#Kelas_Menulis_Lokit
Gubuk Kayu di Tepi Laut
Oleh: Retno Ka
Di bawah pendar bulan separuh, seorang tua bernama Nurima duduk dengan air muka batu. Matanya memandang lurus ke hamparan pantai yang menyambung langsung dengan pelataran rumahnya. Pikirannya seakan terapung-apung bersama debur ombak di kejauhan.
Ia mengingat saat kedatangannya kali pertama, tepat empat puluh satu hari setelah kepergian ibu mertuanya. Karmin, sang suami, tiba-tiba mengajaknya pindahan tanpa menjual rumah mendiang sang ibu. Nurima tak bertanya dari mana Karmin punya uang, barangkali itu adalah jerih payah yang dikumpulkan Karmin sejak masih lajang. Nurima percaya saja, tetapi desas-desus yang didengarnya tanpa sengaja dari beberapa tetangga di kampungnya semula, sempat membuatnya kepikiran. Mereka menuding suaminya telah bersekutu dengan penunggu laut untuk memiliki rumah baru. Padahal, jika dilihat-lihat, rumah itu bahkan tidak lebih bagus dari rumah para nelayan di sekitarnya. Dindingnya hanya terbuat dari papan kayu yang tampak aus di beberapa bagian, dan atapnya terbuat dari seng.
“Rumah ini ada sebagai jawaban atas semua doamu. Bukan karena perasangka buruk mereka.” Berkata Karmin, di hari pertama ia menyeruput teh di rumah baru. Seolah mengerti dengan kecemasan sang istri.
Nurima tersenyum, meyakinkan diri bahwa ia tidak ragu.
“Meski rumahnya jelek begini, paling tidak kita bisa lebih tenang karena sudah jauh dari orang-orang bermulut banyak itu,” lanjut Karmin.
“Jangan terlalu keras sama tetangga, Mas. Mereka yang pertama datang kalau kita kena musibah.”
“Iya, maaf.” Karmin terdiam lama sebelum melanjutkan perkataannya. “Aku sebenarnya cuma pengin kamu tidak tertekan. Mungkin dengan begitu … kamu bisa hamil.”
Hamil? Nurima ingat bagaimana aliran darahnya tiba-tiba merasa sejuk saat itu. Ia bukan tersinggung, hanya tidak menyangka jika kata itu keluar dari mulut Karmin yang hanya tahu bercanda. Sejak semula, ia pikir Karmin menikahinya hanya agar ibunya ada yang merawat. Itu bukan suatu masalah baginya, justru ia bahagia diberi kesempatan untuk memiliki sesosok ibu yang dirindukan sejak ingatannya menyala. Ia pun bukan tidak pernah iri jika mendapati tetangganya ada yang melahirkan. Namun, ia hanya merasa cukup dengan hari-harinya yang sibuk untuk merawat sang mertua yang sepuh dan setengah lumpuh.
“Bisakah? Sudah sebelas tahun ….” Nurima hanya sanggup mempertanyakannya dalam hati.
Lalu, begitu. Beberapa hal yang tidak masuk di akal manusia, kadangkala sengaja ditampilkan oleh alam sebagai sesuatu yang wajar. Barangkali supaya mereka bisa melihat, ada satu kuasa di atas semua keputusan.
Bayi perempuan lahir. Tepat ketika satu tahun Nurima dan Karmin tinggal di rumah kayu. Namanya Jora, dan ia memang terdengar seperti nama bintang yang bersinar cerlang di ketinggian. Sebab wajahnya yang bersinar begitu indah, telah meluluh-lantakkan segala bentuk kesunyian yang menaungi malam-malam Nurima dan Karmin.
“Ibu, Jora ingin tinggal di Semat selamanya.”
Jora kecil tumbuh begitu manis. Setiap hari ia menghabiskan waktu untuk bermain dengan pasir putih dan riak laut yang menjilat-jilat bebatuan. Di kala senja merekah, bersama anak-anak para nelayan. Sesekali ia pun jajan di warung-warung yang lama-lama mulai memadati pantai.
Waktu banyak mengubah sesuatu, tapi tidak dengan Karmin yang masih setia menjadi pengukir kayu. Hidup di dekat laut tidak serta merta membuatnya berpindah profesi menjadi nelayan. Ia sesekali ikut melaut bersama tetangga-tetangganya, sering juga memancing dan menebar jala ketika petang memicing. Namun, jiwa kecilnya selalu kembali pada panggilan untuk membentuk sulur-sulur bunga semak yang dihapalnya luar kepala. Hanya saja, di sana tidak ada produsen meubel yang mempekerjakannya. Ia akhirnya mengambil inisiatif untuk memproduksi sendiri souvenir-souvenir dengan ukiran sederhana yang kemudian akan dijualnya di sebuah toko oleh-oleh. Sejak itu, Nurima tertarik untuk coba-coba membuat kerajinan tangan dari cangkang-cangkang kerang.
Lambat laun, nama Karmin dan Nurima sebagai pasangan pengrajin souvenir mulai tersebar hingga ke luar kota. Mereka tidak lagi hanya menitipkan kerajinan kayu dan kerang ke toko oleh-oleh. Sebab, orang-orang dari luar itu mulai berdatangan sendiri dan memesan kerajinan sesuai keinginan. Kadangkala, orang-orang itu memesan untuk dijadikan koleksi pribadi. Kadangkala, untuk dijual kembali.
***
Suatu hari, datang seorang pemuda berpawakan tinggi, putih, dan bermata runcing. Ia memesan seribu gantungan kunci dengan model yang berbeda-beda setiap sepuluh biji. Karmin dan Nurima kelimpungan. Pesanan mereka tidak pernah sebanyak itu. Akhirnya, mereka pun meminta bantuan tetangga yang sedang menganggur.
“Diambil kapan, Nak?” tanya Nurima setelah mempersilakan pemuda bermata runcing duduk.
“Sejadinya saja, Bu,” jawab pemuda. Nadanya ringan tapi terdengar mantap. Wajahnya memancarkan pesona yang tidak biasa. Terkadang, sampai Nurima dan Karmin lupa berkedip. Pesona itu menghipnotis Nurima untuk bertubi-tubi mengeluarkan kudapan yang ia simpan di dalam lemari. Karmin menyenggol lengan Nurima, dan berbisik di telinganya. “Nur, kapan kamu membuat semua ini?”
“Belum lama,” jawab Nurima ikut berbisik.
“Halah, selama ini makananku cuma singkong goreng, singkong goreng, singkong goreng.”
“Tidak mudah menemukan singkong di pesisir. Bersyukurlah, Pak.”
“Aku bahkan tidak pernah melihat Jora memakan kue-kue ini.”
“Ssst! Diam, Pak. Tamu kita bisa dengar.”
Pemuda itu memang mendengar. Ia hanya tersenyum samar, pura-pura tidak mengerti bahasa mereka. Nurima lalu memanggil Jora, menyuruhnya untuk membuatkan teh. Tak lama Jora datang, dan menyuguhkan tiga gelas teh di meja. Karmin berdecak, menggoda Jora.
“Halah, Nduk, kenapa Bapak sama Ibu repot dibikinkan minum juga?”
“Iya, Nduk. Satu saja buat tamunya,” tambah Nurima.
Gadis dengan bibir mungil itu hanya tersenyum.
Lalu, ia mengangguk kecil kepada pemuda itu yang rupa-rupanya langsung memerah padam wajahnya. Betapa lelaki, juga bisa tersipu.
Saat Jora telah kembali ke dapur, pemuda itu melontarkan pertanyaan.
“Kalau boleh tahu, apa adik itu anak Bapak sama Ibu?”
“Iya, Nak. Bagaimana, mirip sekali toh sama saya?” Seloroh Karmin sambil tergelak sendiri. Sampai Nurima mendaratkan tepukan di paha kanannya.
“Loh, ibu ini tidak terima? Padahal memang mirip sekali. Iya, kan, Nak?”
Nurima hanya menarik napas panjang, tampak malas sekali menimpali suaminya.
Pemuda itu menahan tawa.
“Jora itu, entah bagaimana, parasnya paling elok di keluarga besar kami. Bahkan semua anak di desa ini tak ada yang mengalahkan eloknya.”
“Iya, Nur, iya. Ibu lain malah menganggap putri mereka sebagai yang tercantik di dunia,” goda Karmin.
“Aku bilang begini bukan karena aku ibunya. Bahkan, jika aku orang asing yang baru pertama kali melihatnya, pendapatku tidak akan berubah.”
“Iya, Bu. Saya setuju,” timpal pemuda itu dengan nada bersemangat. Matanya berbinar-binar, dan senyumnya merekah lebar.
Nurima dan Karmin pun saling bertukar tatap. Mereka terkejut, tapi Karmin segera mencairkan kecanggungan itu.
“Siapa tadi namamu, Nak?”
“Ligan, Pak.”
Begitulah perkara dimulai. Ligan jelas menunjukkan ketertarikan kepada Jora yang kartu kependudukannya baru berusia tiga hari. Anehnya, meskipun Nurima begitu semangat mengunggul-unggulkan anak gadisnya sendiri, ia tampak tidak senang dengan situasi itu. Saat Ligan meminta nomor handphone dengan dalih untuk menanyakan perkembangan pesanannya, Nurima sempat tak membolehkan Karmin untuk memberikannya. Sebab handphone di rumah itu hanya satu, handphone milik Jora. Nurima cemas dengan kemungkinan-kemungkinan yang ada di kepalanya.
***
Gantungan kunci yang dipesan Ligan selesai dalam waktu dua bulan lima belas hari. Itu adalah upaya maksimal dari Nurima untuk mempercepat pesanan itu. Bahkan, ia melarang Karmin untuk mengecek ulang kondisi barang. Semua hanya dihitung dan langsung dibungkus. Kalau saja Ligan meminta dikirim melalui ekspedisi, pasti Nurima akan senang hati. Sayangnya, Ligan berpesan bahwa ia akan datang sendiri untuk mengambil barangnya.
Nurima ingin sekali supaya tak frustrasi, tapi saat mengingat gelagat Jora yang berbeda selama dua bulan terakhir, ia tak bisa. Jora masih tetap rajin berangkat ke sekolah setiap pagi, lalu membantunya melakukan apa pun ketika siang, juga tetap berkumpul dengan teman-temannya di waktu sore. Namun, ketika malam tiba, barangkali sekitar pukul sembilan, ponselnya akan berdering dan membuatnya segera meraih jaket dan berlari ke tepi pantai. Jora mengangkat telepon, dan Nurima seratus persen yakin bahwa itu adalah panggilan dari Ligan.
Nurima menceritakan kecemasannya pada Karmin, dan pria tua itu hanya menanggapi sekadarnya seperti biasa. Seolah-olah, itu bukan masalah serius. Maka, ketika apa yang ditakutkan Nurima benar-benar terjadi, sudah wajar jika Karmin menjadi sasaran kemarahan yang tak henti-henti.
Bertutur Ligan, sesaat sebelum pulang membawa lima kardus barang yang ia pesan.
“Pak, jika diperbolehkan, lusa saya ingin membawa keluarga saya untuk menemui Bapak.”
***
“Seharusnya Bapak tidak pernah mengizinkan Ligan datang dengan orang tuanya.”
Nurima terus mengungkit-ungkit sikap Karmin yang baginya tidak tegas. Bahkan, sesudah Jora resmi menjadi istri Ligan.
“Sejujurnya, apa itu salahku, Nur?” tanya Karmin dari hati ke hati.
“Ya. Siapa lagi?”
“Bagaimana denganmu, apa tidak merestui pernikahan Jora?”
“Jora belum cukup umur untuk menikah.”
“Apa kalau Jora sudah berumur tiga puluh tahun kamu akan merestuinya, Nur?”
Nurima terdiam. Karmin tahu betul, masalahnya bukan pada usia Jora. Melainkan pada kesiapan hati Nurima sebagai seorang ibu. Jika ia mau mengakui, bukan hanya Ligan yang beruntung memiliki Jora, tetapi Jora juga beruntung memiliki Ligan. Sudah tampan, sukses di usia muda, dan paling penting penyayang. Jika ada yang kurang pada diri Ligan, itu hanya satu, Ligan … tinggal di pulau seberang.
Sayangnya, satu kekurangan itu adalah hal yang paling Nurima takuti sejak Jora hadir di perutnya.
***
Angin laut bertiup kencang. Menggerakan pohon-pohon waru yang berderetan dan menerpa wajahnya yang kerontang. Seharusnya ia masuk ke rumah dan menggulung diri dalam selimut tebal. Namun, ia masih duduk dengan posisinya itu. Seolah-olah tidak akan terusik jika ada topan badai sekalipun.
“Tetangga-tetangga kita dulu bilang, kalau Bapak bersekutu sama penunggu laut.”
“Mereka orang kurang kerjaan, Nur.”
“Jangan-jangan mereka benar, Pak.”
“Benar apanya?”
“Laut menitipkan sesuatu buat kita rawat, dan sekarang ia mengambilnya lagi.”
“Maksud kamu Jora?”
“Semua malah jadi masuk akal, Pak.”
“Aku tahu kamu marah, Nur. Tapi jangan ngomong begitu. Itu terdengar seperti kamu tidak mengakui keberadaan Tuhan selama ini.”
Bulan separuh telah tertutup mendung, dan angin kencang, kembali berembus. Di kejauhan, ombak besar bergulung-gulung. Hujan akan segera turun, tetapi Nurima belum ingin masuk. Pikirannya masih mengembara, kepada Jora di pulau seberang. Kepada percakapan-percakapan terakhir, dengan suaminya.
Jepara, 20 Juli 2022
Retno Ka, Ibu dari seorang anak lelaki. Menyukai hijau, dan laut.
Editor: Evamuzy
Sumber gambar: pinterest.com