Sepotong Duka dan Kesaksian Sebatang Pensil Mekanik Merah Jambu

Sepotong Duka dan Kesaksian Sebatang Pensil Mekanik Merah Jambu

Oleh: Chan

Aku selalu ingat pertemuan pertamaku dengan Jenny. Saat itu ia baru berumur enam tahun. Ia tampak terpesona oleh tubuhku yang berwarna merah muda, warna yang sama dengan baju dan pitanya. Saking terpesonanya, hidung dan pipinya yang serupa moci dan sedikit kemerahan sampai menempel dan mengembang di kaca etalase saat memerhatikanku.

“Mama, aku mau yang itu,” katanya malu-malu saat menunjukku. Kemudian ia bersembunyi di balik wanita yang sama suburnya dengan dirinya ketika penjaga toko alat tulis menghampiri.

Mamanya setuju. “Pensil mekanik lebih awet dan lebih irit ketimbang pensil raut,” katanya sambil membuka ritsliting tas tangan kulit buaya imitasi.

Lalu, dengan selembar dua puluh ribu rupiah, aku berpindah tempat ke genggaman Jenny. Ia tertawa riang ketika mengelus-elus tubuhku. Binar matanya secerah sinar mentari yang merembes masuk dari kaca atas etalase saban pagi. Begitulah ceritanya aku menjadi benda kesayangannya.

Tujuh tahun berikutnya berlalu dengan cepat. Alat-alat tulis Jenny semakin beragam. Ada pulpen aneka warna, ada juga pena yang gagangnya bermotif kayu, pemberian opanya. Meskipun begitu, aku tetap tidak tergantikan. Kata Jenny, pensil lebih menyenangkan karena bisa dihapus dan jarinya sudah terlalu nyaman dengan tubuhku. Mendengarnya, aku merasa melayang di awan.

Selama itu, aku dan Jenny melewati banyak petualangan bersama, mulai dari belajar menulis ABC123, diary, hingga coba-coba menulis surat cinta di kertas jingga untuk seorang pemuda yang ia sebut dengan “si mata elang”. Ia sangat suka menulis. Ia melakukannya setiap hari. Bahkan ia sempat mengikuti kursus membuat puisi dan cerpen. Tentu saja pemuda itu kerap menjadi tokoh utama di sana. Semakin hari, ia semakin mahir. Aku amat bangga padanya.

Namun, setengah tahun belakangan, ia tak pernah tersenyum lagi ketika menulis. Wajahnya kerap digelayuti kesedihan. Aku mengutuk hari ketika itu dimulai; hari pertama ia masuk SMP.

“11 Juli 2002. Dear diary.” Begitu tulisnya dengan mata merah dan basah, “di sekolah banyak monster-monster mengerikan. Mereka bilang aku seburuk babi. Rasanya sakit sekali, seperti dikuliti.” Dua titik air matanya jatuh menimpa kata “babi” dan “dikuliti”. Oh, gadis yang malang. Andai aku punya tangan, akan kupeluk dia hingga hilang semua pedih di hatinya.

Semakin hari, isi tulisannya semakin kelam. Beberapa bahkan menyiratkan dendam dan kemarahan. Misalnya, saat Jessica dan Amelia menguncinya di kamar mandi, atau saat kedua teman sekelasnya itu menemukan surat cintanya dan menyebutnya babi yang tak tahu diri karena telah jatuh hati pada pangeran tertampan di sekolahnya. Seperti halnya seorang penulis, ia mengabadikan keduanya dalam karya-karyanya sebagai sepasang nenek sihir yang gemar menyantap anak-anak. Dan dalam karya itu ia juga memilihkan takdir terburuk untuk keduanya: mati terbenam dalam cairan tubuhnya sendiri.

Akan tetapi, itu semua tidak cukup. Api amarah terus berkobar dalam hatinya dan mewujud dalam goresan aksara lewat diriku. Dan di antara semuanya, yang paling kentara tertuang pada halaman bertanggal 15 November 2003. Tanggal itu tidak akan pernah kulupa.

Kekecewaan dan kemarahannya hari itu tertuju kepada mama dan papanya. Ia meminta pindah sekolah usai Jessica dan Amelia menjatuhkan seember darah ayam di kepalanya dan guru-guru berserta staf sekolah bungkam karena kedua anak itu adalah putri kesayangan para pemilik yayasan. Namun, mama dan papanya menolak dengan alasan sudah kepalang mengeluarkan biaya besar untuk pendaftaran.

“Mereka tidak sayang padaku! Tidak ada yang sayang padaku!” Ditulisnya semua itu dengan bercucuran air mata. Dalam setiap goresan bisa kurasakan penderitaannya. Dan perlahan-lahan sedikit cahaya keceriaan di tersisa wajah yang lelah itu memudar.

Cukup, Jenny. Cukup. Ambillah napas dan keluarkan semua rasa sakit itu dalam satu hentakan. Biarkan mereka keluar dan terbang dibawa angin. Semua akan baik-baik saja, kataku.

Seakan-akan suaraku tersampaikan, ia pun menyudahi ritual menulisnya. Namun, adegan berikutnya jauh berbeda dari yang kuinginkan. Ia melemparkan semua benda yang ada di meja belajar, termasuk aku. Tubuhku sampai retak dan moncongku sedikit bengkok karena membentur lantai. Aku berguling dan terus berguling menuju kolong tempat tidur dan baru berhenti setelah menabrak dinding. Semuanya gelap, tetapi aku masih bisa menangkap isakan samar setelah bunyi beling pecah. Tidak apa-apa, Gadisku. Tak usah pedulikan aku. Menangislah! menangislah yang lantang jika itu bisa meredakan kemarahanmu.

Jam terus berdetak. Sejak aku berada di posisi itu, kuhitung sudah sepuluh ribu kali ia berdetak. Terdengar bunyi kursi membentur lantai sebelum tangisan Jenny mereda. Sesudahnya hening, sangat hening. Bahkan jangkrik dan cecak pun tak bernyali untuk bersuara. Seakan-akan ada yang membuat mereka terbungkam Mungkin gadisku sudah terlelap. Tidurlah, akan kupeluk kau dalam mimpimu, kataku sebelum ikut terpejam.

***

Setengah tahun kulalui dengan menjadi penghuni kolong tempat tidur, teronggok dan terlupakan bersama gumpalan debu, benang laba-laba, dan bangkai kecoak. Gadis pemilikku tak pernah memungutku. Mungkin ia malas merogoh-rogoh ke kolong tempat tidur dan sudah memiliki pensil pengganti yang lebih baik dan mampu menemaninya menulis kisah-kisah bahagia.

Setelah penantian yang tampaknya terlalu panjang itu, akhirnya aku melihat sinar matahari lagi. Bukan Jenny, mamanyalah yang memungutku ketika ia sedang beres-beres. Wanita itu mengusap lembut tubuhku. Wajahnya terlihat seperti orang yang baru saja menemukan sekeping masa lalu yang dirindukannya. Dengan hati-hati dan kelembutan yang sama dengan putrinya, ia membersihkanku.

Kamar itu terasa berbeda; lebih teratur dan lebih lapang. Buku-buku dan novel yang biasanya berserakan kini tertata rapi. Hoodie merah muda dan tas sekolah yang biasa teronggok di kursi kini tergantung di belakang pintu. Tidak ada bekas kulit kuaci dan remah-remah camilan di kasur. Yang paling membuatku bahagia adalah jendela yang kini terbuka dan membawa udara segar.

Wanita itu meletakkanku di samping sahabat lamaku: buku harian Jenny. Kemudian ia membacanya, catatan demi catatan. Semakin jauh ia membaca, wajahnya semakin diselimuti duka. Di lembar catatan terakhir, tangisnya tumpah. 15 November 2003 tanggal yang tertera di sana. Mendadak aku teringat apa yang terjadi sehari setelahnya, juga memahami apa arti suara dobrakan pintu, jeritan histeris sang mama dan tangisannya di hari itu. [*]

 

Karawang, Juli 2022

 

 

Editor: Nadine Putri

Leave a Reply