Bukan Kejatuhan Bulan
Oleh: Erien
Saya baru saja selesai membuang sampah di depan rumah ketika salah seorang teman datang dengan bibir tersenyum tetapi matanya tidak. Terlalu kentara bahwa lengkung yang seharusnya indah itu sangat dipaksakan. Sudut matanya datar, tidak kompak dengan bibirnya.
Setelah membalas senyumnya, saya mengajaknya masuk. Saya tinggal sebentar untuk membasuh tangan dan membawa sekadar air putih dan pisang goreng sisa sarapan tadi pagi. Saat kembali menemuinya di teras, saya menyadari bahwa dia duduk melantai sembari melamun. Harus saya tepuk bahunya untuk memberi tanda bahwa saya sudah ada di sebelahnya.
Tidak biasanya dia seperti ini. Bahkan, jika dia sedang tidak pegang uang atau tidak ada beras di *padaringan, dia tidak seperti ini. Buat saya, dia adalah salah satu sahabat yang penuh energi positif. Itulah salah satu alasan kenapa saya betah bersahabat dengannya.
Pertanyaan “kenapa?” tidak perlu saya ucapkan karena setelah hela napas yang panjang dan dua teguk air, dia mulai bersuara.
“Aku bakal jadi artis medsos, nih.”
Tentu saja saya terkejut sekaligus ingin tahu. Namun, saya bukan tipe orang yang langsung bertanya mendetail. Jadi, yang keluar dari mulut saya adalah, “Oh, ya? Keren, dong.”
Dia menggeleng sambil mendorong kucing saya yang baru datang dan berusaha naik ke pangkuannya.
“Kemaren, Pak Pejabat ini datang ke rumah.” Dia menunjuk gambar di kaus yang dia pakai. Itu gambar seorang pejabat yang sering saya lihat kontennya.
Seketika saya terbelalak. Jadi, ada kemungkinan dua hari kemudian, teman saya ini akan masuk semua akun media sosial bapak tersebut. Pun akan dibagikan oleh pendukung beliau. Benar juga, sebentar lagi dia bakal jadi artis medsos selama beberapa hari.
Hanya saja, kenapa bukan raut wajah senang yang dia tampakkan?
Tidak lama kemudian, dia bercerita tentang kedatangan pejabat yang tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan, lalu si pejabat yang langsung saja masuk dapur untuk mengecek apa yang dia masak tanpa bertanya apa dia bersedia menunjukkannya. Juga tentang pertanyaan pekerjaan suaminya–yang sejauh saya tahu–sebagai pekerja serabutan. Kadang dapat uang tetapi lebih sering pulang dengan tangan kosong. Teman saya itu jadi kuli cuci gosok di perumahan dekat rumahnya untuk menambal bolongnya pendapatan sang suami.
Dulu, sempat beberapa kali dia bercerita terkadang mereka berempat, anaknya ada dua, hanya makan berlauk mi instan sebungkus dengan kuah sepanci kecil ditambah garam. Sering pula mereka makan berlauk sambal alias cabe diulek dengan garam dan micin. Kata dia, yang penting ada nasinya.
Saat Pak Pejabat masuk dengan entengnya ke dapur, teman saya itu tergagap-gagap. Kata dia, satu tim dokumentasi masuk semua ke dalam dapur sempitnya, membuat dia merapat mendekati pejabat itu.
Teman saya saat itu sedang memasak nasi di dandang dengan dua tahu yang diletakkan di atas nasi. Pak Pejabat mengangkat tutup, lalu bertanya apa suaminya memberi uang setiap hari. Dengan jujur dia menjawab tidak. Bahkan lebih sering tidak.
Pak Pejabat memberikan sejumlah uang setelah banyak bertanya dan memuji betapa bersih rumah teman saya itu. Saya setuju dengan Pak Pejabat. Rumahnya memang rapi dan bersih.
Lima ratus ribu adalah jumlah yang cukup besar untuknya. Namun, setelah Pak Pejabat itu berlalu, teman saya mulai tidak nyaman.
Okelah jika perihal nasi dan tahu dianggap terlalu sederhana sehingga perlu dibantu, dia tak masalah. Namun, tentang Pak Pejabat yang datang tak diundang dan uang itu, membuat dia berulang kali disindir para tetangga yang sebenarnya kondisinya tidak jauh berbeda.
Menurut cerita teman saya itu, mereka mengira uang yang diberikan jumlahnya berjuta-juta. Lalu, tiap kali melewati rumah teman saya, mereka menyindir bahwa sekarang rumahnya tampak adem. Menurut saya, kata-kata itu tidak seperti sindiran. Namun, saya mendengarkan saja apa katanya. Toh, dia yang lebih paham. Adem itu karena penghuninya berduit.
Beberapa jam sebelum dia datang ke rumah saya, dia yang gerah karena banyak disindir akhirnya memutuskan membagi sisa uang yang diberikan Pak Pejabat. Tiga ratus ribu dibagi per rumah lima puluh ribu. Yang dua ratus sudah berubah menjadi buku dan sepatu sekolah anaknya.
Suaminya marah. Mereka bertengkar di depan rumah. Semua tetangga yang tadinya ada di luar langsung masuk rumah masing-masing.
Tak ingin berlama-lama beradu kata, dia pun pergi, menuju rumah saya.
“Tadinya kupikir aku kejatuhan bulan. Ternyata ….”
Saya melihat teman saya itu menunduk sebentar lalu menatap jalan di depan seolah-olah berharap suaminya datang menjemput. Sementara, saya teringat spanduk di dekat toko sembako langganan saya. Terdapat foto Pak Pejabat dengan tulisan di bawahnya, “Pilih saya untuk warga yang sejahtera, damai, sopan, dan beradab.” (*)
Kotabaru, 20 Juli 2022
*Padaringan: Arti kata padaringan dalam Kamus Bahasa Jawa – Indonesia adalah tempat menyimpan beras.
Erien. Orang biasa yang tetap senang belum pernah rangking satu di kelas meski sudah berusaha belajar dengan giat.
• Cerpen yang menarik dan cara berceritanya pun begitu mengalir. Fenomena tentang tetangga yang menyindir tanpa tahu kebenarannya, merupakan salah satu hal yang begitu dekat dan tidak bisa dipungkiri sering terjadi. Pesan di dalam cerita ini pun begitu kuat dan dapat melekat di benak pembaca.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay