Cincin yang Serupa

Cincin yang Serupa

 

Cincin yang Serupa

 

Oleh: Indhalone

Siang itu cuaca begitu terik. Sinar matahari menembus kulitku hingga membuatnya kemerah-merahan. Di sudut Kafe Barista aku menunggu kekasih yang sangat kucintai Kami sering makan siang bersama di sela kesibukan bekerja, dan kafe ini adalah tempat favorit kami.

 

Satu jam, dua jam, dia tak kunjung datang. Kutelepon pun ponselnya tidak aktif. Aku mulai khawatir karena dia tak memberi kabar hingga akhirnya aku pustuskan untuk berlalu dari kafe. Jam istirahat pun telah usai begitu saja tanpa ada kehadirannya.

 

Entah mengapa aku hanya ingin berjalan kaki untuk kembali ke kantor. Kafe dan kantorku hanya berjarak beberapa meter, bersebelahan blok saja. Namun, saat aku sedang berjalan santai menuju kantor. Aku melihat sepasang orang yang sangat aku kenal.  Kristi dan Ryan, kekasih dan sahabatku. Mereka berdua baru saja keluar dari Wisma Anoa Sontak aku tak percaya melihat pemandangan yang terjadi di depan mata. Sepertinya mereka ada proyek bersama hingga harus meeting di wisma tersebut batinku berusaha untuk berpikir positif.

 

Aku bersembunyi di sela-sela ruko agar tak terlihat oleh mereka berdua. Mereka tertawa dan Ryan mengelus mesra kepala Kristi, pemandangan yang membuat aku cemburu. 

 

Aku gegas mengambil ponsel dan menghubungi kekasihku itu. Akhirnya ponsel Ryan aktif setelah berjam-jam tak bisa dihubungi. Mungkin pemandangan yang aku lihat ini alasan ponselnya tidak aktif. 

 

“Sayang! Kamu di mana?” ucapku di telepon. 

 

“Maaf, Sayang, lagi meeting di Bav dengan CEO-nya.  Ponselku kehabisan baterai jadi tidak bisa menghubungimu, ini baru aktif,” terangnya. 

 

“Ohh … di perusahaan Bav, apa CEO-nya wanita?” tanyaku dengan menahan amarah karena dia jelas berbohong. 

 

“Ha-ha-ha, prialah, Sayang! Udah, ah, jangan suka cemburu gitu, dong. Sebentar lagi kita akan menikah lho,” bujuk Ryan. 

 

“Bercanda, kok! Ok. Sampai ketemu di rumah sebentar malam.”

 

“Baiklah, Sayang! Miss you.” Ryan mematikan ponselnya dan mencium kening Kristi sembari lalu menuju mobilnya. 

 

Sial! Mereka bermain di belakangku. Kusandarkan diri di tembok ruko tempat kubersembunyi beberapa menit. Menenangkan diri melihat kelakuan mereka di belakang.

 

“Dia sudah berkhianat, ingkar dengan janji untuk selalu mencintaiku. Haruskah pernikahan ini diteruskan? Jika tetap dilanjutkan apa mereka tetap menusukku dari belakang?” batinku.

 

Aku pun tiba di kantor setelah bergejolak dengan diri sendiri di sepanjang jalan. Melihat dan bertemu dengan Kristi di kantor seperti ada bom atom yang hendak meledak dari diri ini. Setelah kembali dari makan siang, aku menuju ruanganku. Terlihat Kristi hendak menyapa tetapi aku abaikan dengan berpura-pura menerima telepon. 

 

*

 

Suara piring terdengar nyaring di telinga. Ryan memecahkan piring yang sedari tadi kusiapkan untuk makan malam. 

 

“Sayang! Itu daging steak ternikmat yang aku hidangkan untukmu. Kau tak menghargai niat baikku,” ucapku tenang sembari mengiris daging steak. 

 

“Kau gila! Kau gila, Leni! Kenapa bisa kau dengan tenang memakan daging itu,” bantah Ryan. 

 

Ryan ke westafel untuk memuntahkan daging yang sempat dimakannya setelah aku memberi tahu jika dagingnya kudapat dari pemberian Kristi. Sayangnya saat mau mengambil es, dia melihat isi freezer yang lupa aku gembok.  

 

“Katakan! Freezer itu. Dia Kristi, kan!” 

 

Sssttt … kau membuatku muak, Ryan! Kenapa? Kau jijik memakan pangkal pahanya? Bukankah kau menikmatinya di wisma?”

 

Ryan tak berkutik setelah mendengar ucapanku sembari memukul meja dan menggertaknya. 

 

“Kau mengkhianatiku dengan sahabatku, lalu kenapa aku tidak bisa melakukan apa yang aku mau?” 

 

“Sinting! Kau sinting!” Ryan hendak keluar dari rumahku. 

 

Aku meraih pisau di atas meja kemudian hendak mendaratkan ke pergelangan tanganku sendiri. Namun, sayangnya tanganku tak teriris hingga aku teriak frustasi. Ryan berbalik ke arahku, dia pun mengambil pisau itu dengan luka yang tercipta akibat berebutan pisau. Aku pun menyerah karena kekuatannya tak sepadan dengan kekuatanku. 

 

“Leni, sadarlah! Sadarlah, maafkan aku karena telah ingkar. Maafkan aku, Leni,” ucap Ryan sembari memeluk dan menenangkanku. 

 

“Saat aku mengantar pulang Kristi, dia memamerkan cincin berlian yang diberi kekasihnya padaku. Cincin itu mirip dengan cincin yang kau berikan untukku. Dengan bangga di dalam mobil dia menceritakan kisahnya bercinta, bahkan prianya selalu memuji dan lebih menyukai pangkal pahanya daripada milik tunangannya. Dengan polosnya aku menasehati dia tentang jalan yang dia pilih itu salah, tapi dia malah mengucapkan akan merebut semua yang seharusnya menjadi miliknya. Hingga akhirnya aku melihat kalian di depan wisma dan kau! Kau berbohong padauk!” ucapku dengan amarah yang membuncah. 

 

“Ya Tuhan! Leni, maafkan aku, aku tak tahu jika Kristi bercerita semuanya padamu, maafkan aku, Leni! Kumohon, sadarlah,” bujuk Ryan. 

 

“Tanpa pikir panjang, aku beralasan untuk mampir ke rumah dulu sebelum aku mengantarnya.” Ketika sampai di rumah, dia duduk di sofa itu dan mengatakan semuanya.

 

Aku menepis semua perkataannya hingga dia menunjukkan bekas kissmark di pangkalnya. Ahhhh! Hatiku hancur, berengsek! Kuambil pisau di dapur lalu menusuk pahanya, ya bekas ciumanmu kuiris kemudian dia tertatih, merangkak dan aku menginjak punggungnya kepalanya aku benturkan berkali-kali di lantai hingga darah keluar. Kubalikkan tubuhnya lalu kutusuk perut, jantung, dan dadanya seperti lambang segetiga dan kubiarkan ususnya berurai dengan darah yang mengalir seperti air. “Oh, ya, pangkal paha yang kau suka aku ambil kemudian kusteam untuk membuatkan steak medium kesukaanmu. Bukankah kau menyukai pangkal pahanya? Bukankah kau menyukai steak? Lalu, kenapa kau menyalahkanku tentang apa yang kalian lakukan padaku, Hah!!! Cincin yang serupa dengan milikku sebagai kenangan terakhir untukmu, Ryan.” Aku bercerita dengan histeris tentu saja Ryan lebih terkejut atas kelakuanku yang memberikannya jari manis Kristi. 

 

Sewaktu aku tantrum dan bercerita mungkin Ryan memanggil polisi karena aku mendengar suara sirine memasuki pekarangan rumahku dan melihat dari balik jendela ada sebuah mobil ambulance. Aku pun kelimpungan, Ryan menangkapku dengan pelukannya sembari berbisik.

 

“Maafkan aku, Leni! Maafkan aku.”

 

Aku tetap memberontak, hanya itu yang aku dengar darinya sebelum petugas medis itu menyuntikkan sesuatu di tubuhku agar aku tenang. 

 

Makassar, 06 Oktober 2022

 

Bionarasi

 

Tidak ada yang istimewa dari penulis keturunan Kudus-Makassar ini. Jika ingin lebih mengenalnya silakan add dia di Sosmed yang dia miliki dengan nama yang serupa. Instagram, Facebook, Twitter, dan TikTok, dengan nama Indhalone

Editor: LutfiRose & Zuyaa

 

Leave a Reply