Nasib Anak Burung (Terbaik ke-12 LCL)

Nasib Anak Burung (Terbaik ke-12 LCL)

Nasib Anak Burung

Oleh: L

Terbaik ke-12 Lomba Cermin Lokit

Pilihan Gambar: Gambar 6

#Menerjemahkan_Gambar

 

Kupikir, menghabiskan waktu liburan di desa Kakek adalah ide yang buruk. Namun, menolak titah ratu di rumah ini tentu saja bukan pilihan yang baik. Aku khawatir namaku akan dicoret dari Kartu Keluarga jika aku membantah kata-kata Bunda.

“Bunda sudah nyiapin pakaian dan barang-barang yang perlu kamu bawa,” ujar Bunda saat kami sedang sarapan.

Aku ingin menyahut. Namun, mulutku masih terisi roti yang belum kukunyah dengan sempurna.

“Kita berangkat pagi ini juga. Taksi yang Bunda pesan sudah di jalan,” lanjut wanita yang melahirkanku tujuh belas tahun lalu itu. Tangannya yang berkulit cokelat dan sedikit keriput dengan terampil mengoles selai ke lembaran roti yang ada di hadapannya.

Buru-buru kuambil segelas air putih yang tersaji di meja, lalu kuminum isinya hingga tersisa setengah, berusaha agar roti isi selai kacang tadi segera masuk ke perut.

“Tapi, Bun, Ariel mau tinggal di rumah aja. Enggak apa-apa, kok, sendirian. Boleh, ya?”

Rengekanku dibalas Bunda dengan tatapan tajam dan hal itu berhasil membuatku bungkam. Huft! Percuma saja, keputusan Bunda tidak dapat diganggu gugat. Memang, sudah jauh hari Bunda mengutarakan keinginannya untuk menjenguk Kakek.

Masalahnya, Kakekku tinggal di desa terpencil. Tidak ada mal, kafe, atau tempat-tempat semacam itu di sana. Hari-hariku pasti akan membosankan. Satu-satunya harapanku adalah semoga saja di sana tidak susah sinyal.

Perjalanan menuju rumah Kakek memakan waktu cukup lama. Tadinya aku sempat tertidur, lalu saat terbangun tahu-tahu taksi yang kami tumpangi sudah memasuki desa Kakek. Dari jendela mobil dapat kulihat sawah-sawah dengan padi yang mulai menguning terhampar begitu indah di kaki gunung. Pemandangan itu benar-benar memanjakan mata bagi orang-orang sepertiku yang terbiasa melihat deretan gedung pencakar langit melulu di kanan-kiri jalan.

Tak lama kemudian, kami melewati tanah lapang. Beberapa anak lelaki tampak asyik bermain bola, beberapa lainnya sibuk bermain layang-layang. Di kota, jarang kutemui hal seperti itu. Kebanyakan anak-anak zaman sekarang lebih suka bermain game menggunakan gadget.

Setibanya di rumah Kakek, Tante Wiwik menyambut aku dan Bunda. Sambil mengobrol, istri dari kakak Bunda itu mengantar kami ke kamar untuk meletakkan barang bawaan. Sementara itu, diam-diam aku menyelinap kembali menuju pintu depan.

Segera aku melangkah ke luar, menuju halaman belakang lewat jalan di samping rumah. Tujuanku hanya satu: pohon mangga Kakek. Dulu, sewaktu kecil, aku suka sekali memanjat pohon itu demi mendapatkan buahnya yang amat lezat.

Ternyata, pohon itu masih ada dan sedang berbuah lebat. Sesaat kemudian, fokusku teralihkan kepada tiga anak lelaki yang berada di bawah pohon. Salah satu dari mereka, yang tubuhnya paling tinggi, sedang memegang katapel dan bersiap untuk menembak. Mataku berusaha mengikuti arah pandang anak itu.

“Di situ, Kak! Ayo, tembak!”

Kudengar anak lelaki berbaju jingga yang tubuhnya paling kecil berseru.

“Hei! Mau apa kalian?”

Aku menoleh ke sumber suara yang sepertinya menghardik ketiga bocah tadi, dan … ternyata itu suara Kakek. Pria tua yang rambut dan kumisnya sudah memutih semua itu duduk di kursi roda. Sepertinya beliau tidak menyadari kehadiranku.

“Ayo, lari! Lari!” teriak anak yang memegang katapel.

Ketiga bocah itu segera berlari menjauh. Salah satu dari mereka, anak yang berbaju biru, bahkan sempat terjatuh. Sebelah sandalnya terlepas. Aku tertawa geli sambil menutup mulut saat melihat bocah itu kembali untuk mengambil sandalnya, lalu lanjut berlari mengejar kedua temannya yang sudah jauh meninggalkannya.

“Pergi! Pergi! Dasar anak-anak nakal!”

Kakek masih terus ngedumel meski bocah-bocah itu sudah lari tunggang-langgang.

Aku melangkah perlahan menghampiri Om Ruslan, kakak Bunda, yang sedang berdiri di belakang kursi roda Kakek. Dengan kening berkerut, aku menatap Om Ruslan, lalu berbisik, “Kenapa Kakek begitu pelit? Padahal, kan, pohon mangga Kakek buahnya banyak.”

Om Ruslan balas menatapku sembari tersenyum. Kemudian, beliau balas berbisik, “Kakek bukannya tidak mau memberikan mangganya, tapi—”

“Tidak ada yang boleh menembak burung di sini! Tidak boleh!”

Ucapan Om Ruslan terpotong oleh teriakan Kakek. Aku pun akhirnya paham, ternyata bukan buah mangga yang jadi masalahnya.

“Dulu, kata Kakek, beliau suka menembak burung menggunakan katapel. Tembakan Kakek jarang meleset. Burung-burung yang berhasil beliau dapatkan akan dibakar lalu dimakan bersama teman-teman sepermainan beliau. Suatu hari, sepulang dari menembak burung, Kakek mendapati rumahnya telah dipenuhi para tetangga. Setelah masuk ke rumah, Kakek melihat ibunya sedang menangis meraung-raung. Ternyata, ayah Kakek yang seorang tentara tertembak saat sedang bertugas di luar pulau. Sejak saat itu, Kakek membakar katapelnya dan tidak pernah lagi menembak burung.” Om Ruslan menghela napas panjang setelah mengakhiri ceritanya.

Aku berjongkok di sisi Kakek. Saat memandang wajahnya dari samping, kulihat sudut mata Kakek berair. Sempat kudengar beliau bergumam, “Pikirkanlah bagaimana nasib anak burung jika ayah atau ibunya mati.” (*)

Borneo, 21 September 2022

L, adalah seorang pembaca yang suka cokelat, buku, dan kamu. Iyaaa, kamu.

Komentar juri, Evamuzy:

Menyayangi dan menjaga sesama makhluk hidup, tentu saja sudah menjadi tanggung jawab kita semua. Setidaknya, mungkin ini yang ingin disampaikan penulis pada cerita ini, dan kabar baiknya adalah pesan ini tak disampaikan dengan narasi yang menggurui. Tapi lewat pengalaman tokoh yang asyik untuk diikuti. Selamat untuk penulisnya, dan semoga posisi ini bisa jadi motivasi. Semangat berkarya selalu, ya.

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Leave a Reply