Status
Oleh: Lilik Eka
Tidur siangku terganggu oleh teriakan sekaligus gedoran pintu tiada henti. Dari suaranya, aku sudah bisa menebak siapa pelakunya.
“May, keluar! Dasar pelakor, kembalikan suamiku! May, buka pintunya!” Teriakan dan gedoran itu masih terdengar.
Aku mengganti daster dengan gamis marun dan memakai kerudung hitam. Tak lupa kupoles wajah dengan bedak dan memakai lipstik tipis agar aku terlihat cantik dan tidak kalah dengannya.
Kuayunkan langkah keluar kamar, ke pintu depan. Sebelum membuka pintu, aku menarik napas untuk menetralkan detak jantungku yang berdegup kencang. “Mb-mbak Dira … silakan masuk. Kita bicara di dalam.” Aku mempersilakan sambil melihat ke rumah sebelah.
Di seberang sana, kulihat ada ibu-ibu yang biasa berkumpul untuk bergosip. Semenjak aku menikah dengan Mas Iyan dan tinggal di sini, Mbak Dira sudah beberapa kali datang dan meluapkan amarah padaku. Entah dari mana dia tahu tempat tinggalku ini.
“Endak perlu. Endak sudi aku masuk ke rumah pelakor. Mana, Mas Iyan? Suruh dia cepat keluar!”
“Ini, jam berapa, Mbak? Ini masih jam kerja, tentu dia di kantornya.”
“Bohong. Aku habis dari sana, tapi dia endak ada di kantor.”
“Lho, mana kutahu. Mungkin lagi ada kerjaan di luar. Lagian, malam ini, ‘kan, jatah Mas Iyan tidur di rumah Mbak Dira.” Aku melihat ke arah ibu-ibu Mereka mulai berbisik-bisik itu. “Endak sabar, banget jadi orang,”
“E … apa katamu? Aku endak sabaran? Suamiku sudah kamu ambil, dia sekarang jarang pulang gara-gara kamu, masih kamu bilang aku endak sabaran, punya otak endak, kamu, ha ….” Mbak Dira nyerocos sambil mengarahkan telunjuknya padaku.
“Aku juga istrinya, Mbak. Aku tidak mengambilnya. Buktinya, Mas Iyan hanya dua hari di sini dan selebihnya di rumah Mbak. Apa belum cukup?” balasku.
“Sudah … sudah. Bicara sama kamu endak ada gunanya.” Dia membalikkan badan lalu melangkah meninggalkan rumahku. “Awas kalau malam ini suamiku endak pulang!” ancamnya.
Aku memperhatikan langkah gontai dari kakak maduku itu. Sebenarnya ada sedikit rasa iba padanya, tapi aku juga butuh Mas Iyan. Aku butuh status yang jelas. “Ya Allah, lembutkan hati Mbak Dira.”
Setelah mobil Mbak Dira tak terlihat, aku melihat ibu-ibu yang masih berkumpul di depan rumah sebelah. Mereka tidak lagi berbisik, tapi lebih ke menyindir. “Kasihan, ya, istri pertama, Pak Iyan.” ucap salah satu dari mereka, lalu menutup mulut ketika menyadari aku memperhatikannya.
“Sttttt!” Yang lain memberi kode dengan menempelkan telunjuk di bibir sambil melihat ke arahku. Aku hanya bisa tersenyum kecut.
“Maaf, ya, Ibu-ibu. Tamu saya sudah membuat keributan.” Aku berbasa-basi sebelum masuk ke rumah tanpa peduli dengan sindiran mereka. Letak rumah kami hanya dibatasi dinding jadi memungkinkan kami saling dengar percakapan antara tetangga kanan atau kiri.
***
Aku mematikan murottal Surah Al-Insan di aplikasi ponsel, meskipun baru beberapa ayat mendengarkan. Ketukan di pintu dan salam dari seseorang yang kukenal menjadi penyebabnya. Segera kubuka pintu. “Lho, Mas, kenapa ke sini? Bukannya malam ini waktunya menginap di …,” pertanyaanku terhenti oleh jari Mas Iyan yang menutup mulutku.
“Aku, lelah, May. Aku ingin di sini sebentar.” Mas Iyan merangsek masuk ke dalam rumah.
Mas Iyan duduk dan bersandar di sofa. Kedua tangannya direntangkan di atas sandaran sofa sambil memejamkan mata.
Kuperhatikan gerak-geriknya sebentar. “Aku bikinkan kopi dulu.” Aku melangkah ke dapur mini yang ada di balik dinding ruang tamu. Mas Iyan masih di posisi awal ketika aku keluar membawa dua cangkir kopi. “Minum kopinya, Mas. Mumpung masih panas.” Aku menaruh dua gelas cangkir di meja.
“Hemm ….”
“Ayo, mumpung masih panas,” bujukku sebelum meminum kopi milikku. Aku tahu dia sedang resah, maka aku hanya bersabar menunggu kapan dia mau bercerita sambil menikmati kopi panas sesendok demi sesendok.
“May ….” Panggil Mas Iyan. “Di-Dira meminta cerai,” ucap Mas Iyan pelan.
Aku hanya mendengarkan tanpa memberi komentar apa pun mengenai permintaan istri pertamanya itu.
“Apa yang harus kulakukan, May? Sifat Dira sangat keras, ditambah, orang tuanya juga mendukung keinginannya itu.” Mas Iyan memandangku dengan wajah putus asa.
Sepertinya dia gagal memberikan pengertian pada istri pertamanya selama lima bulan ini. Mas Iyan menggeser duduknya ke ujung sofa kemudian mengambil cangkir berisi kopi lalu menyeruput sedikit demi sedikit. Setelah itu dia meletakkan kembali cangkir itu.
“Bersabarlah, Mas. Jika memang Mbak Dira tidak bisa menerimaku, tidak apa, jika, Mas Iyan melepasku. Bukankah statusku kini sudah jelas. Aku bisa melanjutkan hidupku lagi.”
“Apa? Ka-kau ingin aku melepasmu untuk ke dua kalinya? Aku tidak mau menjadi pecundang, May.”
“Bu-bukan begitu, Tapi itu pilihan yang tepat. Mas Iyan sangat mencintai Mbak Dira. Sementara aku ….”
“Stop!” Pria itu terlihat gusar. Wajahnya memerah. “Kau lupa, mengapa kita menikah? Kau lupa, May?” tanyanya dengan mata berkaca-kaca. ” Aku ingin menebus dosa, aku juga ingin membayar kesalahanku padamu dan … anak kita.”
Aku hanya bisa menunduk. Hatiku nyeri. Peristiwa dua belas tahun lalu teringat lagi. Jika bisa mengulang, aku tidak akan menerima bujuk rayu setan yang berwujud Iyan. Jika bisa kembali ke masa itu, tentu aku menuruti apa kata orang tua agar tidak berpacaran.
“Maafkan, aku, May.” Mas Iyan menggenggam erat tanganku. Setetes air mata jatuh mengenai tangan kami yang bertaut.
Hatiku sedikit bergetar, tetapi segera kutepis ketika mengingat pahitnya hidupku selama dua belas tahun ini. Aku tidak mencintainya lagi. Aku hanya perlu status.
Dering ponsel milik Mas Iyan memutus ingatanku tentang masa lalu. Mas Iyan melepas genggamannya lalu mengambil ponsel di meja. Dia menggeser layarnya dan menempelkan ke telinga, tetapi tatapannya tak lepas dariku. “Halo, Dir.”
Aku mengambil cangkir lalu menyeruput kopi yang sudah mulai dingin. Aku memalingkan wajah ketika tanpa sengaja tatapan kami beradu.
“Iya, baiklah, sebentar lagi aku ke sana,” ucap Mas Iyan.
Aku pura-pura tidak melihat ketika Mas Iyan mengambil cangkir dan meminum kopi di dalamnya sampai habis.
“May, aku harus jemput Dira di rumah orang tuanya.” Mas Iyan berdiri dan bersiap melangkah. “Doakan, tidak terjadi sesuatu di sana.”
“Ceritakan semuanya pada Mbak Dira, Mas, dengan begitu, mungkin, Mbak Dira mau menerima pernikahan kita,” pintaku yang langsung dijawab dengan gelengan olehnya.
“Itu opsi terakhir, May. Jangan kita ungkap aib kita yang sudah lalu.” Mas Iyan mengecup keningku sekilas sebelum melangkah ke pintu.
Aku mengekor di belakangnya tanpa berani berucap apa pun, kemudian menyalami dan mencium dengan takzim tangan cinta pertamaku itu.
“Kunci pintunya, ya! Cepat tidur agar bisa salat tahajud dan taubat.”
“Hem, iya,” jawabku singkat. Aku menutup pintu dan menguncinya setelah suamiku berlalu dengan kendaraannya.
Aku melanjutkan menghafal Surah Al-Insan dengan mendengarkan murottal dari ponsel. Namun, baru beberapa ayat, ucapan Mas Iyan tentang permintaan Mbak Dira terngiang kembali. Aku mematikan ponsel dan beranjak menuju kamar. Tidur adalah pilihan terbaik kali ini. Dengan tidur aku bisa melupakan permasalahan, meski sebentar.
***
Dua bulan berlalu semenjak Mas Iyan bercerita tentang permintaan cerai dari Mbak Dira. Semenjak itu pula dia tidak datang juga tidak pernah memberi kabar. Bahkan, nomor ponselnya tidak pernah aktif. Aku hanya bisa pasrah menunggu sambil sesekali datang ke warung milik almarhum orang tua yang kini dikelola pamanku. Dari bagi hasil warung itulah aku bisa membiayai hidup selama ini.
Sekarang berbagai pertanyaan pun bermunculan di benakku. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa masalah di antara mereka belum terselesaikan? Perlukah aku menemui kakak maduku dan menceritakan alasan mengapa Mas Iyan menikahiku, tetapi bukankah itu menyangkut aib kami yang harus kututup?
***
Sebuah salam mengejutkanku. Di depan pintu sudah berdiri sosok yang dua bulan ini tak tampak. Tanpa menunggu jawaban salamnya, dia bergegas masuk dan langsung memelukku.
“Maaf, maaf, maafkan aku, May. Aku lama tidak menjengukmu atau menelpon,” ucapnya sambil terus memelukku erat.
Aku hanya bisa mengangguk. Tenggorokanku terasa kering. Entah karena saat ini aku berpuasa atau karena mendengar permintaan maaf dari suamiku. Aku reflek mendorongnya ketika dia mulai mencium bibirku sekilas. “Bau, kamu puasa, ya?”
Aku mengangguk. Perasaanku bercampur aduk antara bahagia, marah, juga takut akan kedatangannya kali ini.
“Dua bulan ini aku ikut tinggal di rumah orang tua Dira. Maaf terpaksa aku bercerita tentang masa lalu kita,” ucapnya ketika kami sudah duduk. “Aku sudah bertanya pada Ustaz Hasan. Beliau bilang tak apa bercerita jika itu satu-satunya jalan mempertahankan rumah tangga kami.”
Aku menoleh menatap wajah serius di sebelahku. “A-Apa?”
“Dira sudah bersedia pulang ke rumah kami. Dia juga membatalkan niatnya untuk bercerai, tapi …,”
“Tapi apa?” tanyaku tak sabar.
“Dia belum bersedia menemuimu, dia hanya mengizinkanku ke sini. Dia masih belajar dan berusaha menerima pernikahan kita.”
Tubuhku bergetar mendengar ceritanya. Benarkah Mbak Dira menerima pernikahan kami?
“Ma-maafkan aku, May. Karena bujuk rayuku dulu, kamu jadi menderita bertahun-tahun. Kumohon, beri aku kesempatan menebusnya. Berbahagialah di sisiku, May.” Mas Iyan berucap sambil berlinang air mata.
Aku ikut menangis mendengar penuturannya. Terlintas kejadian kelam masa dua belas tahun yang telah lalu. Cinta sesaat kami membuahkan janin di kandunganku, sementara Mas Iyan menghilang entah ke mana. Orang tuaku juga tidak berani mencarinya. Bahkan, untuk datang ke asrama tempat tinggal Mas Iyan pun mereka tidak punya keberanian.
Dua kali pernikahanku gagal karena ketahuan pernah memiliki anak di luar nikah hingga Ayah meninggal karena serangan jantung. Ibu pun kemudian sakit-sakitan karena didera rasa malu. Bahkan, aku tidak lagi diakui oleh keluarga mendiang Ayah karena membuat malu keluarga besar.
Kepindahan Mas Iyan di kota ini menimbulkan keinginanku untuk meminta pertanggungjawaban darinya. Tidak peduli meski dia telah beristri.
“Maaf, Mbak Dira, kamu ikut menanggung akibat dari masa lalu suamimu.”
(*)
Balikpapan, 25 Mei 2022
Lilik Eka, Ibu rumah tangga yang ingin terus belajar dan memberi contoh pada anak semata wayangnya.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Devianart