Botol Kebahagiaan
Oleh: Auralia Sazka
Langkah kudaku terhenti dan aku melepas genggaman dari tali yang mencambuk kuda. Pandangan ini tertuju pada rumah-rumah yang berjejeran di depanku. Ini adalah Desa Ruehalle.
Ukuran desa yang cukup kecil, dataran rumput yang luas dan rumah-rumah kayu yang sederhana tapi mengeluarkan nuansa tenang membuat hatiku sejuk. Permasalahan tiga hari lalu yang membuat kepalaku pusing akhir-akhir ini, akhirnya dapat lepas juga setelah melihat betapa indahnya pemukiman ini. Ternyata keindahannya benar-benar bukan rumor belaka.
Desa Ruehalle ini terkenal dengan keasriannya dan ladang pertaniannya yang subur, juga tempat peristirahatan para petualang yang letih. Tempat ini tak jarang diincar para konglomerat untuk berbisnis karena alamnya, tapi desas-desusnya kepala desa di sini menolak semua tawaran itu dan memberi tahu orang-orang untuk jangan pernah berani mengganggu ketentraman desa. Keputusan yang bijak, karena sayang sekali jika harus melihat tempat yang indah ini dieksploitasi untuk uang.
Namaku adalah Aivisherah. Aku adalah seorang penyihir yang sedang mengembara. Aku tidak memiliki ambisi khusus untuk mengembara dunia, ini hanyalah sifat alamiku yang melakukannya hanya untuk hobi tertentu saja. Sungguh.
Penyihir yang eksistensinya sangat langka tak jarang dipuja-puja oleh manusia yang merasa dirinya rendah dan butuh perlindungan. Meskipun sebenarnya seorang penyihir berasal dari darah yang sama seperti manusia, hanya saja mereka mendapatkan kekuatan spesial karena hasil dari kerja keras mereka.
Aku turun dari punggung kuda cokelatku dan mengelus kepalanya. “Terima kasih atas kerja kerasmu. Kau pasti sangat lelah, bukan? Hari ini kita akan beristirahat di sini.”
Moncong kuda mengendus tanganku seolah-olah memberikan jawaban, aku menggenggam tali pengikatnya dan menuntunnya berjalan memasuki desa. Pantatku terasa panas dan nyeri setelah menunggangi kuda selama tiga jam. Aku dan kudaku berjalan melewati setapak jalan desa, aroma tanah dan udara angin yang sejuk ini membuatku merasa segar kembali.
Kupikir tempat ini sedikit sepi. Aku tak melihat satu orang pun di sekitar sini, kecuali ketika mataku menangkap seorang pria yang berdiri di dekat kursi umum, jaraknya tak jauh dariku. Segera aku mempercepat langkah untuk mendekatinya.
Dia terlihat memegang sebuah kamera yang terkalung di lehernya, kemudian memotret anak-anak yang sedang bermain riang gembira. Potret foto yang keluar dari mesin kameranya dia gulung dan dimasukkan ke botol kaca. Gulungan kertas itu memudar setelah dimasukkan ke dalam botol kaca dan menghilang. Itu adalah sihir.
“Akhirnya, yang terakhir sudah terisi!” serunya.
“Permisi.”
Setelah mendekat dan menyapa, pria itu berbalik menghadapku. Seorang pria dengan tinggi badan setara denganku, bola mata hijau seperti batu zamrud, rambutnya yang mengembang berwarna cokelat dengan poni yang hampir menutupi matanya itu terlihat imut seperti domba.
“Ah, halo. Apakah kamu seorang petualang?” Dia akhirnya membuka suara.
“Benar.”
Dia memandangi bajuku dan tiba-tiba matanya berbinar seolah-olah sudah menemukan keajaiban. “Tanda pengenal itu … kau seorang penyihir, ya?!”
Ah, benar. Penyihir biasanya memakai tanda pengenal berwarna emas untuk menandakan keberadaannya itu berbeda dari yang lain.
“Kau benar.”
“Biasanya penyihir itu melakukan perjalanan dengan menaiki sapu terbang atau melakukan teleportasi … tapi kau datang dengan menunggangi kuda, hmmm …?”
Aku berdeham. “Ugh, lupakan saja soal itu, aku memiliki alasanku sendiri. Omong-omong, soal botol kaca itu ….”
“Ah, ini? Ini namanya Botol Kebahagiaan. Kau memotret suatu momen yang bahagia, lalu fotonya kau masukkan ke dalam botol kaca ini. Dia akan meresap foto itu, setelah penuh dan kau membukanya, foto momen-momen bahagia itu akan meledak keluar dan terpampang jelas di depan matamu. Aku memang bukan seorang penyihir tapi berkat benda yang kudapatkan dari kerabat ini, aku bisa menyimpan momen bahagia menggunakan sihir. Aku ingin menghadiahkan botol ini kepada seseorang,” jelasnya.
“Hmmm. Begitu, ya. Aku jadi teringat suatu kisah yang diceritakan ibuku ketika masih kecil,” ucapku.
Dia memiringkan kepalanya. “Kisah seperti apa itu?”
“Ceritanya tentang pasangan suami istri yang hidup bahagia, tapi suatu hari sang istri jatuh sakit dan tidak bisa bergerak. Melihat istrinya yang tersiksa karena sehari-hari hanya bisa terbaring di tempat tidur dan tidak bisa melihat dunia luar, membuat sang suami kasihan dan tergerak hatinya untuk berpetualang mengelilingi dunia bersama sebuah tongkat sihir. Tongkat sihir itu menangkap pemandangan-pemandangan indah dari penjuru dunia. Sang suami berniat memperlihatkan semua potret pemandangan indah itu pada istrinya ketika pulang nanti.”
Mata lelaki itu berbinar. “Kisah yang romantis. Sang suami sangat berbaik hati sekali, sang istri pasti akan sangat bahagia.”
Aku mengernyitkan dahi mencoba mengingat sesuatu. “Hmmm, entahlah. Kurasa tidak juga, karena pada akhir ceritanya …. Ah, apa ya? Aku lupa lagi tentang akhir ceritanya.”
“Baiklah, lupakan hal itu, kau bisa melanjutkannya nanti setelah kau bisa mengingatnya. Siapa namamu? Salam kenal, namaku Hendery.” Dia mengulurkan tangannya ke arahku.
“Panggil saja aku Aivi.” Aku menyambut uluran tangannya.
“Aivi, apakah kau sedang mencari tempat penginapan? Bagaimana kalau menginap di rumahku saja? Gratis, tidak perlu bayar. Ayahku pasti akan mengizinkannya. Ayahku adalah kepala desa di sini.”
“Oh, baiklah. Tawaranmu kuterima.” Dengan senang hati aku menyetujui tawaran Hendery, memangnya manusia mana yang tidak menyukai sesuatu yang gratis di dunia ini?
Omong-omong, ternyata Hendery adalah anak seorang kepala desa. Aku penasaran dia ingin memberikan botol kebahagiaan itu kepada siapa. Apakah ayahnya?
Hendery menuntunku ke rumahnya, kami berbincang sepanjang perjalanan.
“Untuk siapa kau akan memberikan botol kebahagiaan itu?” tanyaku.
“Ah, aku ingin memberikan ini kepada Maria. Dia adalah budak yang ayahku beli di pelelangan enam bulan lalu, dia menjadi satu-satunya pelayan rumahku sekarang. Dia seumuran denganku dan sangat terampil dalam mengurus rumah, aku … aku menyukainya.”
Kulihat pipi Hendery memerah saat membicarakan gadis bernama Maria itu. Aku tersenyum menganggapnya sangat lucu ketika tersipu malu seperti itu.
Omong-omong, budak? Tak kusangka ternyata perdagangan manusia masih ada sampai sekarang, padahal pemerintah sudah melarang keras. Ya, yang pasti jika mereka terungkap oleh pemerintah, habis sudah mereka.
“Tapi akhir-akhir ini Ayah menjadi sangat keras kepada Maria, dia sering memarahinya karena beberapa kali ceroboh. Maria menjadi murung. Karena melihatnya sedih seperti itu, makanya aku ingin memberinya hadiah berupa botol kebahagiaan. Dia pasti akan senang,” lanjutnya.
Waktu berlalu hingga tak terasa kami sudah sampai. Rumahnya lebih megah dan besar daripada rumah-rumah penduduk lainnya. Kudaku ditempatkan di kandang dan aku memasuki rumahnya.
“Duduklah, anggap saja rumahmu sendiri. Aku akan ke kamar sebentar, tunggulah di sini.”
Aku berada di ruang tamu. Tempat ini sungguh mewah. Dipenuhi perabotan-perabotan berbahan emas dan terlihat mahal.
Pintu di depan ruang tamu terbuka. Seorang gadis manis berambut hitam keluar dari sebuah ruangan dengan ekspresi yang terlihat buruk. Wajahnya merah dan keringat bercucuran dari dahinya. Kuperhatikan gadis itu, dia terlihat merapikan baju pelayannya yang berantakan.
Gadis yang sedang sibuk merapikan baju itu akhirnya melirik dan menyadari kehadiranku. Dia terperanjat kaget dan terburu-buru membungkukkan badannya. “Ah, ha-halo … saya tidak tahu ada tamu di sini ….”
Apakah dia yang bernama Maria itu? Aku memperhatikannya. Dia beberapa kali menutupi wajah dan bajunya dengan tangan sambil memperlihatkan ekspresi seperti ingin menangis. Badannya gemetar ketakutan. Sebenarnya apa yang telah terjadi di ruangan itu?
Tak lama kemudian muncul lagi satu orang dari ruangan di depanku. Dia seorang pria dengan perut gemuk, berkumis tipis, dan beberapa bentuk wajahnya mirip dengan Hendery. Dia keluar sambil merapikan dasi dan kerah bajunya, lalu berhenti sejenak setelah menatapku.
“Oh, sepertinya kita kedatangan tamu, ya. Maria, siapkan teh,” perintahnya. Maria mengangguk dan bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan teh.
Pria ini sepertinya Kepala Desa sekaligus ayah Hendery. Dia masih berdiri di depanku sambil terus-terusan memandangiku dengan tatapan dari matanya yang sungguh sangat membuatku tidak nyaman. Seolah-olah dia sedang menjelajahi seluruh tubuhku.
“Uh, apakah Anda adalah Kepala Desa?” tanyaku memecah keheningan. Jemariku memeluk lenganku yang satunya lagi, berusaha menghindari kontak mata darinya dengan menatap lantai polos.
“Benar. Apakah Nona ini adalah seorang penyihir? Siapa nama Nona?” tanyanya.
“Namaku Aivi. Aku singgah di sini karena tawaran Hendery. Mohon bantuannya,” jawabku.
Kulirik dia sedikit. Dia mengulas senyum menjijikkan. Aku bergidik ngeri. “Aivi … Aivi, ya. Nama yang manis, cocok dengan penampilanmu.”
Apa yang barusan dia katakan?
“Tehnya sudah saya siapkan.” Maria datang membawa nampan berisi cangkir dan teko teh. Dia meletakkan nampan itu di meja.
“Tuangkan,” perintah pria itu.
Maria memegang gagang teko dengan gemetaran, sampai tekonya juga bergetar. Sungguh, apakah intimidasi dari pria ini terlalu kuat sampai Mari begitu ketakutan?
Kutatap lagi Maria. Matanya tampak kosong. Sepertinya dia banyak pikiran dan melamun sampai dia tak menyadari bahwa tehnya terlalu penuh hingga bercucuran keluar dari cangkir.
“Ah, anu … tehnya terlalu penuh,” ucapku.
Setelah aku menyadari Maria telah melakukan kesalahan, dia terperanjat dan wajahnya berubah pucat. Kulirik Kepala Desa, ekspresinya tajam, seperti sedang tidak merasa baik.
“M-maafkan saya! Saya telah melakukan kesalahan.”
“Maria, bekerjalah dengan benar. Masa begitu saja kau tidak becus? Kau sudah membuat kesan pertama yang buruk pada tamu terhormat kita.” Suara dingin dari Kepala Desa terlontar.
“M-maafkan saya.” Maria mengangkat cangkir dan entah bagaimana tangannya seperti terpeleset sehingga cangkir itu jatuh dan tumpah tepat ke bajuku. Setelah menumpahkan tehnya ke bajuku, cangkir itu terguling jatuh ke lantai dan pecah.
Ah, panas.
“Itu … itu cangkir mahal yang kubeli dari asosiasi pedagang langka! Maria! Apa yang sudah kau lakukan!!!”
Kepala Desa berteriak. Astaga, ini benar-benar masalah yang besar.
Maria terlihat ketakutan hebat. Dia gemetar hingga jatuh terduduk. Berlutut, di hadapan laki-laki itu.
“Maafkan saya! Maafkan saya! Saya bersalah! Tolong ampuni saya!”
“Ayah, ada keributan apa ini?” Hendery berlari tergesa-gesa menuju kami. Melihat Maria yang sedang bertekuk lutut membuatnya mengernyitkan dahi.
“Dia sudah mengotori baju tamu, lalu menghancurkan barang berhargaku. Beraninya budak tak tahu diri ini!” Pak Kepala Desa melotot, seperti seluruh urat tubuhnya akan keluar. Siapa yang mengira Kepala Desa yang katanya bijak dan peduli itu bisa-bisanya melontarkan kata-kata buruk dan bersikap seperti macan mengamuk seperti ini?
“Tenanglah, Ayah. Jangan terlalu keras pada Maria! Dia tak sengaja melakukannya.” Hendery memegang kedua pundak ayahnya, mencoba menenangkan pria yang sedang gila oleh amarah itu.
“Tuan, maafkan saya!”
“Maaf, katamu? Apakah maaf bisa menggantikan barang mahalku? Jalang kecil ini, benar-benar tidak becus! Sia-sia aku menghamburkan uang untukmu kalau kau tidak bisa melakukan pekerjaan dengan benar!”
Pak Kepala Desa mengangkat tangannya tinggi-tinggi, tapi sebelum dia hendak mengarahkan tangannya pada Maria, aku segera berdiri dari tempatku.
“Hentikan. Pak Kepala Desa, saya bisa menghancurkan tempat ini.” Aku mengarahkan telunjukku padanya dan melotot, dia melihat tatapanku, menghentikan aksinya dan terdiam membeku.
Telunjuk ini. Aku bisa langsung menyerangnya dengan sihir kapan saja. Aku menatap tajam Pak Kepala Desa. Dia terlihat menelan ludahnya sendiri. Apakah kau sudah merasa terancam sekarang? Aku menghela napas dan mengubah arah telunjukku ke arah cangkir yang pecah di lantai.
Aku dengan fokus merapalkan sihir dan keluar angin-angin elemental dari telunjukku. Elemen itu terbang mengelilingi pecahan-pecahan cangkir, membuatnya melayang dan perlahan menyatukan kembali pecahan yang berantakan itu ke bentuknya semula.
“Ini adalah ….” Hendery dan yang lainnya terlihat takjub.
“Sihir pengembali waktu. Sekarang, tidak akan ada keributan lagi, ‘kan?” tanyaku.
Mereka bertiga bergeming sejenak.
“… Maaf atas ketidaksopananku tadi. Maria, hidangkan makanan untuk Nona Aivi.” Pria tua itu akhirnya berdeham dan masuk kembali ke ruangannya.
Maria akhirnya berdiri setelah lututnya terlalu lama mencium lantai. Hendery dengan lembut menyeka air mata yang masih menempel di mata Maria.
“Kau tidak apa-apa? Maaf aku terlambat. Maria, setelah ini aku akan menunjukkan suatu hadiah padamu.”
“Tuan Hendery … menyiapkan hadiah untuk saya?”
Hendery tersenyum. “Benar.”
Aku terdiam memandangi momen mereka berdua. Kupikir aku terlalu banyak ikut berurusan dengan masalah orang hari ini.
***
Aku, Hendery dan Maria selesai makan siang bersama dalam keheningan. Pak Kepala Desa tidak ikut hadir karena dia tidak mau keluar dari ruangannya. Makanannya cukup pas di lidah, Maria memang pandai memasak.
“Aku akan pulang setelah ini. Aku batal tentang menginap di rumahmu,” ucapku pada Hendery.
“Maaf, ya. Kau pasti sangat tidak nyaman dengan kejadian tadi. Aku menghargai keputusanmu.”
“Tidak. Aku berterima kasih pada kalian yang sudah menjamuku dan membiarkanku istirahat di sini.” Aku mengulas senyum.
Hendery mengangguk-angguk lalu berbalik menghadap Maria. “Oh, ya. Maria, kau masih ingat apa yang kukatakan tadi? Aku ingin memberikanmu hadiah.”
“Hadiah?” Maria memiringkan kepalanya.
Hendery tersenyum dan mengambil botol kaca dari saku celananya. Dia menyuruh Maria memperhatikan botol ini dengan serius.
“Semoga kau menyukainya.” Hendery membuka tutup botol, elemen-elemen sihir keluar dari botol itu dan meledak. Elemen mana berwarna pelangi memenuhi langit-langit ruangan.
“Ini adalah kepingan kebahagiaan.”
Elemen pelangi lalu memudar dan memunculkan tayangan. Seluruh potret-potret bahagia melayang di udara, muncul satu persatu di depan mata Maria. Mulai dari foto keluarga yang sedang bermain di pantai, pasangan yang bergandengan tangan di bawah pohon oak, hingga seorang ibu yang mengelus rambut anaknya dengan lembut. Semua momen bahagia itu ditayangkan, bersamaan dengan kilauan cahaya bertaburan di sekitarnya.
Momen-momen bahagia yang sangatlah hangat dan indah. Maria membulatkan matanya yang cerah dan terhanyut memandangi seluruh momen itu.
Tak lama, air mata Maria mengalir deras. Dia tak kuasa menahannya lagi.
“Dunia di luar sana sangatlah bahagia. Jadi, tolong jangan terus-menerus bersedih. Aku berjanji aku akan membahagiakanmu,” ucap Hendery.
“Membahagiakanku?”
Tangisnya semakin pecah dan dia menutup matanya dengan telapak tangan, tapi isakan yang kudengar itu bukan seperti isakan yang terharu, tapi terdengar menyedihkan dan pahit.
Hendery segera menarik Maria ke dalam dekapannya dan mengusapnya dengan lembut. Aku meninggalkan ruangan untuk memberi mereka waktu berdua.
***
“Datang lagi lain waktu, ya. Kalau kau ingin beristirahat, kami akan selalu menyambutmu kapan saja.”
Hendery berkata di depanku yang sedang menaiki punggung kuda. Sudah senja dan aku akan pergi untuk melanjutkan perjalananku ini.
Aku mengikatkan tali sabuk dengan kencang. “Ya, aku menantikan hal itu.”
Aku mencambuk tali kuda dan bergerak meninggalkan rumah Hendery. Kudaku yang berlari mulai menjauhi Hendery dan Maria yang masih berdiri di belakangku.
“Sampai jumpa!” teriak Hendery sambil mengangkat kedua tangannya, melambai padaku.
Aku menatap mereka dari kejauhan, masih bisa kulihat siluet bayangan mereka dari sini, bayangan Hendery yang melambai padaku terlihat tinggi daripada bayangan Maria di sampingnya. Seolah-olah seperti monster yang akan melahap bayangan Maria.
Aku dengan fokus menunggangi kuda di antara jalan tanah setapak ditemani langit senja yang berwarna jingga, indah sekali.
Ah, omong-omong aku baru teringat sesuatu. Akhir cerita dari kisah yang pernah diceritakan ibuku ketika masih kecil.
Setelah sang suami pulang dari keliling dunia, dia segera menunjukkan seluruh potret keindahan tempat-tempat yang pernah ia kunjungi selama mengembara pada istrinya yang sakit.
Akan tetapi, hal tersebut bukannya membuat sang istri bahagia, malah membuatnya semakin putus asa.
Akhirnya pada malam hari, sang istri mengambil pisau pemotong mangga yang tergeletak di laci dekat kasurnya dan menghabisi nyawanya sendiri.
Hal yang kita lakukan untuk orang lain, belum tentu itu adalah hal yang benar.
Itu benar-benar cerita yang mengenaskan. Ya, kuharap tidak akan terjadi sesuatu pada Maria, walaupun harapan itu kecil.
25 Mei 2022
Auralia Sazka, seorang remaja penyuka kesendirian, menggambar, dan menulis. Baginya, menulis untuk mengekspresikan diri. Pernah menulis beberapa antologi cerpen dan Novel solo pertamanya berjudul That Pale Girl. Kontak Instagram: @reimurinzeu dan Facebook: Gladiora Florissa.
Editor: Imas Hanifah
Gambar: Pixabay