak bangkit dari kursi, mengintip di kusen jendela. Sepi.
Namun, sedetik berikutnya Bapak melangkah dengan tergesa keluar rumah. Ibu hanya diam membisu. Firasatku tengah terjadi sesuatu. Aku melangkah ke kamar Abang. Dia tak ada di sana.
Aku duduk mendampingi Ibu yang mulai mengusap-usap wajah yang basah. Matanya menatap lurus ke arah halaman depan, seolah berharap akan melihat kedatangan Bapak. Aku merangkulnya, mencoba berbagi ketenangan meski hati juga waswas.
Apa yang terjadi dengan Bapak? Siapa mereka yang ada di luar rumah tadi?
Setengah jam kemudian, kentungan berbunyi di kejauhan. Lambat laun suaranya mendekat, diiringi derap langkah beberapa orang. Gaduh. Mereka saling memberi perintah, agar tubuh yang sedang dibopong tidak terjatuh. Kulihat Bapak di antara mereka yang mengangkat tubuh lunglai itu. Ibu ambruk. Tanpa menjerit histeris.
Kini, Ibu terkulai di kursi seperti orang mati. Pintu, jendela, televisi, telepon, perabotan, buku, cangkir teh, dan lain-lain masih seperti dulu-tetapi waktu telah berlalu sepuluh tahun. Tinggal Ibu kini di ruang keluarga itu, masih terkulai seperti sepuluh tahun yang lalu. Rambut, wajah, dan busananya bagai menunjuk keberadaan waktu(*)
Lumajang, 06 Desember 2022
Editor: Lutfi Rosidah
Diana Key, tinggal di Lumajang. Suka menikmati kopi dan membaca novel.