Apa yang Disampaikan Sebuah Foto
Oleh: N. Insyirah
Dalam mimpiku bertahun-tahun lalu, kulihat Ibu duduk di pinggir ranjang sambil memandangi selembar foto yang warnanya pucat dan kertasnya lecak. Aku tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Aku biasa melihat Ayah diam. Tapi tidak dengan Ibu. Ibu orang yang sangat ekspresif. Dia tak segan melempar vas bunga sambil mengoceh panjang lebar ketika tahu Ayah menghabiskan uang dua ratus ribu untuk taruhan bola dengan teman sekantornya. Dia juga langsung menangis berderai-derai ketika kucing peliharaan kami mati tertabrak motor saat sedang menyeberangi jalan di depan rumah. Bahkan, saat menyantap mangga muda, semakin kecut rasanya maka tarikan di wajah Ibu akan semakin kuat.
Namun, saat itu, Ibu begitu setia dengan bisunya. Jam dinding yang terletak dua jengkal di atas paku tempat biasa aku menggantung seragam sekolah menunjukkan pukul empat lewat lima belas menit. Lampu kamar dibiarkan mati, dan satu-satunya penerangan berasal dari cahaya lampu taman yang membentuk persegi mengikuti bentuk jendela. Sorotnya tepat mengenai punggung Ibu yang duduk membelakangi jendela. Membuatnya tampak seperti seorang patah hati yang abadi.
Ibu menunduk dalam-dalam, membuat bayangan kepalanya seolah sedang bersandar pada kosen pintu yang berjarak setengah ubin dengan ranjang. Tubuhnya kaku bagai batang pohon, napasnya berat-berat, dan remasannya pada foto semakin kuat. Dia begitu khusyuk memandangi foto di tangannya dalam penerangan yang tak seberapa. Mungkin, saking khusyuknya Ibu, suara detak jam yang agak tersendat dan suara cecak jantan yang berusaha menarik perhatian cecak betina sama sekali tak terdengar olehnya. Mungkin juga, saking lamanya Ibu memandangi foto itu, dia bisa melihat setiap detail yang ada di sana dengan jelas meski tanpa penerangan setitik pun.
Bermenit-menit lamanya Ibu membisu dengan posisi yang tak berubah, dan aku masih tak tahu apa yang sedang dipikirkannya. Dalam foto yang Ibu pandangi, tampak seorang gadis yang mirip denganku, tapi itu bukan aku. Rambutnya ikal sebahu dan kulitnya kuning langsat. Matanya sipit, hidungnya kecil, dan bibirnya tipis. Dia tersenyum lembut. Mungkin itu foto Ibu saat masih sangat muda. Atau mungkin itu foto ibunya Ibu.
Ibu pasti sedang mengenang sesuatu, entah apa. Kurasa semua cerita tentang masa lalunya telah dia kisahkan kepadaku. Tentang ayahnya yang seorang tentara dan mati di medan perang. Tentang ibunya yang menjanda dan menikah lagi dengan sahabat ayahnya yang seorang petani. Tentang teman-teman dan musuh-musuhnya. Tentang mantan-mantan kekasihnya. Juga tentang pertemuannya dengan Ayah, sampai mereka menikah dan memiliki aku. Ibu seperti bejana yang tumpah isinya.
Rasa-rasanya, setelah aku memikirkannya lagi dan lagi, tak ada yang aneh dengan mimpi itu. Namun, yang aneh adalah, ketika terbangun aku mendapati diriku seolah-olah habis lari maraton berpuluh-puluh kilometer jauhnya. Dan karenanya mimpi itu melekat kuat di dalam pikiranku. Menyebabkan perasaan murung yang sulit kujelaskan.
Dan malam ini, saat baru memejamkan mata, mendadak aku teringat mimpi itu lagi, dan perasaan murung kembali menyergap. Tak ingin terjaga semalaman dan bangun kesiangan sehingga membuatku terlambat berangkat kerja, aku memaksakan mata untuk terpejam, membolak-balik tubuh mencari posisi yang nyaman dengan harapan bisa segera tertidur. Namun, waktu seakan merangkak. Ketika membuka mata, kulihat baru dua menit lamanya berlalu. Rasanya malam tak akan pernah berakhir.
Aku membalikkan tubuh, kulihat suamiku tidur sangat lelap. Kemudian, aku bangkit dari ranjang dan beranjak meninggalkan kamar. Berjalan ke ruangan yang bersebelahan dengan dapur. Itu kamar putriku. Aku membuka pintu, melangkah perlahan memasukinya, lalu menatap ke sekeliling. Lampu kubiarkan tetap mati. Dengan bantuan cahaya dari ruangan di luar, bisa kulihat semua masih sama seperti saat terakhir aku memasuki dan merapikan kamar ini dua tahun lalu. Lemari pakaian yang tertutup rapat, meja belajar yang lebih banyak dihuni buku-buku komik daripada buku pelajaran kelas 1 SMP, ranjang dengan seprai Hello Kitty, serta sebuah bingkai di atas nakas yang berisi foto putriku yang tengah tersenyum lebar sambil menunjukkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
Aku mengembuskan napas kuat-kuat. Dengan ragu, kulangkahkan kaki lalu kududukkan tubuh di pinggir ranjang, setelah kuambil bingkai di atas nakas. Lantas kupandangi wajah putriku yang sudah memudar dari ingatan.
SU, 14 Agustus 2022
N. Insyirah. Perempuan yang sedang belajar menulis ini menyukai warna oranye dan buah orange.
(Cerpen ini adalah cerpen yang terpilih di Bulan Agustus. Sebuah cerpen yang sangat menarik, yang seolah membuat kita mampu menyelami masa lampau si tokoh utama. Sering kali, kita memang sering ditarik kembali ke masa lalu oleh benda-benda yang menyimpan banyak kenangan. Sama seperti di dalam cerita ini.)
Editor: Imas Hanifah N