Percakapan Malam Itu
Oleh: N. Insyirah
Pria itu bangkit dari tidurnya, duduk di pinggir ranjang dan menatap ke arah pintu yang terbuka, yang menampakkan balkon kamarnya. Angin berembus kencang dan sendi-sendinya terasa ngilu. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi. Belakangan memang hujan selalu turun saat malam dan baru reda agak siang. Dilihatnya waktu pada jam tangan di atas nakas, pukul 22.48.
Pria itu berdiri, berjalan menuju dapur untuk membuat secangkir kopi tubruk. Harusnya dia tak minum kopi, tapi menimbang kemungkinan akan tetap terjaga semalaman, dengan gerakan malas, pria itu memasak air dan menuangkan tiga sendok teh kopi hitam ke dalam cangkir, mengabaikan sakit lambungnya yang sering kambuh.
Selagi menunggu air matang, dia kembali ke kamar. Berdiri di balkon dan mengamati kandang anjing tetangga depan rumahnya yang sudah tak berpenghuni. Anjing itu mati enam bulan lalu tertabrak mobil. Kabar itu dia dengar dari anaknya yang baru pulang sekolah dalam keadaan menangis. Meski bertetangga, dia jarang melihat anjing itu, hanya mendengar suara salaknya. Terakhir dia melihatnya adalah setahun lalu, bertepatan dengan terakhir dia melihat istrinya.
Memang, pria itu selalu merasa istrinya akan pergi, meski tidak pernah tahu kapan hari itu akan terjadi. Menurutnya, tak ada yang bisa membaca apalagi menebak isi pikiran wanita itu. Kadang wanita itu tampak begitu tabah, kadang wanita itu tampak menyebalkan, dan seringnya wanita itu tampak masa bodoh.
Malam itu, dia ingat jelas, dia berdiri di balkon ini dengan sebotol bir di tangan, menatap ke arah halaman di mana mobil istrinya baru saja terparkir. Pukul 22.48, dan hanya butuh waktu 5 menit untuk istrinya berada di kamar mereka lalu melepas pakaiannya sebelum masuk ke kamar mandi. Namun, belum ada satu menit wanita itu sudah keluar dari kamar mandi, membuka lemari pakaian, menutupnya kembali tanpa mengeluarkan sehelai pakaian pun, lalu membuka laci meja rias, menutupnya kembali dengan cukup keras, dan kembali lagi ke kamar mandi. Semua dilakukannya dengan sebelah tangan terayun-ayun dan terkepal, seolah tangan itu sedang mencari sesuatu untuk ditinju.
Pria itu terus mengamati semua yang dilakukan istrinya dari botol birnya. Termasuk ketika wanita itu menghampirinya setelah menyelipkan sebatang rokok di bibir dan memantik korek gas.
“Tampaknya kau punya begitu banyak waktu luang,” sapa wanita itu begitu mereka berdiri bersampingan.
“Aku tak tahu kalau kau cukup peduli padaku.”
“Jika aku tak peduli, aku sudah pergi dari sini sejak lama.”
“Kalau begitu kau bisa pergi.”
Wanita itu menoleh sekilas, lalu kembali mengisap rokoknya dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab, “Harusnya kulakukan itu sejak kau berhenti dari pekerjaanmu. Kupikir kau akan berusaha mencari pekerjaan, tapi aku hanya menemukanmu sebagai pecundang.”
“Aku selalu mencarinya.”
“Dengan berdiri seharian di sini tanpa melakukan apa pun?”
Pria itu tak menjawab, memilih meneguk bir dengan pandangan lurus ke depan. Memperhatikan anjing tetangga yang sibuk menyalak di balik pagar, entah menyalaki apa. Namun, istrinya tampak tak suka diabaikan, wanita itu kembali bicara, kali ini dengan suara kencang, lebih kencang dari suara salak anjing itu.
“Apa yang kau lakukan selagi aku bekerja? Tidak ada!”
Sekali lagi, pria itu meminum birnya, kemudian mengembuskan napas kuat-kuat. “Aku mengurus anak kita, aku mengurus semua pekerjaan rumah, ketika harusnya kau mengerjakan semua itu dan bukan pergi dari pagi sampai pagi lagi entah ke mana,” jawabnya malas.
“Aku bekerja, untuk memenuhi kebutuhan kita.”
“Kebutuhanmu, jika kau lupa.”
“Kau pikir dari mana uang untuk membeli beras, membayar listrik, membiayai sekolah Kate, juga melunasi cicilan rumah ini? Apa kau pikir semua uang itu jatuh dari langit dengan kau berdiri di sini menunggu untuk memungutinya?”
“Ya, kau patut bangga untuk itu.”
“Iya, karena semua itu uangku, hasil kerja kerasku, dan itu bukan hanya untukku, tapi untuk kita.” Suara wanita itu makin lama makin kencang, entah berlomba dengan siapa, padahal anjing tetangga sudah berhenti menyalak dan kembali ke kandangnya untuk tidur.
“Aku akan percaya itu andai tidak tahu apa yang kau kerjakan.”
“Aku tidak akan melakukannya jika kau mau bekerja dan bukannya membuang-buang waktu—”
“Kau akan tetap melakukannya.”
“Jangan salahkan aku jika kau memang tidak berguna.”
“Apa pria itu sudah tak membutuhkanmu? Karena itu kau di sini dan meracau dan bukannya pergi?”
Wanita itu tak lagi menjawab. Dibuangnya rokok yang tinggal separuh ke lantai dan diinjaknya dengan tumit sepatu hak tingginya. Kemudian, pria itu bisa melihat melalui ekor matanya, istrinya membalikkan badan dan menyeka ujung matanya, lalu pergi dan tak pernah kembali lagi.
Pria itu mengembuskan napas. Meninggalkan balkon ketika terdengar suara siulan kencang dari teko air di dapur. (*)
SU, 17 Juni 2022
N. Insyirah atau Aira, perempuan yang sedang belajar menulis ini menyukai warna oranye dan buah orange.
Editor: Imas Hanifah
Gambar: Pixabay