Bang Rusdi
Oleh: Isnani Tias
“Ayah, maafkan aku. Jika aku waspada, jika aku tak seenaknya sendiri. Jika aku mendengarkan kata-kata Ayah untuk tetap di basecamp pagi itu, Ayah tak akan menjadi sasaran rentetan peluru dari serdadu Belanda. Ayah pasti tetap bernapas sampai saat ini.”
Kata-kata Mas Rusdi itu selalu menjadi ritual tiap paginya, sembari menatap bingkai yang menempel di dinding. Seperti saat ini, Mas Rusdi mengulang lagi kata-kata itu. Dia selalu memintaku untuk mendorong kursi rodanya menuju ruang tamu, tempat berbagai hiasan dinding terpajang dengan rapi.
Tangan Mas Rusdi menunjuk salah satu pigura yang berukuran 10R yang menjadi langganannya untuk diraba dan didekap. Dalam bingkai tersebut terdapat foto Ayah kami, medali tanda jasa dan satu buah kancing berwarna hijau TNI milik Ayah yang di genggam Mas Rusdi saat itu. Aku melepas pegangan kursi roda, lalu melangkah ke arah pigura yang terletak di atas bufet.
Mas Rusdi tanpa berkata pun, aku tahu apa yang dia mau. Ini juga rutinitasku tiap pagi, menemani kakak nomor dua, sebelum aku berangkat mengajar. Setelah berada di depan pigura itu, tanganku berusaha mengambilnya.
“Ini, Mas Rusdi,” ujarku seraya menyerahkan pigura tersebut.
Pria yang selalu meminta rambutnya dirapikan seperti potongan tentara itu, mengulurkan kedua tangannya tanpa ekspresi dan menaruh di pangkuannya sambil tetap dipegang tepi bingkai tersebut. Dulu, sebelum terjadi peristiwa terbunuhnya Ayah kami, sosok Mas Rusdi adalah pria yang humoris, meskipun dirinya seorang abdi negara. Namun sekarang, sosok itu telah lenyap bersama hilangnya nyawa Ayah tercinta kami di depan matanya.
Bukan Mas Rusdi saja yang satu-satunya bersedih. Kami–Ibu, Mas Ridho, dan aku–pun sangat sedih kehilangan sosok pemimpin yang tegas, disiplin dan pelindung di keluarga kami. Tetapi, ketegasan dan kedisplinan Ayah, tak mempan pada Mas Rusdi. Dia suka sekali membuat Ayah mengeluarkan tanduknya. Anehnya, Mas Rusdi memilih menjadi abdi negara seperti Ayah dan Mas Ridho. Katanya, biar terlihat gagah di mata orang tua kekasihnya.
Entah apa yang terjadi sebelumnya antara Mas Rusdi dan Ayah. Kami hanya mendengar cerita sepotong-sepotong.
“Aku melihatnya keluar dari basecamp pagi-pagi sekali,” ucap teman Mas Rusdi yang pada saat itu katanya dia sedang berolahraga.
“Iya. Padahal aku sudah melarangnya waktu lewat pos penjagaan. Kita semua dilarang keluar dari area basecamp tanpa seizin dari komandan,” sahut teman satunya yang kebagian piket jaga kala itu.
Dia juga bercerita kalau Komandan Ilyas merebut senjata laras panjang dari tangannya, ketika melihat abangku masuk ke dalam hutan. Kemudian, beliau menyuruh dia untuk mengikutinya.
“Kami pun bergegas masuk ke hutan. Entah apa sebabnya, Komandan Ilyas berlari sangat cepat. Saya pun ikutan berlari, tetapi kalah cepat dengan beliau. Walaupun beliau tak muda lagi, tetapi larinya seperti singa. Ada beberapa julukan untuk Komandan Ilyas, mulai dari: Anjing Pemburu, Mata Elang dan Serigala,” ucapnya dengan ekspresi serius. Sepertinya, dia sedang memutar ulang memorinya sepuluh tahun lalu.
“Saat terdengar suara tembakan, saya berhenti berlari dan mencari tempat berlindung di balik pohon besar. Tanpa senjata, saya seperti tanpa lengan.”
AYAAAH …!
“Terdengar teriakan, saya memberanikan untuk mengintip. Saya menutup mulut, saat mata ini melihat punggung seseorang berkaos loreng bergetar dan berjongkok sambil memeluk seseorang.”
Sayangnya hanya sampai di situ cerita dari teman Mas Rusdi. Mereka saat itu, mendadak mendapat panggilan dari atasan. Aku menghela napas. Rasanya belum puas, seperti menonton film dengan ending menggantung. Huft!
Aku kembali fokus dan memperhatikan apa yang dilakukan oleh Mas Rusdi dengan bingkai itu. Seperti yang aku katakan tadi, setelah ritual kata-kata, dia meraba. Eh, bukan. Lebih tepatnya mengelus-elus foto, medali dan kancing baju yang dilindungi oleh lapisan kaca. Tak lama, jatuhlah setetes, dua tetes cairan bening di kaca itu. Kemudian, didekapnya bingkai tersebut. Tubuhnya mulai bergetar. Mas Rusdi menangis tanpa suara.
“Apa yang Mas Rusdi rasakan? Keluarkanlah. Jangan dipendam seperti ini.” Aku berlutut sembari memegang bahunya. “Mas Rusdi harus mengasihi diri Mas sendiri. Ayah pasti sedih, kalau Mas seperti ini terus.”
Tubuh Mas Rusdi sudah tak bergetar lagi. Dia menatapku tanpa ekspresi.
“Kami semua sayang Mas Rusdi. Apa Mas Rusdi tak sayang sama Ibu?” lanjutku seraya melirik wanita yang rambutnya mulai memutih itu bersandar di batas pintu ruangan tamu dan ruangan tengah. Pipi beliau dibiarkan basah oleh air mata.
Kemudian, aku alihkan pandangan mata pada Mas Rusdi. Dia menghela napas. Seolah-olah ingin berucap.
“Apa yang mengganjal di diri Mas Rusdi, keluarkan. Adikmu ini, siap mendengarkan.” Aku tatap terus matanya.
Dia hendak mengeluarkan kata, tiba-tiba terdengar suara helikopter yang melintas. Suaranya terdengar bising sekali. Mungkin helikopter terbangnya terlalu rendah.
“Ayo, cepat mengungsi! Cepat kemasi barang-barang yang penting!” teriak Mas Rusdi seraya berdiri dan menjatuhkan pigura yang dipegangnya tadi.
Aku pun terkejut, melihat Mas Rusdi berdiri dan berlari ke teras. Sudah sepuluh tahun, sejak meninggalnya Ayah, kaki Mas Rusdi tak bertenaga lagi. Dan sekarang, langsung bisa berlari. Seolah-olah, kekuatan kakinya sudah kembali lagi. Kemudian, Mas Rusdi kembali lagi ke dalam.
“Rama, jangan bengong. Cepat bantu Ibu kemasi barang!” teriaknya sembari menggoyang-goyangkan tubuhku yang gembul ini.
“Tenang, Mas. Tenang! Memangnya ada apa?” tanyaku heran. Tak biasanya seperti ini. Biasanya Mas Rusdi akan teriak histeris sambil memanggil nama Ayah, ketika ada yang menyalakan petasan di dekat rumah.
“Kamu itu, bagaimana, sih? Itu tadi helikopter milik Belanda yang akan menguasai wilayah ini. Nanti malam rencananya, kami melakukan Perang Gerilya. Rencana kami akan membumihanguskan tempat ini, vila-vila dan merobohkan jembatan. Itu jalan satu-satunya menghambat laju tentara Belanda. Karena kami kurang persenjataan dari serdadu itu.” Mas Rusdi menjelaskan sangat panjang dan lancar.
“Bentar, Mas. Tenang dulu,” ujarku dengan memegang bahu Mas Rusdi yang sudah tak kekar lagi. Aku mencoba mencerna perkataannya.
“Kamu dari tadi, bilang tenang … tenang melulu. Ini sudah genting! Tak ada waktu lagi untuk tenang!”
“Kita sudah aman. Sudah merdeka. Sudah tak ada penjajah lagi.” Aku berusaha meyakinkannya.
“Iya, kita sudah merdeka dua tahun lalu. Tapi, negara ini dijajah lagi, Belanda telah kembali. Kamu masih kecil, jadi tak tahu itu,” ujarnya masih kekeh pada pendiriannya.
Cobaan apa lagi ini? Apa mungkin Mas Rusdi jiwanya sekarang terjebak Perang Gerilya sepuluh tahun lalu? Pandanganku mengarah pada Ibu yang masih bersandar dan menahan suara tangis dengan kerudung panjangnya.(*)
Kota Lumpur, 20 Mei 2021
Isnani Tias, seorang ibu rumah tangga yang tak sengaja tercebur di dunia literasi. Tanpa diduga, penulis penyuka buah durian ini sudah mempunyai tiga novel mini cernak dalam kurun waktu setahun. Sekarang belajar nulis cerpen yang serius.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay