Aku, Kamu, dan Lemari Pendingin di Minimarket Langganan Kita (Terbaik ke-17 LCL)

Aku, Kamu, dan Lemari Pendingin di Minimarket Langganan Kita (Terbaik ke-17 LCL)

Aku, Kamu, dan Lemari Pendingin di Minimarket Langganan Kita

Oleh: Ika Mulyani

Terbaik ke-17 Lomba Cermin Lokit

Pilihan Gambar: Gambar 4

#Menerjemahkan_Gambar

 

Tahukah kamu, Ay? Anak kita selalu memandangku keheranan, setiap kali aku yang menggendongnya, berhenti lama sekali di depan lemari pendingin di minimarket langganan kita.

Ah, apakah aku sudah menceritakan, bagaimana pada mulanya aku kesulitan untuk menempatkan anak kita di dalam gendongan itu? Pantas saja kamu yang bertubuh mungil selalu meminta bantuanku bila akan menggunakannya. Ternyata memang serepot itu.

Dulu sering kukatakan, lebih baik kamu memakai kain gendongan biasa saja. Selain mudah, tidak ada besi gesper yang bila posisinya kurang tepat, akan membuat bahu kita sakit. Tetapi kamu tidak pernah sependapat.

“Kita akan jalan-jalan ke pusat kota, Ay. Mana mungkin aku pakai kain gendongan kuno begitu? Kalau tiba-tiba melorot, gimana? Kalau pakai ini, kan, mantap. Si Dedek juga posisinya nyaman, persis seperti posisi dia di atas dadaku waktu baru saja dia lahir, ‘kan? Berarti itu posisi menggendong yang benar menurut teori kesehatan modern,” ucapmu suatu kali.

Meskipun aku tidak yakin akan kebenaran teorimu, tentu saja aku tidak bisa—dan tidak ingin juga—mendebatmu. Sudah pasti aku akan kalah, atau aku yang terpaksa mengalah. Namun kini, aku begitu merindukan senyum “kemenangan” sekaligus tatapan setengah mengejekmu dalam setiap akhir perdebatan kita, yang ketika itu terlihat amat sangat menyebalkan.

Pada saat gendongan itu baru kita beli dan untuk pertama kalinya kamu pakai, kita memerlukan waktu lebih dari sepuluh menit untuk sampai pada posisi gendongan yang pas menurutmu. Dan tahukah kamu? Pertama kali aku menggunakan gendongan itu tanpa bantuan siapa pun, aku menghabiskan waktu hampir setengah jam! Aku dan anak kita sama-sama berkeringat, tetapi anehnya, ia tidak menangis. Bocah mungil itu hanya terus saja memandang ayahnya dengan penuh keheranan. Begitu selesai, ia ikut tertawa, mungkin karena melihat aku yang terkekeh-kekeh tetapi air mataku berlinang.

Sebelumnya, aku menggunakan kain gendongan yang katamu kuno itu, ketika membawa anak kita pulang dari rumah neneknya. Entah mengapa, di tengah perjalanan, ia rewel dan meronta-ronta, hingga kaitan kain gendongan itu mengendur dan akhirnya lepas. Untung saja aku masih bisa menahan tubuh anak kita agar tidak terjatuh. Sepertinya, sekali lagi kamu benar, anak kita selalu terlihat nyaman dalam pelukanku ketika kugunakan gendongan yang katamu modern itu. Dan kembali aku merindukan tatapan mengejekmu itu, Ay.

Oh, aku tadi hendak menceritakan kelakuanku bila sudah berada di depan lemari pendingin di minimarket langganan kita, ya. Dulu, kamu selalu berlama-lama berdiri di depan lemari pendingin itu dalam keadaan pintunya yang terbuka. “Jangan sampai ada bagian yang penyok. Harus cari yang mulus. Penyok berarti ada setitik kebocoran yang amat sangat halus, yang memungkinkan bakteri masuk,” ucapmu sambil terus memilih dan membolak-balik kaleng atau kotak minuman yang hendak kita beli. “Tanggal ‘expired’-nya juga harus dilihat betul-betul,” lanjutmu dengan mata setengah memicing, membaca deretan angka dan huruf dalam kemasan minuman itu.

Aku hanya mengangguk. Bosan. Kamu bisa menghabiskan waktu seperempat jam lebih hanya untuk menentukan minuman pilihanmu dan memasukkannya ke dalam keranjang belanja. Anehnya, anak kita yang berada di dalam gendonganmu, sama sekali tidak terganggu oleh gerakanmu yang kadang sedikit berjingkat atau membungkuk, demi menjangkau minuman yang kamu mau. Sementara itu, kamu selalu menolak setiap kali aku menawarkan bantuan untuk mengambilkannya.

“Malah lama, ah. Kamu salah terus ngambilnya.” Begitu katamu, yang terkadang membuatku sedikit kesal.

Ah, sekarang aku malah ingat, betapa senangnya kamu ketika tahu akan ada sebuah minimarket di mulut gang menuju rumah kita. Apalagi ternyata minimarket itu juga menjual sayur dan buah segar, bahkan juga daging dan ikan, meskipun bukan ikan hidup seperti di pasar yang dulu sering kita kunjungi.

“Aku enggak usah repot-repot lagi pergi jauh ke pasar, Ay. Pulang kerja tinggal mampir dan belanja. Semuanya ada, lengkap,” katamu dengan wajah berseri dan mata berbinar.

Ketika kukatakan, harganya pasti jauh lebih mahal daripada harga di pasar tradisional, reaksimu—yang selalu ribut membandingkan harga sayuran di lapak Ibu Anu dengan di kedai Bapak Itu—tidak seperti yang kuduga. “Enggak apa-apa mahal sedikit, tapi bersih dan praktis. Aku bisa hemat waktu.”

Aku hanya bisa mengangguk tanda setuju. Padahal, sejak minimarket itu berdiri dan kamu jadi pelanggan setianya, aku merasa kehilangan momen yang bagiku sangat istimewa.

Setiap hari Minggu, biasanya aku mengantarkanmu berjalan kaki sejauh hampir dua kilometer ke pasar tradisional, saat bahkan matahari belum lagi terbit. Sekalian jogging, katamu, yang tentu saja aku setujui. Selepas belanja, kita akan mampir untuk sarapan nasi pecel di gerbang pasar. Sepanjang kita bersantap, simbok penjual nasi pecel hampir tiada henti bercakap dengan logat jawanya yang kental dan sedikit menggelikan di pendengaranku, menceritakan hal remeh apa saja, bahkan kadang bergosip tentang rekannya sesama pedagang. Selanjutnya, kita pulang dengan menumpang bajaj, setelah hampir lima menit kamu menawar ongkosnya. Tetapi anehnya, kamu tidak pernah menawar sedikit pun jika kita akan menaiki becak atau andong. Sesampai di rumah, kita saling membersihkan kaki dan sandal yang kotor oleh bekas becek pasar, sambil saling mencipratkan air hingga baju dan tubuh kita basah. Ah, aku rindu suara tawamu, Ay.

Berbulan-bulan, aku sempat menyalahkan minimarket itu sebagai pengacau romantisme hari Mingguku bersamamu, satu-satunya hari yang tidak terganggu oleh kesibukanmu di kantor. Namun kini, aku sering berbelanja di sana, dan selalu berlama-lama memandang lemari pendingin yang berisi aneka minuman ringan dalam berbagai kemasan itu.

“Cari apa, Pak?” tanya seorang karyawan minimarket ketika pertama kalinya aku melakukan hal itu. Sama seperti anak kita, ia memandangku keheranan.

Aku hanya membalas dengan senyuman dan gelengan. Si karyawan balas tersenyum dengan pandangan mata yang belum berubah, kemudian berlalu. Namun anak kita, yang memiliki mata yang serupa benar dengan matamu, terus saja memandangku. Mungkin ia—yang waktu itu masih belum bisa berbicara—bingung, mengapa setelah berlama-lama berdiri di sana, tidak ada satu pun minuman yang aku ambil dari dalam lemari pendingin itu.

“Ayah, aku mau susu stobeli itu.” Anak kita yang sudah tidak lagi mungil tetapi masih sering kugendong dengan gendongan yang katamu modern itu, membuyarkan lamunanku.

Aku tersenyum dan mengangguk, lalu membuka pintu lemari pendingin itu. Anak kita terlihat bosan, tetapi ia tetap sabar menungguku berlama-lama memeriksa kesempurnaan kemasan dan juga tanggal kadaluarsa minuman yang diinginkannya. Kalau saja kecelakaan kereta itu tidak merenggut hidupmu terlalu cepat, aku yakin kamu sedang menertawakanku saat ini. []

Ciawi, 21 September 2022

Ika Mulyani, mamak-mamak asal Kota Hujan Bogor, yang betah belajar di Kelas Menulis Lokit sejak lebih dari dua tahun yang lalu, dan berharap bisa menjadi penulis yang baik dan pembaca yang peka.

Komentar juri, Lutfi Rosidah:

Seharusnya cerpen ini layak masuk 10 besar. Itu yang saya pikirkan ketika membacanya. Kepiawaian penulis Menyusun paragraf demi paragraf membuat saya larut dalam ceritanya. Sayang sekali, naskah bagus ini harus puas berada di posisi ke-17 hanya karena ending-nya yang dipaksakan untuk dramatis.

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Leave a Reply