Bukan Sekadar Tik Tok
Oleh : Atika Khilmiyati
Matahari menantang penduduk bumi dengan panasnya siang itu. Ia tampak jemawa menunjukkan bahwa dirinyalah pemilik energi panas yang paling kuat di galaksi ini. Seorang Ruminah berjalan dengan gontai sambil membawa seikat rumput di punggungnya. Jalanan menuju rumahnya yang menanjak, membuat ia bergerak bagaikan siput.
*“Olih akeh, Yu?” Pak Bejo yang mengendarai sepeda menyapanya sambil berlalu.
“Alhamdulillah,” ucap Ruminah sedikit berteriak. Ia kemudian menurunkan rumput ke tanah karena merasa perlu beristirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan. Tenaganya seakan habis untuk merawat tanaman cabe miliknya. Hari ini ia harus menyemprot pestisida di seluruh lahan. Usianya sebenarnya telah senja, akan tetapi kebutuhan ekonomi memaksanya bekerja layaknya mereka yang masih muda.
Ruminah duduk di bawah pohon Mahoni yang rindang sambil menenggak air mineral dari botol yang dibawanya dari rumah tadi pagi. Pohon Mahoni di ujung tanjakan yang menghadap ke hamparan tanaman cabe memang selalu menjadi tempat favoritnya. Tanaman yang menjadi komoditas pertanian utama Desa Bulukuning itu terhampar indah sejauh mata memandang.
Tempat di mana ia duduk saat ini selalu mengingatkannya pada anak sulungnya. Dulu Ruminah selalu mendengarkan mimpi-mimpi putrinya yang selalu mendapat peringkat satu di kelasnya itu dengan senyum. Sayang pergaulan yang salah mengubah semuanya.
“Kamu di mana Sarni? Tobat, Nak! Pulang! **Biyunge kangen,” ucap Ruminah dalam hati. Matanya masih saja mengembun ketika monolog itu terus diulangnya, entah sudah ribuan kali.
Suara azan zuhur dari musala menyadarkan ruminah dari lamunan panjangnya. Ia kembali mengangkat rumput ke atas punggungnya dan berjalan pulang.
Sesampainya di rumah, Ruminah ingin bergegas menuju kamar mandi untuk menghilangkan keringat yang membanjiri tubuhnya. Namun suara teriakan Sarti–putrinya–yang terdengar dari ruang tamu mengurungkan niatnya.
“Kamu itu, masih kecil. Jangan nonton video seperti ini di handphone!” teriak Sarti dengan pandangan nyalang. Kemarahan tampak jelas di matanya.
Doni yang ada di samping Ridho ikut menciut. Melihat kemarahan yang ditunjukkan Sarti, ia takut jika Ridho-temannya akan menyampaikan kepada bibinya jika dirinyalah yang tadi mengajaknya menonton di aplikasi tersebut.
“Hanya video biasa, apa salahnya?” jawab Ridho tak mau kalah. Ia berusaha mengambil handphone yang telah direbut paksa oleh Sarti. Sayang usahanya sia-sia. Tubuhnya yang mungil tentu belum bisa mengimbangi tenaga bibinya.
“Kamu tidak tau kan siapa yang ada di video itu? Sekarang cuma lihat video ini. Besok-besok kamu cari tau video yang lain. Bisa-bisa nanti kamu meniru perbuatannya.”
“Ah, itu yang sekarang lagi viral. ***Lilik aja yang gak gaul!”
“Kamu itu, dikasih tau melawan aja!” Sepertinya kemarahan Sarti sudah memuncak. Ia mengambil sapu yang ada di pojok ruangan dan memukulkannya ke Ridho.
“Sarti, hentikan! Apa yang kamu lakukan?” Ruminah berteriak sambil mendekati cucunya. Ridho tampak ketakutan dan menangis. Doni hanya diam saja, dia sama takutnya.
“Biyung, Lilik Sarti galak,” ujar Ridho lirih di sela tangisannya. Ia kini meringkuk dalam pelukan neneknya.
“Kamu ini kenapa Sarti?” Memang apa salah Ridho?” tanya Ruminah pada putrinya.
“Aku hanya memperingatkannya, Yung. Tapi dia malah melawan,” jawab Sarti dengan sorot mata yang masih sama.
“Cuma lihat video Tik Tok, apa yang salah?” Ridho menyahut, kali ini ia tampak lebih berani karena ana nenek yang menjadi banteng perlindungannya.
“Apa kamu bilang?” Anak masih bau kencur, belum tau benar salah. Sudah susah dikasih tau!” balas Sarti semakin emosi. Tangannya hendak mengayunkan sapu ke arah Ridho kembali tapi tatapan dan teriakan Ruminah membuatnya urung.
“Sudah-sudah! Doni, ajak Ridho salat zuhur di mushola sana. Jangan bermain handphone saja!”
Perintah Ruminah langsung dikerjakan oleh Doni. Mereka berdua berjalan keluar rumah menuju ke mushola. Tinggal mereka berdua dalam ruangan itu dalam kesunyian. Ruminah menatap wajah anaknya yang sekarang terdiam di kursi.
“Ada apa Sarti? Kalau cuma bermain handphone, jangan menegur Ridho terlalu keras seperti tadi! Bagaimanapun ia baru kelas tiga SD,” ucap Ruminah dengan suara lembut.
Sarti menatap wajah ibunya, kemudian terdiam lama. Tak satu katapun keluar dari mulutnya. Sekuat tenaga ia berusaha menahan gejolak di hatinya.
“Sarti,” ucap Ruminah sambil duduk di samping anak gadisnya.
“Memang tadi hanya video Tik Tok biasa, Yung. Tapi pemerannya adalah orang yang sedang viral karena berhubungan dengan sesama jenis,” jelas Sarti dengan raut muka sedih.
Ruminah sebenarnya tidak paham dengan apa itu Tik Tok dan viral, tetapi kalimat terakhir anaknya cukup membuatnya mengerti. Sarti berbuat demikian karena luka lama itu seakan menganga kembali.
“Sarti tidak ingin, Ridho akan meniru ibunya kelak. Memilih jalan yang salah dengan pasangan wanitanya dan melupakan kita-keluarganya.” Kali ini sesak yang sedari tadi ditahan akhirnya tumpah juga dalam wujud air mata. Ia kemudian berlari menuju kamarnya.
Ruminah kali ini terdiam, kini sesak yang tadi dirasakan Sarti justru berpindah ke hatinya. Meskipun sudah enam tahun berlalu, nyatanya peristiwa kepergian Sarni masih meninggalkan luka yang belum terobati.
“Ya Allah, buka hati putriku.”
Doa seorang ibu yang tak akan berhenti terucap sampai menembus langit. (*)
Catatan kaki:
*“Olih akeh, yu?”= “Dapat banyak, bu?”
**Biyung= Ibu
***Lilik= Bibi
Atika Khilmiyati, Ibu dari dua anak yang menyukai hutan dan pantai. Saat ini ia membersamai anak-anak SDN 5 Purwanegara untuk belajar dan berusaha menggapai impian mereka. Menulis merupakan kegiatan yang mulai ditekuninya beberapa tahun ini, ia berharap dapat terus belajar sehingga menghasilkan karya yang berkualitas dan bermanfaat untuk orang banyak.
Editor: Imas Hanifah
Gambar: Pixabay