Teman Sebangku
Oleh: Retno Ka
Terbaik ke-15 Lomba Cermin Lokit
Pilihan Gambar: Gambar 3
#Menerjemahkan_Gambar
Enam tahun lamanya ia bersekolah dasar, teman sebangkunya selalu Inia. Tidak pernah berubah. Seperti ada peraturan tak tertulis. Meski tak disepakati, tetap harus dijalani. Ia tentu tak keberatan sebelumnya. Sejak mamanya mengusulkan hal seperti itu saat ia masuk sekolah untuk kali pertama. Ia senang-senang saja. Saat itu memang hanya Inia yang ia kenal. Namun, saat berada di kelas lima, tiba-tiba ia berpikiran untuk berganti teman sebangku. Boleh Azizah atau Melati. Atau yang lain asal bukan Inia lagi.
Inia memang anak yang biasa-biasa saja. Tak pernah iseng menyembunyikan pulpen, atau sengaja menyenggol sikutnya saat ia sedang menulis. Inia juga tak pernah menconteknya secara keterlaluan, hanya satu atau dua nomor yang benar-benar ia tidak tahu. Lalu, jika ditanya apa alasannya, mungkin ia hanya bosan.
Dan bosan, bukankah tidak apa-apa dirasakan anak-anak? Itu tetap membuat kesal, dan terkadang juga bisa sangat menyiksa.
Lagipula, kelas lima tidak benar-benar masih anak-anak. Sebentar lagi ia menstruasi, lalu mulai tertarik dengan lawan jenis. Semua bergerak, hal-hal monoton agaknya harus menyingkir pelan-pelan. Mula-mula teman sebangkunya, lalu perasaannya, lalu kematangan berpikirnya.
Sayangnya, ia tak berani mengatakan keinginannya. Ia takut Inia tersinggung. Sampai mereka naik ke kelas enam, dan adegan harus terulang. Akhirnya ia mencoba bertahan.
“Satu tahun saja, Amta. Satu tahun,” ujarnya setiap rasa bosan melanda.
***
Lalu, satu tahun yang berat pun berhasil ia lewati. Ujian Nasional sudah selesai, dan ia merasa puas meskipun hasilnya belum keluar. Anak kelas enam diliburkan terlebih dahulu sebelum kelulusan mereka diumumkan.
Pada sore yang cerah, ia berkeliling dengan sepedanya. Lalu, ia berhenti di tepi lapangan. Ada sebuah pagar tembok setinggi perut orang dewasa yang mengitari tanah berumput itu, dan di atasnya ia duduk.
Sambil menonton anak-anak kecil yang sedang bermain layangan, ia merencanakan hal-hal kecil di kepalanya. Bagaimana ia harus berpakaian mulai sekarang, mengingat jika ia sudah memasuki masa pubertas. Lalu, di mana ia akan melanjutkan SMP, SMA, dan kuliah.
“Di mana pun asal tidak ada Inia.” Ia bergumam lirih, lalu tertawa kecil.
Kriiing ….
Ia menoleh saat terdengar bunyi bel sepeda. Wajahnya memucat begitu melihat siapa yang berada di atas sepeda itu.
“Inia?”
“Hai, Amta!”
Inia memarkirkan sepedanya ke pagar tembok, lalu naik tepat di sebelahnya. Inia membawa dua buah minuman teh kemasan, dan membagi satu untuknya. Selain itu, Inia juga membawa sebuah kamera yang ia kalungkan di leher.
Sementara Inia tampak memotret-motret, Amta memandanginya saja dari samping. Wajahnya masih memucat seperti orang yang tertangkap basah melakukan kesalahan. Padahal ia yakin kalau Inia tidak mungkin mendengar ucapannya.
Tapi bagaimana jika dari tadi Inia sudah berada di belakangnya? Oh, betapa ia merasa cemas.
“Kau mau ke mana, Inia?”
“Aku? Keliling saja, lihat-lihat, terus foto-foto. Eh, lihat kamu di sini. Aku samperin, deh.”
Ia mengangguk-angguk. Mencoba percaya meski hatinya masih belum tenang.
“Kamera itu milikmu?”
“Ini hadiah dari papaku.”
“Ulang tahunmu masih bulan depan, kan?”
“Iya … kamu mau pinjam?”
“Boleh.”
Ia masih ingin bertanya sebenarnya, tapi Inia seperti sengaja memotong pembicaraan.
“Foto yang banyak, Amta. Itu nanti aku buat kenang-kenangan.”
“Kenang-kenangan?”
“Iya, siapa tahu nanti aku kangen.”
“Kenapa harus kangen sama tempat yang setiap hari kita lewati?”
Ia berhenti memotret, lalu menoleh ke arah Inia yang rupanya tengah tersenyum lebar. Perasaannya tidak enak.
“Kau mau pergi dari sini, ya?”
“Bagaimana menurutmu? Kamera itu bagus, kan?”
Ia mengangguk, tapi tidak paham apa hubungannya kamera bagus dengan pertanyaannya. Apa Inia benar-benar akan pergi?
“Papa memberiku itu kalau aku mau ikut Papa tinggal di rumahnya,” ujar Inia.
Ia sekarang tahu apa maksud ucapan Inia. Meskipun ia tidak mau lagi duduk satu bangku dengan Inia, bahkan satu sekolah, bukan berarti ia tidak mau lagi bertemu dengan Inia. Ia hanya terkadang bosan, tapi bukan berarti Inia bisa digantikan.
“Tapi, Inia, kamera ini jelek. Jadi kamu jangan mau,” ucap Amta, lalu membanting kamera itu ke trotoar. (*)
Jepara, 21 September 2022.
Retno Ka, Ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.
Komentar juri, Evamuzy:
Lewat cerita ini, Retno Ka mengingatkan saya saat kita masih bisa disebut anak-anak, belum dewasa, pikiran “jahat” yang keluar dari kepala, kebanyakan berbentuk kepolosan yang termaklumi. Ya, namanya juga pikiran bocah. Penulis tahu di mana poin untuk menyampaikan itu dengan hati-hati. Konflik ringan: rasa bosan, dikemas dengan baik sehingga menghadirkan dilema yang cukup terasa, kemudian ditutup dengan ending yang “manis”. Meski tentu saja itu bukan adegan “manis”.
Jadi, selamat untuk posisi yang manisnya, Kak Retno.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)