Selintas Harapan di Kepala
Oleh: Syifa Aimbine
Terbaik ke-13 Lomba Cermin Lokit
Pilihan Gambar: Gambar 2
#Menerjemahkan_Gambar
Tentu tidak banyak kutemui gadis berambut coklat, terutama di perjalan domestik menuju salah satu kota pariwisata di Sumatera seperti sekarang. Ia terlihat cukup mencolok, apalagi dengan koper merah muda cerah yang diseretnya ke mana-mana. Kemeja dan jin kasual serta ransel oranye berukuran sedang di punggung. Jelas saja ia bukan bagian dari rombongan atlet pesepeda yang akan menuruni perbukitan terjal di kawasan tepian Danau Singkarak. Atau sekumpulan turis berkulit terbakar matahari yang menjinjing papan seluncur menuju kawasan Pulau Sipora. Ransel jingga itu bahkan bukan ransel gunung biasa jika ia mengaku ingin mendaki Merapi.
Sebuah penyuara jemala melingkari setengah kepalanya, terhubung dengan kabel kurus ke ponsel pintar di tangan, tapi aku tahu itu hanya agar ia terlihat sibuk, bahasa tubuh untuk tidak ingin diganggu, atau sekedar ingin menutupi ragu. Mungkin hanya aku yang bisa membaca kegelisahan di matanya. Beberapa kali ia terlihat mondar-mandir, lalu kembali duduk, berdiri lagi untuk melihat jadwal keberangkatan pesawat, lalu kembali menunduk menatap layar ponsel pintar miliknya.
Sebenarnya mataku tak selalu memandangnya, hanya saja setelah menyapu pandang ke sekeliling, aku akan kembali pada objek yang sama. Entahlah, mungkin rambut coklat terang itu terlalu mencolok, membuat mataku selalu menangkap kembali tampilan yang tak biasa itu. Boleh kukatakan ia cantik, ya, bukankah setiap wanita itu cantik? Setidaknya jika ditelisik dari susunan wajahnya, hidungnya yang kecil, mata yang cukup besar dengan bola mata senada warna rambutnya, kulit yang tidak terlalu putih (maksudku putih pucat khas wanita Asia), ukuran tubuh yang boleh dikatakan ramping. Ya, ia cantik.
Suara petugas bandara dari pengeras suara kemudian memberi tahu bahwa kami harus lekas masuk ke pesawat. Jujur saja aku sempat berharap ia duduk di sampingku. Dan ajaib, sepertinya Tuhan sengaja mengabulkan doaku kali ini. Aku pernah dengar, terkadang doa yang tidak sepenuh hati seperti saat ini memang lebih cepat dikabulkan. Mungkin saja begitu. Ya, bukan persis di sebelah, kami dipisahkan lorong pesawat, ia duduk di sisi yang satunya. Mungkin ia sepertiku, tidak terlalu suka memandangi sekumpulan awan putih yang menyerupai tumpukan kapuk, atau mungkin enggan melihat badan pesawat, atau bisa saja karena ia takut ketinggian.
Mata kami saling bertemu, aku berusaha mengembangkan senyum, tapi kubatalkan ketika kulihat ia bahkan sudah tidak memandangiku. Ia tengah berusaha mengangkat koper merah mudanya ke kabin di atas tempat ia duduk. Inisiatif aku kemudian membantunya menaikkan koper pink miliknya, berlagak seperti lelaki jantan. Sepertinya koper ini sedikit lebih besar dari yang seharusnya ada di kabin. Namun, memang tidak terlalu berat saat kuangkat. Setelahnya baru ia tersenyum, senyum yang biasa saja, dengan ucapan terima kasih dalam Bahasa Inggris yang logatnya terasa kental.
Lama aku menimbang-nimbang, apa aku akan mengajaknya mengobrol, atau aku harus duduk diam sambil menyilangkan kaki layaknya para pemuda-pemuda aristokrat yang angkuh. Menebar pesona berharap di sapa lebih dulu. Lagi-lagi harapan yang tidak terlalu penting itu—serupa papan reklame berjalan di kepalaku—seolah didengar. Gadis berambut coklat itu kemudian menyapaku.
“Sir, I think it’s your pen.”
Suaranya lembut, mungkin selembut suara petugas bandara tadi. Oh tidak, suaranya lebih lembut. Ia menyerahkan pena—hanya pena biasa yang sering aku bawa di kantong kemeja—milikku. Mungkin benda itu terjatuh saat aku sedang mengangkat koper merah muda miliknya. Maaf jika aku selalu mengatakannya, jujur saja warna merah muda itu memang terlalu mencolok.
“Thanks,” balasku sambil tersenyum.
Menurutku, inilah saatnya aku melanjutkan percakapan dengannya. Lakukan, atau tidak sama sekali.
“Apa Anda mau berlibur?” Ya, bahasa inggrisku memang boleh kukatakan lumayan.
“Tidak, aku ke sini untuk bekerja. Aku seorang perawat lansia,” jelasnya.
“Wah, mereka khusus mendatangkan pekerja asing untuk merawat orang tuanya? Hebat,” komentarku, yang kusesali setelahnya.
Ia tertawa, lalu menggelengkan kepala.
“Tidak, aku sudah berkerja lama dengan keluarga ini. Mereka menetap di Toronto, Kanada. Tapi saat ini, pasienku sedang mengunjungi anaknya, lalu sepertinya penyakit stroknya kambuh. Aku ke sini untuk menjemputnya.”
Aku mengangguk paham, lalu diam. Mencoba mencari bahan omongan.
“Anda sendiri, Sir. Apa Anda sedang berlibur?” celetuknya kemudian.
“Ah, tidak. Aku berasal dari kota ini. Ibuku memintaku pulang. Ia ingin aku menikah dengan gadis pilihannya dari kota ini.”
Ia tertawa mendengar kejujuranku, lalu mengucapkan maaf, lalu kembali tertawa. Mungkin menurutnya itu adalah hal lucu. Ia tidak tahu saja kalau kebanyakan orang tua di kota ini menyuruh anak-anaknya yang mulai dewasa untuk merantau, lalu tiba-tiba saja menurunkan ultimatum untuk lekas kembali dan dinikahkan dengan gadis pilihannya. Tujuannya sederhana saja, mereka ingin agar anaknya hanya akan pulang ke kampung yang sama setiap Lebaran tiba.
Namun, aku membiarkan ia tertawa tanpa menjelaskan lebih jauh tentang budaya yang kurasa ia tak akan paham. Aku suka matanya yang mengecil saat ia tertawa, sebuah titik kecil di ujung bibirnya muncul ketika ia tertawa. Mendadak saja jantungku terasa dikerubungi semut kecil yang berjalan beriringan dengan kaki kecilnya yang menggelitik.
Kami lanjut bercerita dan melempar tanya beberapa kali tentang segala hal. Aku jadi tahu kalau ini memang perjalanan panjang pertamanya ke Indonesia. Dari majikan tempat bekerja dua tahun ini ia mengenal lebih banyak tentang negeri ini. Namun, baru kali ini ia bisa ke Indonesia.
“Ongkosnya lumayan mahal,” bisiknya.
Ungkapan yang jujur dari seorang warga negara maju yang bergaji puluhan dolar per jam. Ah, ia makin terlihat manis, tidak muluk-muluk dan polos. Tunggu, apa aku mulai tertarik lebih jauh dengannya?
Pesawat mulai mendarat setelah menempuh waktu terbang kurang lebih satu jam tiga puluh menit. Sinar jingga menerobos masuk jendela pesawat dan sempat lewat menembus mataku, cukup menyilaukan. Kembali aku membantunya menurunkan koper merah muda itu. Ia tersenyum lebih ramah dari sebelumnya, sepertinya balok es di antara kami sudah mencair sempurna. Kami kemudian berpisah di pintu keluar perjalanan domestik. Ia melambai sesaat lalu kembali berkutat dengan ponselnya, mungkin sedang menunggu jemputan seperti yang ia ceritakan tadi. Ternyata akhirnya sama saja, kami hanya teman selama perjalanan singkat ini.
Sempat terlintas keinginan untuk mengenalnya lebih jauh, berharap ia akan berbalik menghampiriku dan meminta nomor ponsel, lalu aku akan menawarinya pertemuan di lain waktu. Ya, bisa dibilang semacam kencan, atau kalau ia tidak berkenan anggap saja aku menjadi pramuwisata gratis selama di kota ini. Namun, aku hanya mematung memandangnya. Dan kali ini keinginan yang seperti papan reklame berjalan di kepalaku tidak lagi terbaca olehnya. Sebuah mobil sedan hitam kemudian mendekat dan ia pun masuk, lalu pergi menjauh.
“Zakir!”
Aku menoleh, kulihat ibuku mendekat dengan seorang gadis berkerudung ungu yang membantunya berjalan.
Depok, 21 September 2022
Syifa Aimbine, jika aku harus mendeskripsikan diriku, maka aku hanya melihat seorang wanita dengan mimpi berjuta, tapi hanya di ujung asa.
Komentar juri, Berry:
Kisah tentang cinta pada pandangan pertama selalu relevan bagi pembaca. Kita semua pernah merasakannya dan terkadang ia hadir pada waktu yang tidak tepat. Hanya, karena begitu relevan, banyak penulis kemudian membuat kisah-kisah serupa, hingga ia terasa pasaran, dan perlahan-lahan kehilangan efek menggetarkannya.
Kecuali, jika si penulis punya keterampilan bercerita yang mumpuni, seperti pada cerita satu ini. Saya sangat menikmati “pengalaman jatuh cinta” si tokoh kepada perempuan asingnya. Perbedaan budaya dan cara pandang mereka membuat situasi semakin menarik, dan kita tahu betapa si tokoh lebih berpikiran terbuka dan cocok dengan si pendatang. Belum cukup, kita pun diberikan bonus ending yang—kalau saya bilang—“menggigit”.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)