PENJEMPUTAN

PENJEMPUTAN

Penjemputan

Oleh : Annisa

 

Tugasku tidak pernah berakhir. Selalu saja ada manusia yang harus kujemput lalu kuantar kepergiannya. Namun, hari ini aku tidak terlalu sibuk. Aku masih punya waktu lima menit untuk mengamati orang-orang di dalam ruangan ini. Sebuah ruangan yang jarang sekali tanpa penghuni.

 

Ada empat ranjang di dalam sini. Ranjang sebelah kanan ditiduri oleh seorang bayi perempuan berusia delapan bulan. Ia terkulai lemas. Napas yang sebelumnya terdengar terputus-putus, berangsur normal. Selang oksigen yang terpasang di hidung mungilnya seolah-olah telah membantu anak itu mendapat suplai oksigen dengan baik.

 

Tepat di samping anak itu, seorang wanita belum melepaskan genggamannya sedikit pun. Wajahnya tampak sembap. Air mata masih saja bercucuran. Beberapa kali ia menyeka hidungnya yang dipenuhi ingus. Berkali-kali juga ia memijat pelipisnya. Sekitar sepuluh menit yang lalu, wanita yang rambutnya berantakan itu meraung-raung karena ditegur perawat dengan sinis. Ia dianggap menghalangi pemeriksaan putrinya. Saat itu, lima perawat sibuk mencari urat nadi anaknya untuk dipasang selang infus dan wanita itu tidak sengaja menutupi lampu yang menyoroti ranjang sang putri yang tengah dalam kondisi kejang.

 

“Saya ini ibunya! Saya hanya ingin melihat anak saya,” teriaknya tadi. Untungnya ada lelaki bertubuh kekar yang bisa menahannya agar tidak terlalu liar. Lelaki itu kini tidak terlihat, ia pergi sesaat setelah nama putrinya dikumandangkan melalui mikrofon oleh seseorang yang entah berada di mana.

 

Kemudian, pandangan kugeser sedikit. Di ranjang sebelah bayi perempuan itu, terbaring seorang bayi laki-laki yang tampak ringkih. Ia masih mengenakan bedong, kain yang biasa digunakan oleh bayi yang baru lahir. Namun, kain itu tidak dililitkan di tubuhnya dengan erat, sehingga aku dapat melihat kakinya yang mungil. Di perut bagian bawah yang tidak tertutup baju, tampak sebuah lubang yang kadang-kadang dialiri  cairan sehingga wanita tua yang menemaninya harus melapnya menggunakan kain kasa. Wanita yang telah dipenuhi kerutan di wajahnya itu tampak telaten mengurus bayi yang merupakan cucunya itu. Aku tahu setelah mendengarnya bercerita. Ia juga mengatakan bahwa anaknya, ibu si bayi masih tidak berdaya pasca persalinan sehingga ialah yang mengambil alih tanggung jawab selama bayi itu berada di rumah sakit. Berbeda dengan wanita sebelumnya, wanita tua itu tampak lebih tegar. Tidak terlihat bekas air mata sedikit pun di wajahnya.

 

“Bentar lagi Dedek bisa berak, ya,” bisik wanita itu kepada cucunya.

 

Tiba-tiba, suara brankar yang didorong membuatku sejenak berpaling dari orang-orang itu. Aku menatap ke arah pintu yang terbuka, lalu mendapati brankar dengan pasien yang tengah berteriak histeris. Di belakang mereka, tampak sesosok makhluk yang mengenakan jubah hitam. Saat mata kami beradu, ia menyeringai hingga gigi taringnya terlihat. Sebenarnya kami adalah teman, kami pun berasal dari elemen yang sama. Namun, penampilan kami disesuaikan dengan jenis manusia yang akan dijemput. Sekarang, aku mengenakan jubah putih. Besok, bisa saja berbeda.

 

“Ah, dia. Sudah kuduga.” Aku bergumam. Tidak kusangka, di tengah kesibukannya, ia menyempatkan diri untuk menghampiriku. Sontak, dua dari tiga bayi itu mulai merengek.

 

“Mengapa kau kemari?” tanyaku.

 

“Apa aku tidak boleh melihat-lihat? Lagi pula waktunya masih cukup lama,” katanya datar.

 

“Dia masih mau mempermainkannya,” katanya lagi sambil mengangkat telunjuknya. Ia menengadah.

 

“Seorang pendosa?”

 

“Pelaku begal yang ditembak kakinya karena hendak melarikan diri saat bertemu polisi,” jawabnya diiringi seringai.

 

Kemudian, ia memerhatikan bayi-bayi itu dengan saksama. Namun, yang ia kritisi justru satu bayi yang masih terlelap, bayi itu seolah-olah tidak terusik dengan kedatangannya. Ia adalah satu-satunya bayi yang ditemani seorang laki-laki. Lelaki yang sebelumnya bertukar cerita dengan nenek dari bayi yang perutnya tampak berlubang. Tadi, obrolan mereka berjalan dengan lancar, walaupun keduanya terhalang ranjang kosong.

 

Kini, lelaki itu bergeming. Sorot matanya begitu sendu. Beberapa kali aku mendengar helaan napasnya. Dari cerita yang kucuri dengar, putranya itu tidak tumbuh. Bayi yang berusia hampir dua tahun itu bahkan berukuran lebih kecil dibanding bayi perempuan yang tadi kejang.

 

“Apa yang dipikirkan laki-laki itu?” tanya temanku yang masih berdiri di sampingku. Ia melipat tangannya di dada.

 

“Aku bukan Dia yang bisa mendengar sampai ke dalam hati manusia,” kataku dengan penegasan. Ia pun tertawa dengan kuat.

 

“Hentikan! Lebih baik kau pergi! Buatlah pembegal itu diam. Ia sangat berisik.” Aku berkata dengan penekanan. Ya, teriakan manusia yang hendak dijemput temanku itu masih terdengar memekakkan telinga. “Pergilah, jangan sampai bayi perempuan itu kembali kejang karena melihat rupamu yang mengerikan,” ucapku lagi. Ia pun terkekeh ketika mendengarnya. Lantas, ia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

 

Kini, aku harus kembali fokus. Dalam hitungan detik, salah satu dari bayi itu harus dijemput dan diantar ke tempat yang lebih baik.(*)

 

Lampung, 26 November 2022

 

 

Annisa adalah seorang ibu dari tiga anak yang masih semangat belajar menulis.

 

Editor: Inu Yana

 

Sumber gambar: Pinterest

Leave a Reply