Aku Benci Hari Itu

Aku Benci Hari Itu

Aku Benci Hari Itu

Oleh: Erien

 

“Siapa cinta pertamamu, Kiara?” tanyamu sore itu.

Aku merasa wajah ini memanas. Malu. Namun, ketenangan yang kamu perlihatkan, perlahan membuatku rileks kembali.

“Belum ada,” jawabku sambil mengedikkan bahu.

“Masa, sih? Yang sedang nanya sama kamu, ini? Memang kamu nggak cinta?” Alis tebal milikmu naik turun menggodaku.

Seketika aku tertawa. “Yeee … genit!” Kujulurkan lidah, lalu tertawa lagi.

Gadis pemalu sepertiku, hanya nyaman bercerita padamu. Semua rahasiaku kamu tahu. Saat kita bersama, bibirku seakan tak mau berhenti bicara. Waktu kita bersua memang kadang tidaklah lama. Untungnya Ibu mengizinkan, jadi berdua hanya denganmu dapat kunikmati dengan mudah.

“Nggak mau cinta-cintaan. Besok aja sekalian nikah.” Perkataanku disambut tepukan lembut di bahu.

“Bagus,” katamu. “Kita nge-date, yuk?”

“Kapan?” Tanpa malu, aku menyambut antusias. “Sekarang, ya? Pamit Ibu sekalian ganti baju. Tunggu sebentar.” Aku lalu berlari ke kamar.

Setelah berpamitan kepada Ibu, kini kita membelah udara sore di hari Minggu. Berboncengan di atas motor, kulingkarkan tangan di pinggangmu. Kusandarkan pula kepala ini di punggungmu. Nyaman sekali. Sesaat aku berdoa semoga Allah selalu menjagamu, dan menghadirkan sosokmu kapan pun aku butuh.

“Kita ke mana, Kiara?” tanyamu.

“Terserah. Ikut aja.” Setengah berteriak kujawab pertanyaanmu, mengalahkan deru angin yang menyapu wajah.

“Ngebakso, yuk. Laper, nih!” ajakmu, sambil menepuk pelan tanganku.

Kita menepi di warung bakso langganan. Sepi. Bapak penjual bakso menyapa dengan senyum aneh. Mungkin heran melihat gadis muda datang bersama pria dewasa. Aku tak peduli. Kita lalu duduk berhadapan. Tak berapa lama, pesanan datang.

Sambil bercanda, kita habiskan dua mangkok bakso dengan cepat. Wajahmu tampak memerah, kepedasan. Segelas es teh yang kusodorkan, kamu habiskan dengan cepat. Duh, tak tega melihatmu seperti itu. Namun, kamu malah tertawa, lalu mengunyah permen yang katamu bisa mengurangi rasa pedas.

“Kita nonton, ya. Filmnya kesukaanmu, lho.”

Aku heran, memang kamu tahu apa kesukaanku?

“Film horor!” Kamu seolah-olah tahu isi pikiranku.

Aku spontan melotot. Itu genre film yang paling kubenci. Tawamu lepas, seakan puas melihat wajah kagetku.

“Ya udah, kita muter-muter aja, ya?”

Aku setuju. Kota ini lumayan menyenangkan untuk dinikmati. Akan kutinggalkan jejak kenangan bersamamu di tiap sudutnya.

Sudah pukul 17.15 saat ponselku berbunyi. Kamu menepi, lalu kuangkat ponsel dan melihat siapa yang menelepon.

Ibu.

Saat kuangkat, bukan Ibu yang menjawab. Suara terbata-bata milik tetangga membuatku gugup. Ibu!

Tak lagi kunikmati perjalanan kita. Bahkan, aku tak peduli saat kamu membawa motor itu dengan kecepatan di atas rata-rata.

Entah apa artinya, titik hujan mulai turun perlahan. Sial, kita tak membawa jas hujan. Aku sendiri sebenarnya tak peduli. Cemas di hati mengalahkan rasa yang biasa bahagia saat titik air mulai deras. Pikiranku hanya tertuju pada Ibu. Kita melaju menuju sebuah rumah sakit yang dikabarkan lewat WA.

Ibu ditemukan tergeletak di teras rumah oleh tetangga, lalu segera dilarikan ke rumah sakit. Begitu yang kudengar saat tiba di ruang IGD. Kamu mencegahku yang histeris, ingin masuk menemui Ibu. Beberapa perawat jaga mengisyaratkan aku harus tenang, kalau ingin melihat ke dalam. Kamu berinisiatif masuk melihat Ibu. Sementara, aku menenangkan diri, lalu masuk menyusulmu.

Aku masih ingat dengan jelas. Hujan bukan hanya turun dari langit. Sore itu, deras titik air juga turun dari mata. Menyerah dengan serangan jantung, Ibu hanya sempat menatapku sebentar, lalu terpejam. Selamanya. Ya Allah … tidak.

Hati ini hancur. Teman hidupku pergi. Wanita tercinta menuju surga lebih dahulu. Aku meraung di tengah deru hujan. Memukul angin dengan liar, berharap keajaiban hujan bisa mengembalikan Ibu. Ya Allah …. Kenapa? Kenapa Kau ambil Ibu?

Kuingat wajahmu sama kelam sepertiku. Air mata juga deras di pipimu. Kamu mendekatiku yang histeris, lalu memeluk erat. Sekuat apa pun aku meronta, kamu tetap memelukku. Hingga akhirnya aku meratap, tersedu atas takdir yang kuanggap tak adil.

“Menangislah, Kiara. Tapi jangan seperti ini. Semua adalah takdir,” bisikmu di telinga.

Aku memukul-mukul dadamu, mencoba mengingkari semua. Namun, inilah kenyataan. Ibu tiada. Aku benci hari itu.

Hujan berhenti ketika aku tenang, seakan-akan tahu bahwa hati ini sedang gundah. Mungkin tetesnya akan datang lagi nanti, membawa kebahagiaan lain, mengganti yang terenggut hari ini. Tanpa sadar, mataku berkabut mengingat saat itu. (*)

Kotabaru, 13 Mei 2022

 

Erien. Pembaca yang mencoba ikut menulis. Masih terus belajar agar tulisannya enak dibaca dan mudah dipahami. Kenali lebih dekat di akun FB-nya Maurien Razsya.

 

 

Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay

Leave a Reply