Seorang Pria yang Berbelanja
Oleh: Whed
Terbaik ke-14 Lomba Cermin Lokit & Favorit Juri
Pilihan Gambar: Gambar 4
#Menerjemahkan_Gambar
Sudah akhir pekan. Pria itu menatap kalender yang menggantung di dinding dan berpikir bahwa dia perlu berbelanja. Persediaan gulanya menipis. Popok anaknya tinggal dua. Selain itu, hanya ada sebutir telur dan sekotak susu segar yang menghuni kulkas di rumahnya. Bahkan, dia sudah menggunting kemasan pasta giginya pagi tadi untuk mengeluarkan isinya.
Pria itu membuka dompetnya, lalu mengintip ke dalam, melihat uang-uang kertas berjejalan tidak beraturan. Dia pun tersenyum, lalu berjongkok di dekat anaknya yang sedang duduk di karpet, tampak asyik mengacak-acak balok kayu.
“Kau ingin melihat permen warna-warni?” Dia mengangkat anak itu tinggi-tinggi, lalu berputar.
Tawa mereka pun bersahutan, memenuhi ruang kecil berantakan itu: kaus kaki di sofa, buku dan mainan berserakan, mangkuk dan gelas kosong mendiami sudut ruangan. Lalu, beberapa baju bertebaran di kasur.
Beberapa saat setelahnya pria itu terlentang di ranjang. Diletakkannya sang anak di dadanya, lalu diciumnya rambut bocah itu yang bau keringat.
“Baiklah, kita akan jalan-jalan, Hiro,” katanya seraya bangkit, lalu meraih kacamata di meja, tepat di samping laptop yang menampilkan wallpaper seorang wanita berbaju biru muda.
Dia mengambil kertas di antara tumpukan setruk belanja yang dikumpulkan istrinya di dalam kaleng biskuit yang dihias kertas pembungkus hadiah. Alih-alih mencatat daftar belanjaan, pria yang rambutnya sudah dikuncir rapi itu, memilih membawa setruk belanja.
Dan pada suatu sore yang hangat itu, dia meninggalkan rumah. Dia berjalan di sepanjang trotoar Kanazawa. Matahari bersinar dari barat, menyoroti bagian wajahnya hingga mata pria itu menyipit.
“Seratus tiga puluh,” kata pria itu sambil menghentikan langkah, “seratus tiga puluh tiga langkah lagi kita akan sampai.” Pria itu telah menghitung langkahnya mulai dari halaman rumahnya. Pada langkah ke-130 itu pula dia bergoyang-goyang, hingga bocah dalam gendongan kanguru itu tergelak. Begitu pula pria itu, ikut menertawai kekonyolannya sebelum kembali berjalan.
Dan hal yang lebih mendebarkan bagi pria itu ialah, ketika dia berhenti dan berdiri di depan pintu kaca di langkah terakhirnya: langkah ke-263.
“Kita sampai!” Pria itu melangkah ke dalam supermarket langganan istrinya, yang sekarang telah menjadi langganannya. Dia mengambil keranjang belanja, kemudian mengelilingi rak-rak penuh kotak berisi makanan. Tangannya merogoh kantung celana, di mana setruk belanja tersimpan di dalamnya. “Baiklah, kita akan membeli ….” Pria itu memindai tulisan pada kertas tersebut. Matanya menyipit. Itu setruk belanja dua bulan lalu ketika dia dan istrinya membeli banyak sekali kebutuhan, termasuk losion tubuh, kebutuhan pribadi istrinya.
Dia menggaruk ujung hidung, tidak tahu mana yang sebaiknya dibeli dahulu. “Ah, baiklah, kita mulai membeli susu,” katanya kemudian sambil menyimpan kembali kertas itu.
Pria berkaus hitam itu pun mulai berjalan lagi. Sesekali dia mendongak, menyentuh isi rak, dan terkadang menjauhkan tangan sang anak yang ikut menggapai-gapai hendak meraih sesuatu di sekitarnya. Ah, iya, bocah itu selalu tertarik dengan sesuatu yang berwarna-warni. Tanpa perencanaan, pria itu pun meraih beberapa bungkus biskuit dengan kemasan berbeda, lalu memasukkannya ke dalam keranjang.
“Kita ke bagian susu sekarang.”
Akan tetapi, tiba-tiba dia menghentikan langkah tepat di depan lemari pendingin. Cukup lama dia menatap isinya: aneka soda dan bir non alkohol berderet rapi.
“Kau mau minuman itu?” tanyanya kepada anaknya.
Dia berpikir, suatu saat dia ingin sekali minum soda bersama anaknya setelah makan daging panggang. “Ah, iya, kita akan beli susu dulu, ya?”
Dia berlalu dari sana untuk menuju rak penyimpanan susu. Tapi, dia masih suka menoleh ke arah di mana lemari es khusus minuman bersoda itu berada. Dia kini berdiri di antara rak-rak yang menampilkan kardus-kardus berisi susu. Pria itu memindai kotak itu satu per satu, lalu kembali mengambil setruk belanja, melihatnya lekat-lekat, sambil menggeleng. “Hmmm … harganya ternyata naik.”
Lagi, dia mendongak, menatap kotak susu yang disimpan di bagian rak paling atas. “Sebaiknya kita membeli popok dulu.” Dia berpindah tempat, menuju rak bagian popok.
Ketika pria itu melewati lemari pendingin yang tadi, dia kembali menghentikan langkah. Lagi, dia menatapnya cukup lama. Sementara tangan bocah dalam dekapannya kembali menggapai-gapai, mencoba mengambil sesuatu—apa saja—yang ada di dekatnya.
“Kau mau soda itu?” tanya pria itu lagi, sedikit bersemangat, sambil menunjuk ke arah minuman itu. Dia menelan ludah. Di luar, matahari masih bersinar cukup cerah. Benar-benar hangat. Dia teringat kulkas di rumahnya yang sudah kosong. Di sisi lain, dia juga teringat ucapan istrinya beberapa waktu lalu. “Itu minuman jahat. Jangan sering-sering mengonsumsinya kalau kau ingin menua denganku.” Istrinya memang selalu menjaga pola makan, bahkan rajin berolahraga.
Dia keranjang belanjanya yang baru terisi tiga bungkus biskuit. Dia kemudian pergi dari sana, menghindari lemari berisi khusus minuman bersoda itu. “Kau belum boleh minum soda. Kau harus menunggu seusia Ayah,” katanya sambil mengusap rambut sang anak.
Dia kembali memutari rak demi rak dan melupakan setruk di kantung celana cokelatnya. Dia juga melupakan isi dompetnya. Namun, dia tidak tahu mengapa kakinya yang beralaskan sandal jepit itu tiba-tiba sampai di depan rak losion. Dia bahkan teringat merek losion tubuh yang dipakai istrinya. Dia juga masih ingat aromanya.
Pria itu meraih salah satu losion tubuh tersebut, membolak-baliknya, lalu tanpa sadar memasukkannya ke dalam keranjang belanja. Dia kembali berkeliling, melihat-lihat. Cukup lama dia berputar-putar di ruangan dengan cahaya lampu terang itu.
“Baiklah, kita akan memeriksa apakah ada yang kurang.” Pria itu melihat isi keranjangnya. Ada popok, susu, sayur dalam kemasan, telur, aneka camilan, dan losion tubuh dengan botol biru muda. Tidak ada pasta gigi.
Kemudian, dia meraih losion itu dari dalam keranjang. Setelah berpikir, dia ingin mengembalikannya ke rak. “Sepertinya Ayah tidak membutuhkan ini,” ucapnya, “Harus ditukar dengan yang lain,” lanjutnya. Akan tetapi, dia malah menghirup dalam-dalam penutup losion yang sudah dia buka. Ada aroma istrinya di sana. Selanjutnya meletakkan benda itu ke tempat semula.
Pria itu meninggalkan rak yang dipenuhi botol berisi losion. Dia kembali mengelilingi tempat itu dan melewati rak peralatan mandi, seperti sabun, sikat gigi, juga pasta gigi. Tangan kecil bocah dalam gendongannya menjatuhkan beberapa barang.
“Hari ini cukup, Hiro. Kita pulang.” Pria itu mengembalikan barang-barang yang dijatuhkan Sang Anak. Kemudian dia kembali berjalan, lalu berbelok menuju lemari es khusus minuman bersoda, juga bir. Dia membuka pintu lemari es itu. Dan dia diam beberapa saat. “Kali ini, mungkin ibumu tidak akan marah,” ucap pria itu, tetap berdiri di depan lemari es yang pintunya masih terbuka.
Sltg, 21 September 2022
Whed, adalah nama pena dari seseorang yang lahir di bulan Maret. Hobinya membaca membuatnya ingin bisa menulis.
Komentar juri: Lutfi Rosidah
Kehilangan orang yang dicintai adalah hal yang membuat seseorang kehilangan kewarasan. Mungkin itu yang coba disampaikan penulis. Sepanjang cerita, tokoh dibuat berputar-putar tak jelas dengan kondisi pikirannya yang kalut. Dan saya bisa merasakan itu sepanjang cerita.
Kemampuannya menghadirkan nuansa yang konsisten dan tanpa tendensi membuat cermin ini begitu menonjol dibanding yang lain, dan kami pun memilihnya sebagai “Favorit Juri”.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)