Sebuah Rencana untuk Berhenti
Oleh: Retno Ka
Agus dan Rinjani memiliki satu rutinitas ketika sore hari mengetuk rumah mereka. Mereka akan duduk di beranda rumah setelah sebelumnya sibuk membuat jus buah keinginan masing-masing. Jus itu diletakkan di meja besi bundar dan mereka akan meminumnya pelan-pelan seraya menikmati pemandangan yang ada di hadapan. Bukan bukit pepohonan atau hamparan laut lepas yang akan tampak memukau dengan bias senja di atasnya, melainkan sebatas jalanan yang panjang, yang pada puncak pukul lima, kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang akan semakin padat oleh bubaran pekerja pabrik. Terbilang sejak tiga tahun ke belakang, pabrik sepatu dan tekstil mulai menyesaki kota yang mulanya sehening air kolam itu. Seakan menunjukkan kepada mereka, seonggok kota saja bisa beranak-pinak.
Agus berdeham kecil, melirik Rinjani yang kaku menatap jalanan. Apakah perempuan itu sedang menghitung jumlah kendaraan yang lewat atau sedang mengurai benang-benang kusut yang bertengger di kepalanya, Agus tidak tahu. Beberapa minggu terakhir, Agus sama sekali tidak bisa menebak isi hati Rinjani. Padahal selama tujuh tahun, ia tak pernah kesulitan. Seperti tiba-tiba ingin tidur di ruang tamu padahal biasanya susah tidur selain di kamar. Lalu, berkutat di dapur sampai dua jam, tapi ketika masakan sudah siap ia tak mau memakannya. Bahkan, melarang Agus untuk menyantapnya meski satu sendok.
“Kita makan di luar saja,” ujar Rinjani waktu itu, dengan air muka tanpa dosa.
“Mana boleh?”
“Boleh, ini kasihkan ke tetangga saja.”
Kemarin lalu juga sama anehnya, setelah adegan bengong seperti sekarang, tiba-tiba Rinjani menjatuhkan gelas jus yang dipegangnya. Saat Agus bertanya kenapa dengan jantung berdebar karena kaget, Rinjani hanya tersenyum dan berdiri dengan ketenangan yang mengagumkan.
“Biar aku ambil sapu sama pengki,” kata Rinjani, seolah-olah ia hendak membereskan kesalahan orang lain. Padahal, Agus melihat secara jelas kalau Rinjani melakukannya dengan sengaja.
***
Rinjani tampak menggapai jus alpukat miliknya. Hati Agus berdegup, takut kalau-kalau Rinjani menjatuhkannya lagi atau malah membantingnya. Namun, tidak. Agus menghela napas lega. Ia ikut meminum jus jambu miliknya. Kemudian, ia memutar otak. Mencari topik pembicaraan. Awal-awal dulu, sebelum pembahasan dalam setiap obrolan mereka didominasi oleh gaya hidup dan menu-menu makanan sehat anjuran dokter, mereka adalah dua makhluk heboh yang senang memperdebatkan segala hal. Dunia politik, selebriti, astronomi, geografi. Apa saja. Rinjani yang paling bersemangat biasanya. Tidak mau kalah argumen. Setiap kali Agus mengatakan apa, hampir selalu disanggah. Terkadang, kentara betul sanggahan itu tak berdasar. Tapi Rinjani tetap ngotot sampai Agus akhirnya menyerah.
Entah di tahun ke berapa persisnya, kehidupan mereka jadi lurus dan serba teratur. Tidak ada lagi Agus yang abai pada pola tidur, dan Rinjani yang mudah terganggu dengan hal-hal kecil yang seharusnya tak penting seperti warna sisir yang terlalu mencolok. Tiba-tiba, Agus merindukan sosok Rinjani yang dulu.
Agus memutar otak. Mencari topik pembicaraan yang bisa memantik jiwa pendebat Rinjani.
“Menurutmu, apa sebaiknya di perempatan itu diberi lampu merah?” tanya Agus sambil menunjuk ke arah depan.
“Boleh,” hanya begitu jawaban Rinjani. Tak seperti yang diharapkan. Agus pun kembali mencoba.
Ia melihat tetangganya di tengah perempatan, sedang mengatur kesemrawutan dengan peluit yang dikalungkan di lehernya. Beberapa pengendara yang merasa terbantu akan memberinya uang seribu dua ribu.
“Tapi bagaimana ya, dengan Pak Rahmat kalau sudah ada lampu merah? Tidak bisa lagi dapat peruntungan,” ujar Agus.
“Iya, kasihan,” timpal Rinjani.
“Ah, Pak Rahmat kan bisa dapat uang dari berjualan di depan sekolah dasar seperti biasa.”
“Oh, iya.”
“Tapi yang membuat heran sebenarnya pemerintah setempat. Mereka —” ucapan Agus terhenti, Rinjani memotongnya.
“Mas ….”
“Oh, ya, Jan?”
“Bisakah kita berhenti?”
“Berhenti?” Sejenak Agus terdiam. “Oke. Aku tak akan ngomongin lampu merah lagi,” lanjutnya.
“Bukan itu.”
Agus mengerutkan dahi. Rinjani memutar arah duduknya menghadap Agus. Mereka bertatapan, dan sunyi langsung mengisi udara. Agus menyadari mata Rinjani yang berkaca-kaca. Dan ia menebak-nebak ke mana arah pembicaraan Rinjani. Lama sekali.
“Apa kamu lelah, Jan?” tanya Agus dengan hati-hati.
Rinjani menggeleng. Agus tambah bingung. Kalau tidak lelah kenapa ingin berhenti. Dan apa maksud berhenti itu? Berhenti membicarakan apa yang bukan urusan mereka, atau berhenti, dari hubungan yang dibangun dengan mati-matian? Banyak hal yang ingin Agus pastikan, tapi ia gagu dan takut.
“Lalu?” Hanya itu yang keluar dari mulut Agus akhirnya.
“Saat sedang lomba lari, kita tidak berhenti hanya saat lelah, bisa juga karena waktunya sudah habis, Mas.”
Agus menaikkan satu alisnya. Sejak kapan Rinjani jadi filosofis begitu?
“Bukannya, meski waktunya sudah habis, kalau belum sampai garis finis kita harus tetap lari?”
“Bagaimana jika sebenarnya kita sudah sampai garis finis?”
“Tapi kita masih hidup dan bugar.”
“Apa garis finis kita kematian?”
Tiiit ….
Terdengar bunyi klakson yang nyaring dan panjang. Agus menggapai jusnya dan meminumnya hingga tandas. Kini ia mengerti maksud Rinjani. Rupanya tidak berkaitan dengan perpisahan yang ia takutkan, tetapi tentang apa yang mereka usahakan selama ini. Rinjani ingin berhenti dari itu.
“Baiklah, Jan. Tapi apa rencanamu?”
“Kita … bisa memulainya dengan sesekali minum kopi saat sore begini. Memangnya Mas tidak bosan minum jus setiap hari?”
“Bosan, sih.”
Rinjani terkekeh mendengarnya. Agus pun ikut tertawa sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Itu saja, Jan?”
“Jalan-jalan ke luar negeri mungkin?”
“Wah, kalau itu kita harus menabung dulu.” Agus menyeringai. Ia cukup senang mendapati wajah Rinjani yang berseri-seri.
“Kita memang punya tabungan,” kata Rinjani.
Agus memberi jeda sebelum menjawab lagi.
“Mau pakai uang itu? Padahal tinggal sedikit lagi bisa buat memulai program.”
“Sedikit lagi itu sama dengan lima tahunan lagi. Berapa umurku saat itu, ya?” Rinjani terkekeh.
“Iya, sih. Ya sudah. Tapi apa aku juga boleh melakukan apa pun yang kusuka?”
“Apa itu?”
“Mengasuh kucing.”
“Kamu sudah berjanji tidak akan membahas ini.”
“Kapan itu? Aku hanya menuruti dokter selama ini. Lagipula, cuma seekor, loh.”
Rinjani menggebrak pegangan kursinya, lalu berdiri dan masuk rumah setelah berkata penuh penekanan.
“Dari seekor bisa jadi dua, lima, sepuluh. Intinya, tidak ada kucing. Titik.”
Agus tersentak. Kalah telak. Rinjani yang dulu, sepertinya telah benar-benar kembali, batin Agus sambil menatap dua gelas yang telah kosong.
(*)
Jepara, 18 November 2022.
Retno Ka. Ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay