Penggali Pasir
Oleh: Sri W (Ummu Faqih)
Hujan deras semalam suntuk membuat Warso tersenyum dalam tidurnya. Dingin yang menusuk membuatnya semakin mengeratkan pelukannya ke tubuh istrinya. Tini, wanita yang dinikahinya hampir sepuluh tahun lalu itu kini telah memberinya dua orang anak lelaki yang lucu-lucu. Sungai pastilah banjir dan banyak pasirnya. Banjir merupakan berkah tersendiri bagi Warso dan keluarganya. Jika besok dia dapat banyak pasir, artinya rupiah yang akan dia dapat lebih banyak dari pada biasanya.
Pagi hari selepas bangun tidur, Tini sudah menyiapkan secangkir kopi dan sepiring ketela rebus yang masih mengepul. Kemarin sore dia mencabut sebatang ketela pohon dari pinggir sungai, lumayan isinya banyak dan besar-besar. Tanah pinggir sungai memang terkenal subur, padahal dia hanya sembarang menancapkan potongan batang ketela yang dia bawa dari kebun rumahnya beberapa bulan lalu.
“Kang, ke sungainya barengan ya, aku mau tanam kangkung lagi. Banyak yang suka kangkung yang aku bawa kemarin.”
Warso yang sedang menyeruput kopi mengangguk. Beruntungnya dia mempunyai istri seperti Tini yang mau diajak hidup susah. Kebanyakan perempuan sekarang, ah, sudahlah.
“Lumayanlah, Kang. Bisa aku tukar tempe di warung Pak Sam.”
Warso hanya mengangguk-angguk, mulutnya penuh dengan ketela hangat yang disediakan istrinya tadi. Tini tersenyum, melanjutkan kegiatannya memasukkan nasi ke dalam rantang untuk bekal makan siang suaminya nanti di sungai.
“Anak-anak belum bangun, Bune?” tanya Warso yang belum melihat kedua anak lelakinya.
“Belum, masih nyenyak tidur mereka.”
“Kalau kamu ikut ke sungai mereka sama siapa?”
“Rencana mau kutitip sama Bulek Surti, nanti pulang biar kubawakan kangkung seikat.”
Warso memang mewanti-wanti supaya anak-anak jangan boleh main ke sungai. Bahaya. Sungai sekarang dan zaman dulu berbeda. Zaman kecilnya dulu, anak-anak bebas main ke sungai karena sungai masih terjaga dan masih ramai, banyak orang yang mandi dan mencuci di sungai.
Tapi sekarang, orang-orang tidak pernah lagi ke sungai, karena setiap rumah sudah dialiri air dari PDAM. Sungai jadi sepi. Akan tetapi, tak masalah bagi Warso, dia dan kawan-kawannya semakin tenang menggali pasir. Karena para penggali pasir seperti dia dan kawan-lawannya sungai menjadi rusak, banyak lubang-lubang dalam di dasar sungai. Ditambah lagi jalan menuju sungai juga ikut rusak karena sering dilewati truk pasir.
Semakin jarang anak-anak yang main ke sungai, karena dimarahi oleh orang tua mereka. Anak-anak ditakut-takuti dengan cerita Wewe Gombel yang akan menyeret anak nakal ke rumahnya di dasar sungai. Padahal Warso dan teman-temannya lah yang membuat rumah-rumah Wewe Gombel itu.
Anak-anak Warso sudah bangun, Tini menyuapi mereka lalu setelahnya menitipkan pada Bulek Surti yang tinggal di sebelah rumahnya.
“Jidan sama Rama main di rumah Mbah Surti ya, Bune mau tanam kangkung sama Bapak. Tidak boleh nakal, ya!”
Kedua bocah itu mengangguk, menurut ketika digandeng ibunya ke rumah sebelah.
Tini dan Warso berangkat bersama ke sungai yang tidak terlalu jauh dari rumahnya. Rumah Warso adalah rumah paling pinggir. Di sebelahnya ada kebun tebu, lalu kandang sapi punya juragan Darno, kebun lagi, baru jalan turunan ke sungai. Hebatnya lagi, selama ini meskipun sungai banjir besar tidak pernah sampai ke rumah warga karena selain bentang sungai yang lebar, di samping kanan kirinya ada jurang yang lumayan tinggi.
Sesampainya di sungai, Warso melepas baju dan celananya, menyisakan boxer-nya saja. Berjalan ke tengah sungai sambil membawa keranjang untuk mengangkut pasir ke tepi.
Tini pun mulai bekerja juga, memotong batang kangkung yang tua lalu menancapkannya di tempat yang baru.
Semula kangkungnya hanya beberapa lajur, hari ini dia tambah satu lajur lagi. Lumayan menguras tenaga, karena batang batang kangkung yang barusan ditancapkan harus diberi batu-batu sebagai pemberat agar tidak terbawa arus sungai. Sebelum pulang, tidak lupa dia memetik seikat kangkung untuk buleknya.
Sesampainya di rumah, Tini sibuk di dapur tidak langsung menemui anak-anaknya. Kangkung untuk buleknya dia letakkan di meja makan.
“Tin, Tini ….” Terdengar panggilan buleknya.
“Iya, Bulek, ada apa?” jawab Tini sambil mencari sumber suara, meninggalkan panci dan piring kotor yang belum selesai dia cuci.
“Jidan sama Rama ada di dalam, kan?” Buleknya tergopoh-gopoh mencari kedua anaknya. Tini mulai ikut panik.
“Bukannya sama Bulek?”
“Tadi main sambil lihat tv, tak tinggal ke belakang karena aku mules. Pas ke depan mereka sudah gak ada.”
Firasat Tini mulai tidak enak, jangan-jangan mereka menyusul ke sungai.
“Bulek cari ke rumah tetangga ya, aku ke sungai, siapa tahu mereka nyusul ke sungai.”
Bulek Surti mengangguk, kedua wanita beda usia itu bergegas mencari dua bocah yang berusia enam dan empat tahun itu. Tini setengah berlari menuju sungai, karena jalanan menurun dan rusak, dia harus berhati-hati jika tidak ingin terjungkal. Berharap firasatnya salah, semoga kedua anaknya tidak menyusulnya ke sungai.
“Warso! Sepertinya itu anak-anakmu,” teriak Pardi dari pinggir sungai. Warso yang masih di tengah sungai menoleh ke sumber suara.
“Itu, sepertinya Jidan sama Rama, anakmu.” Tangan Pardi menunjuk arah barat, ke sungai bagian atas. Kedua bocah itu terlihat bergandengan berjalan menuju tengah sungai.
Kedua mata Warso terbelalak, benar itu anak-anaknya. Dia melempar keranjang pasir yang semula dia panggul di pundaknya, berusaha segera keluar dari air. Dia berteriak sekuat tenaga memanggil nama kedua anaknya.
“Jidaaaan, Ramaaa jangan ketengah. Bahayaaaa!”
Kedua bocah itu menoleh, tetapi tidak menyadari bahaya yang mengintai mereka. Mereka berjalan bergandengan tertawa-tawa, tidak ke pinggir tapi malah semakin ke tengah. Pardi dan teman sesama penggali yang ada di tepi sungai berlari lebih dulu tapi mereka terlambat. Kedua bocah itu terperosok ke lubang bekas galian, tangan-tangan kecil mereka menggapai-gapai permukaan sungai. Kepala kedua bocah itu timbul tenggelam, dalam hitungan detik sudah tidak terlihat lagi. Pardi yang sampai lebih dulu segera menyelam. Air sungai yang keruh bekas banjir semalam menyulitkannya mencari kedua bocah itu.
Warso histeris. Tini yang mendengar ada keributan di sungai perasaannya semakin tak karuan. Pardi berhasil menemukan Rama, lalu segera membawanya ke tepi, tapi bocah itu sudah tidak bernapas. Yono yang datang kemudian, bergantian menyelam mencari Jidan, tidak lama kemudian bocah itu juga berhasil ditemukan.
Tini meraung mendapati kedua anaknya sudah tak bernapas. Warsa linglung, pandangannya kosong menatap kedua anaknya yang terbaring sudah tidak bernyawa.
Lor Lawang, 14 Agustus 2022
Ummu Faqih adalah emaknya Faqih. Si penyuka hujan dan gorengan.
Editor: Syifa Aimbine